PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER : FOKUS SINDROM KORONER AKUT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini merupakan salah satu penyebab utama dan pertama kematian di negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia. Pada tahun 2010, secara global penyakit ini akan menjadi penyebab kematian pertama di negara berkembang, menggantikan kematian akibat infeksi. Diperkirakan bahwa diseluruh dunia, PJK pada tahun 2020 menjadi pembunuh pertama tersering yakni sebesar 36% dari seluruh kematian, angka ini dua kali lebih tinggi dari angka kematian akibat kanker. Di Indonesia dilaporkan PJK (yang dikelompokkan menjadi penyakit sistem sirkulasi) merupakan penyebab utama dan pertama dari seluruh kematian, yakni sebesar 26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang disebabkan oleh kanker (6%). Dengan kata lain, lebih kurang satu diantara empat orang yang meninggal di Indonesia adalah akibat PJK. Berbagai faktor risiko mempunyai peran penting timbulnya PJK mulai dari aspek metabolik, hemostasis, imunologi, infeksi, dan banyak faktor lain yang saling terkait.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan satu dari tiga orang di seluruh dunia pada tahun 2001, meninggal karena penyakit kardiovaskular. Sementara, sepertiga dari seluruh populasi dunia saat ini berisiko tinggi untuk mengalami major cardiovascular events. Pada tahun yang sama, WHO mencatat sekitar 17 juta orang meninggal karena penyakit ini dan melaporkan bahwa sekitar 32 juta orang mengalami serangan jantung dan stroke setiap tahunnya. Diperkirakan pada tahun 2001 di seluruh dunia terjadi satu serangan jantung setiap 4 detik dan satu stroke setiap 5 detik. Dilaporkan juga, pada tahun 2001 tercatat penyakit kardiovaskular lebih banyak menyerang wanita dibanding pria, yang sebelumnya penyakit kardiovaskular lebih banyak menyerang para pria.
Perkembangan terkini memperlihatkan, penyakit kardiovaskular telah menjadi suatu epidemi global yang tidak membedakan pria maupun wanita, serta tidak mengenal batas geografis dan sosio-ekonomis.
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian. SKA menyebabkan angka perawatan rumah sakit yang sangat besar dalam tahun 2003 di Pusat Jantung Nasional dan merupakan masalah utama saat ini.
SKA, merupakan PJK yang progresif dan pada perjalanan penyakitnya, sering terjadi perubahan secara tiba-tiba dari keadaan stabil menjadi keadaan tidak stabil atau akut. Mekanisme terjadinya SKA adalah disebabkan oleh karena proses pengurangan pasokan oksigen akut atau subakut dari miokard, yang dipicu oleh adanya robekan plak aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya proses inflamasi, trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi. Manifestasi klinis SKA dapat berupa angina pektoris tidak stabil/APTS, Non-ST elevation myocardial infarction / NSTEMI, atau ST elevation myocardial infarction / STEMI. SKA merupakan suatu keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis berupa keluhan perasaan tidak enak atau nyeri di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard. Pasien APTS dan NSTEMI harus istirahat di ICCU dengan pemantauan EKG kontinu untuk mendeteksi iskemia dan aritmia.
Paradigma pengobatan atau strategi terapi medis penderita SKA berubah dan mengalami kemajuan pesat dengan adanya hasil-hasil penelitian mengenai patogenesis SKA dan petunjuk-petunjuk penatalaksanaan baru. Kemajuan pesat dalam terapi medis tersebut mencakup terapi untuk mengendalikan faktor risiko (terpenting statin untuk dislipidemia, obat antihipertensi terutama obat ACE-I, obat penghambat reseptor A-II), obat-obat baru antitrombotik, gagal jantung, dan aritmia.
Berbagai pedoman dan standar terapi telah dibuat untuk penatalaksanaan penderita SKA. Agar standar dan strategi pengobatan serta penatalaksanaan pasien SKA berlangsung secara optimal, efektif dan efisien sesuai dengan pedoman atau standar terapi yang telah ditetapkan, maka perlu adanya suatu
sistem dan/atau mekanisme yang secara terus menerus memonitor dan memantau terapi obat yang diterima pasien.
Hal tersebut di atas menunjukkan, penatalaksanaan PJK memerlukan suatu pendekatan yang holistik, baik dalam upaya pencegahan maupun pengobatan. Serta pelayanan yang terpadu dan berkelanjutan antara sistem dan atau subsistem pelayan yang terdapat disuatu rumah sakit seperti aspek Pelayanan Medik (Medical Care), Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care), dan Asuhan Keperawatan (Nursing Care). Untuk itulah perlu adanya bekal pengetahuan praktis yang cukup bagi apoteker untuk dapat berperan dalam menangani pasien-pasien PJK dengan baik dari sisi kefarmasian bersama-sama dengan tim kesehatan lainnya. Pengetahuan praktis seperti itu perlu diperbaharui secara terus menerus sesuai dengan perkembangan ilmu kefarmasian dan kedokteran.
Pelaksanaan secara optimal Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) dalam penatalaksanaan pasien PJK, yang meliputi manajemen DRPs adalah pilihan yang tepat dan strategis. Dalam upaya menunjang klinisi bekerjasama untuk mencapai dan menjamin proses terapi medis yang optimal atau proses pengobatan berjalan sesuai dengan standar pelayanan profesi dan kode etik yang telah ditetapkan.
Manajemen DRPs adalah suatu proses yang meliputi semua fungsi yang perlu untuk menjamin terapi obat kepada pasien yang aman, afektif dan ekonomis yang dilaksanakan secara terus menerus. Manajemen DRPs terdiri dari fungsi utamanya adalah: mengidentifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan DRPs baik yang potensial maupun aktual, mengatasi DRPs yang aktual dan mencegah terjadinya DRPs yang potensial. Implikasi dari manajemen DRPs terjadi optimalisasi peran apoteker dalam proses sakit dan sehatnya seorang pasien. Terjalin atau terciptanya komunikasi antara apoteker dengan penderita serta dengan anggota tim perawatan kesehatan pasien, yang kesemuanya ini adalah semata-mata bagi kepentingan vital pasien. Penekanan kepentingan ini direfleksikan dalam komunikasi bersama.
1.2. Tujuan
1.2.1. Umum
Meningkatkan mutu atau kualitas pelayanan pengobatan atau kesehatan pasien penyakit jantung koroner umumnya dan SKA khususnya dalam rangka meningkatkan kepuasan pasien sebagai penerima jasa pelayanan pengobatan atau kesehatan yang dilaksanakan secara profesional.
1.2.2. Khusus
1. Tersedianya buku Pedoman Asuhan Kefarmasian bagi pasien PJK
khususnya pasien SKA secara lengkap dan praktis .
2. Panduan apoteker dalam melakukan/melaksanakan kegiatan Asuhan
Kefarmasian (Pharmaceutical Care) pada pasien SKA
3. Memastikan proses penatalaksanaan pasien SKA berjalan sesuai seperti pedoman yang telah ditetapkan dan disepakati.
4. Melaksanakan manajemen DRPs terhadap pasien SKA yang sedang dirawat.
5. Memberi pengetahuan dan atau penyuluhan pada pasien tentang mekanisme dasar PJK dan rasionalitas pengobatannya.
6. Untuk mendukung dan mempertahankan pola hidup sehat dan mendorong pasien untuk memodifikasi faktor risiko serta memiliki rasa percaya diri dan optimisme.
1.3. Sasaran
Apoteker yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan
BAB II
SINDROM KORONER AKUT
2.1. Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA), infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardial infarction/STEMI) (Gambar 1). APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui petanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila petanda biokimia ini tidak meninggi, maka diagnosis adalah APTS.
Pada APTS dan NSTEMI pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total/ oklusi tidak total (patency), sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, trombosis dan vasokonstriksi. Penentuan troponin I/T ciri paling sensitif dan spesifik untuk nekrose miosit dan penentuan patogenesis dan alur pengobatannya. Sedang kebutuhan miokard tetap dipengaruhi obat-obat yang bekerja terhadap kerja jantung, beban akhir, status inotropik, beban awal untuk mengurangi konsumsi O2 miokard. APTS dan NSTEMI merupakan SKA yang ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard. Penyebab utama adalah stenosis koroner akibat trombus non-oklusif yang terjadi pada plak aterosklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau ruptur.
Sindrom Koroner Akut
Tanpa elevasi segmen ST Elevasi segment ST
NSTEMI STEMI
APTS
IMAnQ IMAQ
INFARK MIOKARD
Gambar 1. Spektrum Sindrom Koroner Akut
Ketiga jenis kejadian koroner itu sesungguhnya merupakan suatu proses berjenjang: dari fenomena yang ringan sampai yang terberat. Dan jenjang itu terutama dipengaruhi oleh kolateralisasi, tingkat oklusinya, akut tidaknya dan lamanya iskemia miokard berlangsung. Pada panduan ini pembahasan lebih difokuskan pada permasalahan tentang 2 bagian dari sindrom ini: Angina pektoris tidak stabil (APTS) dan NSTEMI.
2.2. PATOGENESIS SKA
SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari PJK akibat utama dari proses aterotrombosis selain stroke iskemik serta peripheral arterial disease (PAD). Aterotrombosis merupakan suatu penyakit kronik dengan proses yang sangat komplek dan multifaktor serta saling terkait.
Aterotrombosis terdiri dari aterosklerosis dan trombosis. Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak (plak aterosklerotik) akibat akumulasi beberapa bahan seperti lipid-filled macrophages (foam cells), massive extracellular lipid dan plak fibrous yang mengandung sel otot polos dan kolagen. Perkembangan terkini menjelaskan aterosklerosis adalah suatu proses inflamasi/infeksi, dimana awalnya ditandai dengan adanya kelainan dini pada lapisan endotel, pembentukan sel busa dan fatty streks, pembentukan fibrous cups dan lesi lebih lanjut, dan proses pecahnya plak aterosklerotik yang tidak stabil.
Banyak sekali penelitian yang membuktikan bahwa inflamasi memegang peranan penting dalam proses terjadinya aterosklerosis. Pada penyakit jantung koroner inflamasi dimulai dari pembentukan awal plak hingga terjadinya ketidakstabilan plak yang akhirnya mengakibatkan terjadinya ruptur plak dan trombosis pada SKA.
Perjalanan proses aterosklerosis (initiation, progression dan complication pada plak aterosklerotik), secara bertahap berjalan dari sejak usia muda bahkan dikatakan juga sejak usia anak-anak sudah terbentuk bercak-bercak garis lemak (fatty streaks) pada permukaan lapis dalam pembuluh darah, dan lambat-laun pada usia tua dapat berkembang menjadi bercak sklerosis (plak atau kerak pada pembuluh darah) sehingga terjadinya penyempitan dan/atau penyumbatan pembuluh darah. Kalau plak tadi pecah, robek atau terjadi perdarahan subendotel, mulailah proses trombogenik, yang menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu pembuluh koroner. Pada saat inilah muncul berbagai presentasi klinik seperti angina atau infark miokard. Proses aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif. Konsekuensi yang
dapat menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis yang bersifat tidak
stabil /progresif yang dikenal juga dengan SKA (Gambar 2 ).
Gambar 2. Perjalanan Proses Aterosklerosis (Initiation, Progression dan
Complication) Pada Plak Aterosklerosis
Sedangkan trombosis merupakan proses pembentukan atau adanya darah beku yang terdapat di dalam pembuluh darah atau kavitas jantung. Ada dua macam trombosis, yaitu trombosis arterial (trombus putih) yang ditemukan pada arteri, dimana pada trombus tersebut ditemukan lebih banyak platelet, dan trombosis vena (trombus merah) yang ditemukan pada pembuluh darah vena dan mengandung lebih banyak sel darah merah dan lebih sedikit platelet. Komponen- komponen yang berperan dalam proses trombosis adalah dinding pembuluh darah, aliran darah dan darah sendiri yang mencakup platelet, sistem koagulasi, sistem fibrinolitik, dan antikoagulan alamiah.
Patogenesis terkini SKA menjelaskan, SKA disebabkan oleh obstruksi dan oklusi trombotik pembuluh darah koroner, yang disebabkan oleh plak aterosklerosis yang vulnerable mengalami erosi, fisur, atau ruptur. Penyebab utama SKA yang dipicu oleh erosi, fisur, atau rupturnya plak aterosklerotik adalah karena terdapatnya kondisi plak aterosklerotik yang tidak stabil (vulnerable atherosclerotic plaques) dengan karakteristik; lipid core besar, fibrous cups tipis, dan bahu plak (shoulder region of the plague) penuh dengan aktivitas sel-sel inflamasi seperti sel limfosit T dan lain-lain (Gambar 3). Tebalnya plak yang
dapat dilihat dengan persentase penyempitan pembuluh koroner pada pemeriksaan angiografi koroner tidak berarti apa-apa selama plak tersebut dalam keadaan stabil. Dengan kata lain, risiko terjadinya ruptur pada plak aterosklerosis bukan ditentukan oleh besarnya plak (derajat penyempitan) tetapi
oleh kerentanan (vulnerability) plak.
Gambar 3. Karakteristik plak yang rentan/tidak stabil (vulnerable)
Erosi, fisur, atau ruptur plak aterosklerosis (yang sudah ada dalam dinding arteri koronaria) mengeluarkan zat vasoaktif (kolagen, inti lipid, makrofag dan tissue factor) ke dalam aliran darah, merangsang agregasi dan adhesi trombosit serta pembentukan fibrin, membentuk trombus atau proses trombosis. Trombus yang terbentuk dapat menyebabkan oklusi koroner total atau subtotal. Oklusi koroner berat yang terjadi akibat erosi atau ruptur pada plak aterosklerosis yang relatif kecil akan menyebabkan angina pektoris tidak stabil dan tidak sampai menimbulkan kematian jaringan. Trombus biasanya transien/labil dan menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 10–20 menit (Tabel 1).
Bila oklusi menyebabkan kematian jaringan tetapi dapat diatasi oleh kolateral atau lisis trombus yang cepat (spontan atau oleh tindakan trombolisis) maka akan timbul NSTEMI (tidak merusak seluruh lapisan miokard). Trombus yang terjadi lebih persisten dan berlangsung sampai lebih dari 1 jam. Bila oklusi menetap dan tidak dikompesasi oleh kolateral maka keseluruhan lapisan miokard mengalami nekrosis (Q-wave infarction), atau dikenal juga dengan STEMI. Trombus yang terbentuk bersifat fixed dan persisten yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung lebih dari 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural.
NO MANIFESTASI KLINIK SKA PATOGENESIS
1 ANGINA PEKTORIS TIDAK STABIL
Pada angina pektoris tidak stabil terjadi erosi atau fisur pada plak aterosklerosis yang relatif kecil dan menimbulkan oklusi trombus yang transien. Trombus biasanya labil dan menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung
antara 10-20 menit
2 NSTEMI
(Non-ST Elevation Myocardial Pada NSTEMI
Infarction)
Pada NSTEMI kerusakan pada plak lebih berat dan menimbulkan oklusi yang lebih persisten dan berlangsung sampai lebih dari 1 jam. Pada kurang lebih ¼ pasien NSTEMI, terjadi oklusi trombus yang berlangsung lebih dari 1 jam, tetapi distal dari penyumbatan terdapat koleteral. Trombolisis spontan, resolusi vasikonstriksi dan koleteral memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya STEMI
3 STEMI
(ST Elevation Myocardial Infarction)
Pada STEMI disrupsi plak terjadi pada daerah yang lebih besar dan menyebabkan terbentuknya trombus yang fixed dan persisten yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung lebih dari 1 (satu) jam dan menyebabkan
nekrosis miokard transmural
Tabel 1 . Patogenesis Pada Berbagai Manifestasi Klinik SKA
Sekarang semakin diyakini dan lebih jelas bahwa trombosis adalah sebagai dasar mekanisme terjadinya SKA, trombosis pada pembuluh koroner terutama disebabkan oleh pecahnya vulnerable plak aterosklerotik akibat fibrous cups yang tadinya bersifat protektif menjadi tipis, retak dan pecah. Fibrous cups bukan merupakan lapisan yang statik, tetapi selalu mengalami remodeling akibat aktivitas-aktivitas metabolik, disfungsi endotel, peran sel-sel inflamasi, gangguan matriks ekstraselular atau extra-cellular matrix (ECM) akibat aktivitas matrix metallo proteinases (MMPs) yang menghambat pembentukan kolagen dan aktivitas inflammatory cytokines.
Perkembangan terkini menjelaskan dan menetapkan bahwa proses inflamasi memegang peran yang sangat menentukan dalam proses poto-biologis SKA, dimana vulnerabilitas plak sangat ditentukan oleh proses inflamasi. Inflamasi dapat bersifat lokal (pada plak itu sendiri) dan dapat bersifat sistemik. Inflamasi juga dapat mengganggu keseimbangan homeostatik. Pada keadaan inflamasi terdapat peninggian konsentrasi fibrinogen dan inhibitor aktivator plasminogen di dalam sirkulasi. Inflamasi juga dapat menyebabkan vasospasme pada pembuluh darah karena tergganggunya aliran darah.
Vasokonstriksi pembuluh darah koroner juga ikut berperan pada patogenesis SKA. Vasokonstriksi terjadi sebagai respon terhadap disfungsi endotel ringan dekat lesi atau sebagai respon terhadap disrupsi plak dari lesi itu sendiri. Endotel berfungsi mengatur tonus vaskular dengan mengeluarkan faktor relaksasi yaitu nitrit oksida (NO) yang dikenal sebagai Endothelium Derived Relaxing Factor (EDRF), prostasiklin, dan faktor kontraksi seperti endotelin-1, tromboksan A2, prostaglandin H2. Pada disfungsi endotel, faktor kontraksi lebih dominan dari pada faktor relaksasi. Pada plak yang mengalami disrupsi terjadi platelet dependent vasocontriction yang diperantarai oleh serotonin dan tromboksan A2, dan thrombin dependent vasoconstriction diduga akibat interaksi langsung antara zat tersebut dengan sel otot polos pembuluh darah.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia dalam Pedoman tentang Tata Laksana Sindrom Koroner Akut Tanpa ST-ELEVASI (2004) menjelaskan tentang patogenesis SKA, secara garis besar ada lima penyebab
yang tidak terpisah satu sama lain (Tabel 2). Dengan kata lain penyebab- penyebab tersebut tidak berdiri sendiri, beberapa pasien mempunyai lebih dari dua penyebab.
NO PENYEBAB APST/NSTEMI
1. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
2. Obstruksi dinamik (spasme koroner atau vasokonstriksi)
3. Obstruksi mekanik yang progresif
4. Inflamasi dan atau infeksi
5. Faktor atau keadaan pencetus
Tabel 2. Penyebab APTS/NSTEMI
Dalam empat penyebab pertama, ketidakseimbangan oksigen terjadi terutama oleh karena suplai oksigen ke miokard yang berkurang, sedangkan pada penyebab ke lima adalah ketidakseimbangan terutama akibat meningkatnya kebutuhan oksigen miokard, biasanya disertai adanya keadaan kekurangan pasokan oksigen yang menetap.
2.2.1. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
Penyebab paling sering SKA adalah penurunan perfusi miokard oleh karena penyempitan arteri koroner sebagai akibat dari trombus yang ada pada plak aterosklerosis yang robek/pecah dan biasanya tidak sampai menyumbat. Mikroemboli (emboli kecil) dari agregasi trombosit beserta komponennya dari plak yang ruptur, yang mengakibatkan infark kecil di distal, merupakan penyebab keluarnya petanda kerusakan miokard pada banyak pasien.
2.2.2. Obstruksi dinamik
Penyebab yang agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang mungkin diakibatkan oleh spasme fokal yang terus menerus pada segmen arteri koroner epikardium (angina prinzmetal). Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot polos pembuluh darah dan/atau akibat disfungsi endotel. Obstruksi dinamik koroner dapat juga diakibatkan oleh konstriksi abnormal pada pembuluh darah yang lebih kecil.
2.2.3. Obstruksi mekanik yang progresif
Penyebab ke tiga SKA adalah penyempitan yang hebat namun bukan karena spasme atau trombus. Hal ini terjadi pada sejumlah pasien dengan aterosklerosis progresif atau dengan stenosis ulang setelah intervensi koroner perkutan (PCI).
2.2.4. Inflamasi dan/atau infeksi
Penyebab ke empat adalah inflamasi, disebabkan oleh/yang berhubungan dengan infeksi, yang mungkin menyebabkan penyempitan arteri, destabilisasi plak, ruptur dan trombogenesis. Makrofag dan limfosit-T di dinding plak meningkatkan ekspresi enzim seperti metaloproteinase, yang dapat mengakibatkan penipisan dan ruptur plak, sehingga selanjutnya dapat mengakibatkan SKA.
2.2.5. Faktor atau keadaan pencetus
Penyebab ke lima adalah SKA yang merupakan akibat sekunder dari kondisi pencetus diluar arteri koroner. Pada pasien ini ada penyebab berupa penyempitan arteri koroner yang mengakibatkan terbatasnya perfusi miokard, dan mereka biasanya menderita angina stabil yang kronik. SKA jenis ini antara lain karena :
• Peningkatan kebutuhan oksigen miokard, seperti demam, takikardi dan tirotoksikosis
• Berkurangnya aliran darah koroner
• Berkurangnya pasokan oksigen miokard, seperti pada anemia dan hipoksemia.
Kelima penyebab SKA di atas tidak sepenuhnya berdiri sendiri dan banyak terjadi tumpang tindih. Dengan kata lain tiap penderita mempunyai lebih dari satu penyebab dan saling terkait.
2.3. DIAGNOSIS
2.3.1. Riwayat/ Anamnesis
Diagnosa adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat dan tepat dan didasarkan pada tiga kriteria, yaitu; gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran EKG (elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari enzim jantung.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien SKA. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan SKA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien SKA.
Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut :
• Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial
• Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
• Penjalaran ke : leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.
• Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
• Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan
• Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan lemas.
Berat ringannya nyeri bervariasi. Sulit untuk membedakan antara gejala
APTS/NSTEMI dan STEMI.
Pada beberapa pasien dapat ditemukan tanda-tanda gagal ventrikel kiri akut. Gejala yang tidak tipikal seperti rasa lelah yang tidak jelas, nafas pendek, rasa tidak nyaman di epigastrium atau mual dan muntah dapat terjadi, terutama pada wanita, penderita diabetes dan pasien lanjut usia. Kecurigaan harus lebih besar pada pasien dengan faktor risiko kardiovaskular multipel dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan diagnosis.
NO PATOGENESIS PENAMPILAN KLINIS UMUM
Angina saat istirahat Angina terjadi saat istirahat dan terus menerus, biasanya
1
lebih dari 20 menit
2 Angina pertama kali Angina yang pertama kali terjadi, setidaknya CCS Kelas III*
Angina yang
3
meningkat
Angina semakin lama makin sering, semakin lama waktunya atau lebih mudah tercetus
Tabel 3. Tiga Penampilan Klinis Umum
* Klasifikasi AP dari CCS classification
2.3.2. Pemeriksaan Fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari APTS/NSTEMI. Hipertensi tak terkontrol, anemia, tirotoksikosis, stenosis aorta berat, kardiomiopati hipertropik dan kondisi lain, seperti penyakit paru.
Keadaan disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, ronki dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan juga penderita penyakit jantung koroner (PJK).
2.3.3. Elektrokardiografi
EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis. Rekaman yang dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat. Gambaran diagnosis dari EKG adalah :
1. Depresi segmen ST > 0,05 mV
2. Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inversi gelombang T yang simetris di sandapan prekordial
Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan adanya perubahan segmen ST. Namun EKG yang normal pun tidak menyingkirkan diagnosis APTS/NSTEMI
Pemeriksaaan EKG 12 sadapan pada pasien SKA dapat mengambarkan kelainan yang terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk evaluasi lebih lanjut, dengan berbagai ciri dan katagori:
• Angina pektoris tidak stabil: depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu nyeri, tidak dijumpai gelombang Q.
• Infark miokard non-Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam
...............................
2.3.4. Petanda Biokimia Jantung
Petanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dari pada CKMB. Troponin C, TnI dan TnT berkaitan dengan konstraksi dari sel miokrad. Susunan asam amino dari Troponin C sama dengan sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada TnI dan TnT berbeda. Nilai prognostik dari TnI atau TnT untuk memprediksi risiko kematian, infark miokard dan kebutuhan revaskularisasi dalam 30 hari, adalah sama. Kemampuan dan nilai dari masing-masing petanda jantung dapat dilihat pada Tabel 4.
Kadar serum creatinine kinase (CK) dan fraksi MB merupakan indikator penting dari nekrosis miokard. Keterbatasan utama dari kedua petanda tersebut adalah relative rendahnya spesifikasi dan sensitivitas saat awal (<6 jam) setelah onset serangan. Risiko yang lebih buruk pada pasien tnpa segment ST elevasi lebih besar pada pasien dengan peningkatan nilai CKMB.
PETANDA LABORATORIUM
Troponin Jantung
KEUNGGULAN
9 Modalitas yang kuat untuk stratifikasi risiko
9 Sensitivitas dan spesitifitas yang lebih baik dari CKMB
9 Deteksi serangan infark miokard sampai dengan 2 minggu setelah terjadi
9 Bermanfaat untuk seleksi pengobatan
9 Deteksi reperfusi
KEKURANGAN
9 Kurang sensitif pada awal terjadinya serangan (onset <6 jam) dan membutuhkan penilaian ulang pada 6-12 jam, jika hasil negatif.
9 Kemampuan yang terbatas untuk mendeteksi infark ulangan yang terlambat
REKOMENDASI KLINIK
Tes yang bermanfaat untuk mendiagnosis kerusakan miokard, dimana klinisi harus membiasakan diri dengan
keterbatasan penggunaan pada laboratorium RS nya masing-masing
CK-MB
KEUNGGULAN
9 Cepat, efisiensi biaya dan tepat
9 Dapat mendeteksi awal infark
KEKURANGAN
9 Kehilangan
spesifitas pada penyakit otot jantung dan kerusakan otot miokard akibat bedah
9 Kehilangan sensi- tifitas saat awal infark miokard akut (onset < 6 jam) atau sesudahnya setelah onset (36 jam) dan untuk kerusakan otot jantung minor (terdeteksi dengan troponin)
REKOMENDASI KLINIK
Standar yang berlaku dan masih dapat diterima sebagai tes diagnostik pada sebagaian besar kondisi
Mioglobin
KEUNGGULAN
9 Sensitifitas tinggi
9 Bermanfaat untuk deteksi awal infark miokard
9 Deteksi reperfusi
9 Sangat bermanfaat dalam menilai infark miokard
KEKURANGAN
9 Spesifitas yang rendah dalam menilai kerusakan dan penyakit otot rangka
9 Penurunan yang cepat ke nilai normal, sensitif untuk kejadian yang terlambat (normal kembali dalam 6
jam)
REKOMENDASI KLINIK
Tidak digunakan sebagai satu- satunya petanda diagnostik karena kelemahan pada spesifitas jantung
Tabel 4. Petanda Biokimia Jantung Untuk Evaluasi dan Tatalaksana SKA tanpa Elevasi Segmen ST
Meskipun mioglobin tidak spesifikasi untuk jantung, tapi memiliki sensitifitas yang tinggi. Dapat terdeteksi secara dini 2 jam setelah onset nyeri. Tes negatif dari mioglobin dalam 4-8 jam sangat berguna dalam menetukan adanya nekrosis miokard. Meskipun demikian mioglobin tak dapat digunakan sebagai satu- satunya petanda jantung untuk mengidentifikasi pasien dengan NSTEMI.
Peningkatan kadar CKMB sangat erat berkaitan dengan kematian pasien dengan SKA tanpa elevasi segmen ST, dan naiknya risiko dimulai dengan meningkatnya kadar CKMB diatas normal. Meskipun demikian nilai normal CKMB tidak menyingkirkan adanya kerusakan ringan miokard dan adanya risiko terjadinya perburukan penderita.
Troponin khusus jantung merupakan petanda biokimia primer untuk SKA. Sudah diketahui bahwa kadar troponin negatif saat < 6 jam harus diulang saat 6-12 jam setelah onset nyeri dada. Pemeriksaan troponin jantung dapat dilakukan di
laboratorium kimia atau dengan peralatan sederhana / bediside. Jika dilakukan di laboratorium, hasilnya harus dapat diketahui dalam waktu 60 menit.
Jenis Nyeri Dada EKG Enzim Jantung
APTS
Nyeri Dada Angina pada waktu istirahat/aktivitas ringan (CCS III-IV). Cresendo angina. Hilang dengan nitrat , EKG Depresi segmen T Inversi gelombang T Tidak ada gelombang Q, Enzim Jantung Tidak meningkat
NSTEMINyeri Dada Lebih berat dan lama (> 30 menit). Tidak hilang dengan nitrat, perlu opiuM, EKG Depresi segmen ST Inversi gelombang T, Enzim jantung Meningkat minimal 2 kali nilai batas atas normal
STEMI
Lebih berat dan lama (> 30 menit) tidak hilang dengan nitrat, perlu opium, EKG Hiperakut T Elevasi segmen T Gelombang Q Inversi gelombang T, Enzim jantung Meningkat minimal 2 kali nilai batas atas normal
Tabel 5. Spektrum Klinis Sindrom Koroner
Gambar 4. EKG dari pasien SKA (NSTEMI)
2.4. Stratifikasi Risiko
2.4.1. Penilaian Risiko
Penilaian risiko harus dimulai dengan penilaian terhadap kecenderungan penyakit jantung koroner (PJK). Lima faktor terpenting yang dimulai dari riwayat klinis yang berhubungan dengan kecenderungan adanya PJK, diurutkan berdasarkan kepentingannya adalah,
1. Adanya gejala angina
2. Riwayat PJK sebelumnya
3. Jenis kelamin
4. Usia
5. Diabetes, faktor risiko tradisonal lainnya
Saat diagnosis APTS/NSTEMI sudah dipastikan, maka kencenderungan akan terjadinya perubahan klinis dapat diramalkan berdasarkan usia, riwayat PJK sebelumnya, pemeriksaan klinis, EKG dan pengukuran petanda jantung.
2.4.2. Rasionalisasi Stratifikasi Risiko
Pasien dengan APTS/NSTEMI memiliki peningkatan terhadap risiko kematian, infark berulang, iskemia berulang dengan simptom, aritmia berbahaya, gagal jantung dan stroke. Penilaian prognosis tidak hanya menolong untuk penanganan kegawatan awal dan pengobatannya, tetapi juga membantu penentuan pemakaian fasilitas seperti:
1. Seleksi ruang perawatan (CVCU, intermediate ward, atau rawat jalan) dan
2. Seleksi pengobatan yang tepat, seperti antagonis GP IIb/ IIIa dan intervensi koroner
Rekomendasi
1. Penentuan adanya kecenderungan iskemia akut karena PJK harus dilakukan pada semua pasien dengan keluhan tidak enak di dada
2. Pasien dengan APTS/NSTEMI harus dilakukan stratifikasi risiko yang terfokus pada gejala angina, penemuan pemeriksaan fisik, penemuan EKG dan petanda biokimia akan kerusakan jantung
3. EKG 12 sadapan harus dilakukan segera (dalam 10 menit) pada pasien dengan keluhan nyeri dada terus menerus dan segera mungkin pada pasien dengan riwayat iskemia akut yang menetap namun menghilang dalam evaluasi selanjutnya.
4. Petanda biokimia dari kerusakan jantung harus dinilai pada semua pasien yang datang dengan nyeri dada karena APTS/NSTEMI. Troponin khusus jantung merupakan petanda pilihan, dan jika mungkin, harus dilakukan pada semua pasien. Pemeriksaan CKMB dapat juga dilakukan. Pada pasien dengan hasil negatif saat pengukuran < 6 jam, harus dilakukan penilaian ulang pada saat 6-12 jam.
Kriteria untuk risiko tinggi dan rendah terhadap kematian atau Infark Miokard Akut (IMA ) Risiko tinggi
• Pasien dengan gejala berat
1.Iskemia berulang (dengan gejala iskemik yang semakin sering dalam 48 jam atau terus menerus (20 menit) nyeri saat istirahat
2.Pasien dengan angina saat istirahat yang tidak hilang dengan nitrat
3.Pasien dengan infark baru sebelumnya
4.Pasien dengan riwayat revaskularisasi sebelumnya (PCI,CABG)
5.Pasien dengan riwayat pengobatan ASA kurang dari 7 hari
• Pasien dengan hemodinamika tak stabil selama periode observasi
1. Edema paru
2. Regurgitasi mitral baru atau perburukan
3. Hipotensi, bradikardi atau takikardi
• Pasien dengan kelainan EKG
1. Perubahan segmen ST yang dinamik > 0.05 mV, terutama deperesi segment ST
2. Elevasi segment ST yang transient
3. Inverse gelombang T > 0.2 mV
4. Gelombang Q patologis
5. Budle branch block, baru atau diperkirakan baru
6. Sustained ventricular tachycardia
• Pasien dengan peningkatan kadar Troponin
• Pasien dengan disfungsi ventrikel dan fraksi ejeksi yang menurun (dengan ekokardiografi) < 40%
Risiko Rendah
• Pasien tanpa keluhan nyeri dada berulang dalam periode observasi
* Pasien tanpa depresi atau elevasi segment ST tetapi menunjukan sedikit gelombang T
negatif, gel T mendatar/ flat atau normal EKG
• Pasien tanpa peningkatan kadar troponin atau petanda lain dari kerusakan jantung
Tabel 6. Kriteria Risiko Tinggi dan Rendah Terhadap Kematian atau Infark Miokard Akut (IMA)
2.5. Triase
Nyeri dada merupakan keluhan yang paling sering dijumpai pada sebagian besar fasilitas kesehatan. Dengan banyaknya variasi penyebab nyeri dada, yang bervariasi dari keluhan yang mengacam jiwa sampai dengan nyeri karena otot, dokter di fasilitas kesehatan harus dapat mentriase pasien nyeri dada dengan akurat sehingga jika ditemukan kecurigaan SKA dapat dievaluasi dengan cepat dan pengobatan definitif segera dilakukan.
Pada sebagian besar pasien tanpa riwayat PJK sebelumnya, nyeri dada bukan merupakan suatu kegawatan. Oleh sebab itu, triase yang efektif dapat dilakukan dengan anamnesa sesuai target untuk menyingkirkan gejala yang berkaitan dengan SKA.
Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan seperti berikut ini :
• Apakah ada riwayat PJKA sebelumnya?
• Singkirkan faktor risiko komorbid, seperti merokok, diabetes, hipertensi, dislipidemia atau riwayat PJK di keluarga
• Apakah nyeri dada dirasakan seperti menusuk atau menekan (curiga angina) ?
• Apakah nyeri (kearah angina) menjalar ke bagian tubuh lain?
• Adakah nyeri saat istirahat dan apakah terus menerus (> 20 menit)?
• Pada pasien PJK, apakah nyeri menghilang dengan pemakian nitrat sublingual?
Berdasarkan jawaban terhadap pertanyaan ini, jika dicurigai adanya diagnosis
SKA, harus dilakukan pemeriksaan EKG 12 sadapan dalam waktu 10 menit. Jika
belum ada fasilitasnya maka pasien harus segera dirujuk ke fasilitas terdekat yang memungkinkan.
EKG 12 sadapan merupakan hal utama dalam triase pasien dengan menentukan stratifikasinya pada salah satu dari kelompok di bawah ini:
• Elevasi segment ST atau onset baru LBBB Spesifitas tinggi terhadap adanya STEMI
• Depresi segment ST
Indikasi kuat adanya iskemia
• Non diagnostik atau EKG normal
Pada pasien dengan faktor risiko positif, penilaian ulang EKG dan petanda biokimia merupakan indikasi. Petanda jantung saat ini merupakan suatu hal yang sangat penting dalam elevasi dan stratifikasi pasien dengan APTS/NSTEMI. Pemilihan petanda biokimia tersebut tergantung pada onset dan lamanya nyeri dada.
Penyelenggara kesehatan harus merujuk setiap pasiennya yang dicurigai SKA dengan keluhan dada tidak enak dan petanda biokimia positif ke fasilitas kesehatan lainnya dimana terapi definitif dapat segera dimulai.
Gambar 5. Algoritma Untuk Triase Dan Tata Laksana SKA
BAB III PENATALAKSANAAN
3.1. Tata Laksana Secara Umum
Prinsip penatalaksanaan SKA adalah mengembalikan aliran darah koroner dengan trombolitik/ PTCA primer untuk menyelamatkan jantung dari infark miokard, membatasi luasnya infark miokard, dan mempertahankan fungsi jantung. Penderita SKA perlu penanganan segera mulai sejak di luar rumah sakit sampai di rumah sakit. Pengenalan SKA dalam keadaan dini merupakan kemampuan yang harus dimiliki dokter/tenaga medis karena akan memperbaiki prognosis pasien. Tenggang waktu antara mulai keluhan-diagnosis dini sampai dengan mulai terapi reperfusi akan sangat mempengaruhi prognosis. Terapi IMA harus dimulai sedini mungkin, reperfusi/rekanalisasi sudah harus terlaksana sebelum 4-6 jam.
Pasien yang telah ditetapkan sebagai penderita APTS/NSTEMI harus istirahat di ICCU dengan pemantauan EKG kontiniu untuk mendeteksi iskemia dan aritmia. Oksigen diberikan pada pasien dengan sianosis atau distres pernapasan. Perlu dilakukan pemasangan oksimetri jari (finger pulse oximetry) atau evaluasi gas darah berkala untuk menetapkan apakah oksigenisasi kurang (SaO2 <90%). Morfin sulfat diberikan bila keluhan pasien tidak segera hilang dengan nitrat, bila terjadi endema paru dan atau bila pasien gelisah. Penghambat ACE diberikan bila hipertensi menetap walaupun telah diberikan nitrat dan penyekat-β pada pasien dengan disfungsi sistolik faal ventrikel kiri atau gagal jantung dan pada pasien dengan diabetes. Dapat diperlukan intra-aortic ballon pump bila ditemukan iskemia berat yang menetap atau berulang walaupun telah diberikan terapi medik atau bila terdapat instabilitas hemodinamik berat.
3. 2. Tata Laksana Sebelum Ke Rumah Sakit (RS)
Prinsip penatalaksanaan adalah membuat diagnosis yang cepat dan tepat, menentukan apakah ada indikasi reperfusi segera dengan trombolitik dan teknis transportasi pasien ke rumah sakit yang dirujuk.
Pasien dengan nyeri dada dapat diduga menderita infark miokard atau angina pektoris tak stabil dari anamnesis nyeri dada yang teliti. Dalam menghadapi pasien-pasien nyeri dada dengan kemungkinan penyebabnya kelainan jantung, langkah yang diambil atau tingkatan dari tata laksana pasien sebelum masuk rumah sakit tergantung ketepatan diagnosis, kemampuan dan fasilitas pelayanan kesehatan maupun ambulan yang ada.
Berdasarkan triase dari pasien dengan kemungkinan SKA, langkah yang diambil pada prinsipnya sebagai berikut :
a. Jika riwayat dan anamnesa curiga adanya SKA
9 Berikan asetil salisilat (ASA) 300 mg dikunyah
9 Berikan nitrat sublingual
9 Rekam EKG 12 sadapan atau kirim ke fasilitas yang memungkinkan
9 Jika mungkin periksa petanda biokimia
b. Jika EKG dan petanda biokimia curiga adanya SKA
Kirim pasien ke fasilitas kesehatan terdekat dimana terapi defenitif dapat diberikan
c. Jika EKG dan petanda biokimia tidak pasti akan SKA
9 Pasien risiko rendah ; dapat dirujuk ke fasilitas rawat jalan
9 Pasien risiko tinggi : pasien harus dirawat
Semua pasien dengan kecurigaan atau diagnosis pasti SKA harus dikirim dengan ambulan dan fasilitas monitoring dari tanda vital. Pasien harus diberikan penghilang rasa sakit, nitrat dan oksigen nasal. Pasien harus ditandu dengan posisi yang menyenangkan, dianjurkan elevasi kepala 40 derajat dan harus terpasang akses intravena. Sebaiknya digunakan ambulan/ambulan khusus.
3.3. Tata Laksana di Rumah Sakit
3.3.1. Instalasi Gawat Darurat
Pasien-pasien yang tiba di UGD, harus segera dievaluasi karena kita berpacu dengan waktu dan bila makin cepat tindakan reperfusi dilakukan hasilnya akan lebih baik. Tujuannya adalah mencegah terjadinya infark miokard ataupun membatasi luasnya infark dan mempertahankan fungsi jantung. Manajemen yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Dalam 10 menit pertama harus selesai dilaksanakan adalah: a. pemeriksaan klinis dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan, b. periksa enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT,
c. berikan segera: 02, infus NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%, d. pasang monitoring EKG secara kontiniu,
e. pemberian obat:
f. nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi bila TD sistolik < 90 mmHg), bradikardia (< 50 kali/menit), takikardia,
g. aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak responsif diganti dengan dipiridamol, tiklopidin atau klopidogrel, dan
h. mengatasi nyeri: morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5 menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg intravena.
2. Hasil penilaian EKG, bila:
a. Elevasi segmen ST > 0,1 mV pada 2 atau lebih sadapan ekstremitas berdampingan atau > 0,2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial berdampingan atau blok berkas (BBB) dan anamnesis dicurigai adanya IMA maka sikap yang diambil adalah dilakukan reperfusi dengan :
- terapi trombolitik bila waktu mulai nyeri dada sampai terapi < 12 jam, usia < 75 tahun dan tidak ada kontraindikasi.
- angioplasti koroner (PTCA) primer bila fasilitas alat dan tenaga memungkinkan. PTCA primer sebagai terapi alternatif trombolitik atau bila syok kardiogenik atau bila ada kontraindikasi terapi trombolitik
b. Bila sangat mencurigai ada iskemia (depresi segmen ST, insersi T), diberi terapi anti-iskemia, maka segera dirawat di ICCU; dan
c. EKG normal atau nondiagnostik, maka pemantauan dilanjutkan di UGD.
Perhatikan monitoring EKG dan ulang secara serial dalam pemantauan 12 jam pemeriksaan enzim jantung dari mulai nyeri dada dan bila pada evaluasi selama 12 jam, bila:
- EKG normal dan enzim jantung normal, pasien berobat jalan untuk evaluasi stress test atau rawat inap di ruangan (bukan di ICCU), dan
- EKG ada perubahan bermakna atau enzim jantung meningkat, pasien di rawat di ICCU.
3.4. TATALAKSANA PASIEN NSTEMI
Diagnosa Risiko:
Berdasarkan diagnosa dari UA atau NSTEMI, level risiko akan kematian dan iskemia kardiak non fatal harus dipertimbangkan / didiagnosa.
Pengobatan dilakukan berdasarkan level risiko ini.
Diagnosa suatu risiko itu multivariable, berikut ini adalah prosedur / tahapan garis besarnya.
Pasien disadari memiliki risiko tinggi
Jika satu atau lebih dari hal-hal di bawah ini terjadi pada pasien, hal-hal tersebut diantaranya adalah:
Iskemia berulang. Dapat muncul baik itu berupa sakit dada berulang atau
perubahan segmen ST yang dinamik yang terlihat pada profil EKG. (Depresi segmen ST atau penaikan segment ST sementara),terjadinya sakit dada saat istirahat > 20 menit, peningkatan level marker cardiac (CK-MB, Troponim T atau I, Protein reactive C), pengembangan ketidakstabilan hemodinamik dalam perioda observasi, Aritmia mayor (fibrilasi ventricular, keberulangan tachycardia ventrikular) atau disfungsi ventricular kiri, Angina tak stabil post-infarction dini, thrombus pada angiografi
Pasien risiko rendah
Tidak ada sakit dada berulang saat perioda observasi, tidak ada tanda angina saat istirahat, tidak ada peningkatan troponin atau marker biokimia lain,
EKG normal atau tidak ada perubahan selama episode ketidaknyamanan dada.
Terlihat peningkatan segmen ST pada EKG
Terdiagnosa terjadinya sindrom koroner akut (SKA)
Tidak ada peningkatan segmen ST pada EKG
Mengacu pada : penatalaksanaan rencana pengobatan MI
Pasien Risiko Rendah Pasien Risiko Tinggi
Obat yang digunakan :
9 Aspirin & Klopidogrel
Jika aspirin intoleransi dan klopidogrel tidak dapat digunakan, gunakan :
9 Ticlopidine
9 Nitrat
9 Tablet sublingual atau spray atau IV
(kontraindikasi pada pasien yang menerima sildenafil dalam 24 jam ke belakang. Gunakan dengan perhatian pada pasien dengan gagal RV)
9 β-bloker oral (jika tidak kontra indikasi)
9 antagonis kalsium non-dihidropiridin jika sukar untuk meneruskan pengobatan yang terdahulu.
9 Senyawa penurun lipid
¾ Inhibitor HMG-CoA reduktase & diet LDL-c> 2.6 mmol/L (100 mg/dL) dimulai dalam 24-96 jam setelah masuk RS.Dilanjutkan pada saat keluar RS
¾ Fibrat atau niasin jika HDL-c < 1 mmol/L (40 mg/dL) muncul sendiri atau
dalam kombinasi dengan obnormalitas lipid lain
9 Heparin
(tidak dilanjutkan jika diagnosa enzim kardiak sekunder normal)
test stress direkomendasikan meskipun selama berada di RS atau dalam 72 jam
Perjanjian follow-up dalam 2-6 minggu
Pengobatan Untuk Pasien Berisiko Tinggi
• Istirahat di kasur dengan monitoring EKG yang tetap berlangsung
• Suplemen oksigen untuk mempertahankan kejenuhan O2 > 90%.
Pengobatan sakit Iskemia
Nitrat
• Tablet sublingual atau spray (max 3 dosis)
• Jika sakit tidak berkurang, lanjutkan dengan pemakaian IV
• Nitrogliserin IV lazimnya diganti dengan nitrat oral dalam 24 jam periode bebas sakit
• Regimen dosis oral seharusnya memiliki interval bebas nitrat untuk mencegah berkembangnya toleransi
• Kontraindikasi pada pasien yang menerima sildenafil dalam 24 jam yang lalu
• Gunakan dengan perhatian pada pasien dengan gagal RV
β-bloker
• Direkomendasikan jika tidak ada kontraindikasi
• Jika saki dada berlanjut, gunakan dosis pertama IV yang diikuti dengan tablet oral
• Semua β-bloker itu keefektifannya sama, tetapi β-bloker tanpa aktivitas simpatomimetik intrinsik lebih disukai
Morfin sulfat
• Direkomendasikan jika sakit tidak kurang dengan terapi anti iskemia yang cukup dan jika terdapat kongesti pulmonary atau agitasi parah
• Dapat digunakan dengan nitrat selama tekanan darah dimonitor
• 1-5 mg IV setiap 5-30 menit jika diperlukan
• Perlu diberikan juga obat anti muntah
• Penggunaan disertai perhatian jika terjadi hipotensi pada penggunaan awal nitrat
Pilihan Pengobatan Lain Untuk Iskemia :
Antagonis Kalsium
• Dapat digunakan ketika β-bloker kontra indikasi (verapamil & diltiazem lebih disukai)
• Antagonis kalsium dihidropiridin dapat digunakan pada pasien yang sulit sembuh hanya setelah gagal menggunakan nitrat dan β-bloker
Inhibitor ACE
• Diindikasikan pada hipertensi yang tetap (walaupun sedang menjalani pengobatan dengan nitrat dan β-bloker), disfungsi sistolik LV,CHF.
Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan
• Esensial untuk memodifikasi proses penyakit & kemungkinan perkembangannya menuju kematian, MI atau MI berulang.
Aspirin dan Klopidogrel
• Sebaiknya diinisiasi dengan baik
Untuk pasien intoleransi aspirin & ketika klopidogrel tidak dapat digunakan:
Heparin
• Heparin bobot molekul rendah (LMWH = low molecular weight heparin) secara subkutan atau heparin tidak terfraksinasi (UFH = unfractioned heparin) secara IV dapat ditambahkan sebagai terapi antiplatelet.
Antagonis GP IIb/IIIa
• Penggunaannya direkomendasikan sebagai tambahan aspirin & UFH pada pasien dengan iskemia berlanjut atau dengan risiko tinggi lainnya & untuk pasien yang intervensi koroner percutaneous direncanakan
Modifikasi risiko : Senyawa menurun lipid
- Inhibitor HMG-CoA reduktase & diet untuk LDL-c> 2,6 mmol/L (100mg/dL) dimulai dengan 24-
96 jam setelah masuk RS Diteruskan saat keluar RS
- Fibrat atau niasin jika HDL-c < 1 mmol/L (40 mg/dL) muncul sendiri atau kombinasi dengan abnormalitas lipid lain.
Pengobatan Untuk Pasien Berisiko Tinggi
Prosedur invasive
• Intra-aortic balloon counterpulsation (IABP) disediakan untuk pasien yang sulit mencapai terapi obat secara maksimal & mereka yang menggunakan catheterisasi kardiak
• Percutaneous coronary intervention (PCI) atau coronary artery bypass graft (CABG) dapat dibuat untuk menyembuhkan iskemia berlanjut atau berulang & untuk membantu mencegah perkembangan manjadi MI atau kematian.
• Indikasi & metode yang disukai adalah berada diluar posedur ini, biasanya berdasarkan atas hasil dari suatu angiografi.
Terapi saat “hospital discharge”
Melanjutkan senyawa anti iskemia oral jika:
• Cardiovascular revascularization tidak dibuat
• Revacularization yang tidak berhasil
• Munculnya gejala lagi walaupun sudah dilakukan revaskularisasi
Nitrat
• Nitrat sublingual dapat diberikan kepada seluruh pasien ketika dibutuhkan untuk angina
Aspirin dilanjutkan tanpa batas klopidogrel dilanjutkan untuk 1 bulan- 1 tahun Untuk pasien intoleransi aspirin dan yang klopidogrel tidak dapat digunakan: Ticlopidin
β-bloker oral jika tidak ada kontraindikasi
Inhibitor ACE
Pada pasien dengan CHF, disfungsi LV atau diabetes
Tindakan Pencegahan Sekunder:
Perubahan pola hidup
Senyawa penurun lipid
Inhibitor HMG-CoA reduktase & diet untuk LDL-c > 2,6 mmol/L (100mg/Dl)
Fibtar atau niasin jika HDL-c < 1 mmol/L (40 mg/dL) muncul sendiri atau dalam kombinasi
Follow up:
Revascularization pasien dapat kembali dalam 2-6 minggu
Pasien risiko tinggi dapat kembali dalam 1-2 minggu
Nitrat
Gliseril trinitrate (nitrogliserin) : tablet 500 mcg atau spray 0,4 mg SL setiap 3-5 menit sampai sakit berhenti atau jika efek samping « supervene » (maksimal 3 dosis)
Isosorbid dinitrat spray : 1-3 spray dari 1,25 mg ke dalam lubang buccal ada interval 30 detik ketika menahan nafas.
Isosorbid dinitrat : 5-10 mg tablet SL setiap 5-10 menit sampai rasa sakit hilang. (Max 3 dosis dalam 15-30 menit).
Gliseril trinitrate (nitrogliserin) : awal 5mcg/ menit infusan IV. Bertambah iv menjadi 5 mcg / menit, meningkat 10 mcg/min setiap 3-5 menit (max 200mcg/ menit). Isosorbid dinitrate IV infusan 2-10 mg/jam IV.
Direkomendasikan berubah ke dosis dalam 24 jam selama gejala dikontrol sesuai kebutuhan dalam rangka untuk mencegah toleransi.
Oral & topical
Isosorbid dinitrate
Pelepasan cepat : 10-40 mg per oral bid-qid
Pelepasan lambat : 20 mg per oral bid-tid atau 40 mg per oral sehari sekali-bid
Isosorbid mononitrat
Pelepasan sedang : 20-40 mg per oral bid
Pelepasan lambat : 40-120 mg per oral sekali sehari
Nitroglycerin capsul : 2,5-7,5 mg per oral bid-tid
Nitroglycerin transdermal patch : 5-20 mg/24 jam patch digunakan tropical sekali sehari periode patch-on dari 12-16 jam & periode patch-off dari 8-12 jam.
Semua terapi nitroglycerin harus termasuk periode bebas nitrat (8-2 jam/hari) untuk mencegah toleransi. Penggunaan sildenfil kontraindikasi pada pasien yang mengkonsumsi nitrat. Gunakan
dengan perhatian bagi pasien dengan kegagalan RV.
β-bloker IV
Atenolol : 5 mg IV diatas 5 menit & diulang 1x dosis 5-10 menit kemudian. Diikuti dengan oral 50-100mg PO sekali sehari dimulai 1-2 jam setelah dosis IV (senyawa aksi panjang hanya direkomendasikan untuk pasien yang dapat toleransi )
β-bloker oral
Target kecepatan jantung istirahat adalah 50-60 detak/ menit.
Acebutolol : 20mg peroral 2x sehari pada awal. (max 1200mg/ hari) Alprenolol : 50-100 mg peroral 4x sehari
Terapi Antiplatelet Oral
Aspirin
Dosis awal : 162-325 mg peroral sebagai dosis tunggal (dapat dikunyah pada pasien yang belum mendapat aspirin untuk kadar darah aspirin cepat)
Dosis harian : 75-160 mg peroral 1x sehari
Klopidogrel
Dosis awal : 30 mg peroral sebagai dosis tunggal
Dosis harian : 75 mg peroral 1 kali sehari
Ticlopidin : 250 mg peroral 2 kali sehari (kontrol jumlah platelet &sel darah putih selama pengobatan)
Heparin
Heparin bobot molekul rendah
Dalteparin : 120 iu/kg subkutan setiap 12 jam (max 10,000 iu setiap 12 jam) untuk lebih dari 6 hari Enoxaparin : 1 mg/kg sub kutan setiap 12 jam (dapat digunakan sebagai bolus 30 mg) sampai pasien stabil Nadroparin 88 : anti-xa iu/kg subkutan setiap 12 jam untuk lebih dari 6 hari
Heparin tak terfraksinasi 60-70u/kg bolus IV (max 5000 u) diikuti dengan 12-15 iu/kg/hari IV (max 1000 u/hari)
Dosis diatur untuk mecapai PTT 1,5-2,5 kontrol waktu. PTT dapat diukur 6 jam setelah perubahan dosis apapun.
LMWH sama efektifnya dengan UFH. LMWH berguna oleh karena ketidakperluan monitoring. Kemudahan rute pemberian subkutan, peningkatan ketersediaan hayati, waktu paruh plasma lebih lama & efek antikoagulan yang terprediksi. Dua penelitian klinik telah menyediakan data keuntungan LMWH (enoxaparin)
di atas UFH ketika digunakan sebagai regimen akut.
Antagonis Reseptor Platelet GP IIb/IIIa
Abciximab : Gunakan hanya dalam pasien yang menerima PCI dalam 24 jam 250 mcg/kg IV bolus diikuti oleh 10mcg/menit infusan IV untuk 18-24 jam termasuk 1 jam setelah PCI.
Eptifibatide: 180 mcg/kg bolus IV diatas 1-2 menit diikuti oleh 2mcg/kg/menit infusan IV untuk
72 jam sampai keluar RS atau dibuat CABG. Jika pasien mengalami PCI, secara standar kurangi kecepatan infusnya menjadi 5 mcg/kg/menit pada saat prosedur. Lanjutkan untuk 20-24 jam setelah prosedur (di atas 96 jam).
Tirofiban : 0,4 mcg/kg/menit infusan IV untuk 30 menit diikuti oleh 0.1 smcg/kg/menit untuk
48-96 jam.
3.5. TATA LAKSANA PASIEN STEMI
Pasien dari IGD/UGD dengan SKA dikirim ke ICCU/CVC untuk penatalaksanaan selanjutnya yaitu sebagaimana penatalaksanaan STEMI/IMA yakni sebagai berikut:
3.5.1 Umum
1) Pasang infus intravena: dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
2) Pantau tanda vital: setiap ½ jam sampai stabil, kemudian tiap 4 jam atau sesuai dengan kebutuhan, catat jika frekuensi jantung < 60 kali/mnt atau >
110 kali/mnt; tekanan darah < 90 mmHg atau > 150 mmHg; frekuensi nafas <
8 kali/mnt atau > 22 kali/mnt.
3) Aktifitas istirahat di tempat tidur dengan kursi commode di samping tempat tidur dan mobilisasi sesuai toleransi setelah 12 jam.
4) Diet: puasa sampai bebas nyeri, kemudian diet cair. Selanjutnya diet jantung (kompleks karbohidrat 50-55% dari kalori, monounsaturated dan unsaturated fats < 30% dari kalori), termasuk makanan tinggi kalium (sayur, buah), magnesium (sayuran hijau, makanan laut) dan serat (buah segar, sayur, sereal).
5). Medika mentosa :
• Oksigen nasal mulai 2 l/mnt: dalam 2-3 jam pertama; dilanjutkan jika saturasi oksigen arteri rendah (< 90%)
• Mengatasi rasa nyeri: Morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap lima menit sampai dosis total 20 mg, atau Petidin 25-50 mg intravena, atau Tramadol 25-50 mg intravena. Nitrat sublingual/patch, intravena jika nyeri berulang dan berkepanjangan.
6). Terapi reperfusi (trombolitik) streptokinase atau tPa:
• Tujuan: door to needle time < 30 menit, door to dilatation < 60 mnt.
• Rekomendasi:
9 Elevasi ST > 0,1 mV pada dua atau lebih sadapan ekstremitas berdampingan atau > 0,2 mV pada dua atau lebih sadapan
prekordial berdampingan, waktu mulai nyeri dada sampai terapi <
12 jam, usia < 75 tahun; Blok cabang berkas (BBB) dan anamnesis dicurigai infark miokard akut.
9 Dosis obat-obat trombolitik:
Streptokinase: 1,5 juta UI dalam 1 jam; Aktivator plasminogen jaringan (tPA): bolus 15 mg, dilanjutkan 0,75 mg/kgBB (maksimal
50 mg) dalam jam pertama dan 0,5 mg/kgBB (maksimal 35 mg)
dalam 60 menit.
7). Antitrombotik :
• Aspirin (160-325 mg hisap atau telan)
• Heparin direkomendasi pada:
9 Pasien yang menjalani terapi revaskularisasi perkutan atau bedah.
9 Diberikan intravena pada pasien yang menjalani terapi reperfusi dengan alteplase: dosis yang direkomendasikan 70 UI/kgBB bolus pada saat mulai infus alteplase, dilanjutkan lebih dari 48 jam terbatas hanya pada pasien dengan risiko tinggi terjadi tromboemboli sistemik atau vena.
9 Diberikan intravena pada infark non-Q.
9 Diberikan subkutan (SK) 2 x 7500 UI (heparin intravena merupakan trombolitik yang tidak ada kontraindikasi heparin). Pada pasien fibrilasi atrial, riwayat emboli, atau diketahui ada trombus di ventrikel kiri.
9 Diberikan intravena pada pasien yang mendapat terapi obat-obat trombolitik non-selektif (streptokinase, anisreplase, urokinase) yang merupakan risiko tinggi terjadinya emboli sistemik seperti di atas. Keterangan: heparin direkomendasikan ditunda sampai 4 jam dan pada saat itu diperiksa aPTT. Heparin mulai diberikan jika aPTT < 2 kali kontrol (sekitar 70 detik), kemudian infus dipertahankan dengan target aPTT 1,5-2 kali kontrol (infus awal sekitar 1000 UI/jam). Setelah
48 jam dapat dipertimbangkan diganti heparin subkutan, warfarin, atau aspirin saja.
8). Mengatasi rasa takut dan cemas: diazepam 3 x 2-5 mg oral atau intravena.
9). Obat pelunak tinja: laktulosa (laksadin) 2 x 15 ml.
10).Terapi tambahan: Penyekat beta; jika tidak ada kontraindikasi. Penghambat ACE terutama pada: IMA luas atau anterior, gagal jantung tanpa hipotensi, riwayat infark miokard. Antagonis kalsium: diltiazem pada IMA non-Q.
Rekomendasi ACC/AHA yang baru tahun 2002, menganjurkan untuk memberikan klopidogrel bersama aspirin pada semua pasien SKA di samping terapi standar. Juga dianjurkan pemberian LMWH untuk mengantikan peran heparin pada semua pasien SKA baik untuk pasien yang dirawat konservatif maupun mereka yang akan dilakukan tindakan invasif. Pada SKA yang risiko tinggi perlu dipertimbangkan tindakan invasif dini. Dari beberapa penelitian menganjurkan, pasien IMA yang diberi terapi fibrinolitik juga diberi tambahan LMWH enoksaparin bersama-sama aspirin.
3.5.2. Penyulit dan Penatalaksanaan
1). Aritmia dan Cardiac Arrest
Fibrilasi Atrium
• Kardioversi elektrik untuk pasien dengan gangguan hemodinamik berat atau iskemia intraktabel
• Digitalisasi cepat untuk menurunkan respon ventrikel cepat dan memperbaiki fungsi ventrikel kiri
• Penyekat beta intravena untuk menurunkan respon ventrikel cepat pada pasien tanpa disfungsi ventrikel kiri secara klinis, penyakit bronkospasme, atau blok AV
• Diltiazem atau verapamil intravena untuk menurunkan respons ventrikel cepat jika penyekat beta merupakan kontraindikasi atau tidak efektif
• Harus diberikan heparin
Fibrilasi Ventrikel
DC shock unsynchronized dengan energi awal 200 J jika tidak berhasil harus diberikan shock kedua 200 sampai 300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J.
Takikardia Ventrikel (VT)
• VT polimorfik yang menetap (lebih dari 30 detik atau menyebabkan kolaps hemodinamik) harus diterapi dengan DC shock unsynchronized menggunakan energi awal 200 J; jika gagal harus diberikan shock kedua
200-300 J, dan jika perlu shock ketiga 360 J.
• VT monomorfik, menetap yang diikuti dengan angina, edema paru atau hipotensi (tekanan darah < 90 mmHg) harus diterapi dengan DC shock synchronized energi awal 100 J. Energi dapat ditingkatkan jika dosis awal gagal.
• VT monomorfik yang tidak disertai dengan angina, edema paru, atau hipotensi (tekanan darah <90 mmHg) diterapi dengan salah satu regimen berikut :
1. Lidokain: bolus 1-1,5 mg/kg. Bolus tambahan 0,5-0,75 mg/kg tiap 5-10 menit sampai dosis loading total maksimal 3 mg/kg. Kemudian loading dosis dilanjutkan dengan infus 2-4 mg/menit (30-50 ug/kg/menit).
2. Disopiramid: bolus 1-2 mg/kg dalam 5-10 menit, dilanjutkan dosis pemeliharaan 1 mg/kg/jam.
3. Amiodaron: 150 mg infus selama 10-20 menit atau 5 ml/kgBB 20-60 menit,dilanjutkan infus tetap 1 mg/menit selama 6 jam dan kemudian infus pemeliharaan 0,5 mg/menit.
4. Kardiovaksi elektrik synchronized dimulai dosis 50 J (anastesi sebelumnya).
Bradiaritmia dan Blok
• Bradikardia sinus simtomatik (frekuensi jantung < 50 kali/menit disertai hipotensi, iskemia aritmia ventrikel escape)
• Asistol ventrikel
• Blok AV simtomatik terjadi pada tingkat nodus AV (derajat dua tipe I atau derajat tiga dengan ritme escape kelompok sempit).
Pengobatan dengan sulfas atropin dosis 0,5-2 mg.
Isoproterenol (Isuprel): 0,5-4 ug/menit bila terapi atropin gagal, sementara menunggu pacu jantung sementara.
2). Gagal Jantung/Edema Paru Akut
Gagal Jantung
• Diuretik (furosemid intravena)
• Nitrogliserin (mengurangi preload dan afterload): 5 ug/menit, dosis demikian bertahap sampai tekanan arteri sistolik turun 10-15% tapi tidak kurang dari 90 mmHg
• Penghambat ACE
• Digitalis bila ada fibrilasi atrial
Edema Paru Akut
• Terapi O2: oksigen diberikan sampai dengan 8 liter/menit, untuk mempertahankan Pa O2 kalau perlu dengan masker. Jika kondisi pasien makin memburuk, timbul sianosis, makin sesak, takipnea, bronki bertambah, Pa O2 tidak bisa dipertahankan > 60 mmHg dengan terapi O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2 , hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat, maka perlu dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan penggunaan ventilator.
• Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin diberikan peroral 0,4-
0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik cukup baik (> 95 mmHg), nitrogliserin intravena dapat diberikan mulai dosis 0,3-0,5 mg/kg BB.
• Morfin sulfat: diberikan 2,5 mg (2-4 mg) intravena dapat diulang tiap 5-10 menit sampai dosis total 20 mg biasanya cukup efektif.
• Diuretik: furosemid 40-80 mg bolus intravena, dapat diulang atau dosis dapat ditingkatkan setelah 4 jam, atau dilanjutkan dengan drip kontinu sampai mencapai produksi urin 1 ml/kgBB/jam.
• Obat untuk menstabilkan keadaan klinis dan hemodinamik :
1. Nitroprusit intravena: dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit, diberikan jika tidak ada respons yang baik dengan terapi nitrat, atau pasien dengan regurgitasi mitral, regurgitasi aorta, hipertensi berat. Dosis dinaikkan sampai dapat perbaikan klinis dan hemodinamik, atau sampai tekanan darah sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang sebelumnya mempunyai
tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
2. Dopamin 2,5ug/kgBB/menit atau dobutamin 2-10 ug/kgBB/menit. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis dan kedua obat ini jika diperlukan dapat diberikan bersama-sama.
3. Digitalis bila ada fibrilasi atrium atau kardiomegali.
4. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis, atau tidak berhasil dengan terapi oksigen.
5. Obat trombolitik atau revaskularisasi (PTCA/CABG)
6. Terapi terhadap aritmia atau gangguan konduksi
7. Koreksi defenitif, misalnya pengantian katup atau repair pada regurgitasi mitral berat bila ada indikasi dan keadaan klinis memungkinkan.
3). Syok Kardiogenik
• Terapi O2
• Norepinefrin intravena 8-12 ug/menit sampai tekanan arteri sistolik meningkat sekurang-kurangnya 80 mmHg
• Selanjutnya dapat diberikan dopamine 5-15 ug/kgBB/menit
• Jika tekanan arteri sistolik mencapai 90 mmHg dobutamin intravena dapat diberikan bersamaan untuk mengurangi dosis dopamine
• Revaskularisasi arteri koroner segera, jika sarana tersedia
• Pompa balon intra-aortik (IABP) bila sarana tersedia
4). Komplikasi Mekanik
• Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel.
• Penatalaksanaan: operasi
5). Perikarditis
• Aspirin (160-325 mg/hari): merupakan pengobatan terpilih
• Indometasin, ibuprofen
• Kortikosteroid
3.5.3. Terapi Infark/Iskemia Ventrikel Kanan
1) Pertahankan preload ventrikel kanan :
• Loading volume (infus NaCl 0,9%): 1-2 liter cairan jam I selanjutnya
200 ml/jam (target kanan atrium kanan > 10 mmHg (13,6 cm H2O).
• Hindari penggunaan nitrat dan diuretik
• Pertahankan sinkroni A-V: Pacu jantung sekuensial A-V pada blok jantung derajat tinggi simtomatik yang tidak respons dengan atropin.
• Kardioversi segera pada SVT dengan gangguan hemodinamik yang nyata.
2) Berikan inotropik:
Dobutamin jika curah jantung gagal meningkat setelah loading volume.
3). Kurangi afterload ventrikel kanan sesuai dengan disfungsi ventrikel kiri
• Pompa balon intra-aortik
• Vasodilator arteri (nitroprusit, hidralazin) dan Penghambat ACE.
4). Reperfusi
• Obat trombolitik
• Angioplasti koroner perkutan (PTCA) primer
• Operasi pintas koroner (CABG) (pada pasien tertentu dengan penyakit multivesel.
Penatalaksanaan pasien IMA gelombang Q dan non-Q pada dasarnya sama, hanya terapi trombolitik belum direkomendasikan untuk IMA non-Q.
3.5.4. Terapi Angina Pektoris Tak Stabil
1). Pasang infus intravena : dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
2). Aktivitas: istirahat di tempat tidur dengan kursi commode di samping tempat tidur dan mobilisasi sesuai toleransi setelah 12 jam.
3). Diet: puasa sampai nyeri hilang, kemudian diet cair. Selanjutnya diet jantung
(rendah lemak tinggi serat).
4). Medikamentosa:
• Oksigen nasal 2 l/mnt; terutama pada pasien sianosis, distress pernafasan atau risiko tinggi.
• Mengatasi rasa nyeri: nitrat sublingual atau patch. Jika angina tidak membaik setelah pemberian nitrogliserin sublingual 3 kali berturut-turut atau setelah terapi anti-iskemik adekuat angina berulang diberikan: nitrogliserin drip atau morfin 2,5 mg intravena, dapat diulang tiap lima menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg intravena.
• Aspirin 80 –325 mg hisap atau telan, tiklopidin 2 x 250 mg jika terdapat hipersensitivitas atau kontraindikasi terhadap aspirin.
• Heparin intravena sesuai protokol. Target aPTT 1,5-2,5 kontrol. Biasanya diberikan 3-5 hari tergantung respon klinis.
• Nitrat oral atau topikal kerja panjang setelah nitrogliserin sublingual
• Penghambat beta:
1. Propranolol: 0,5-1 mgIV, dilanjutkan 3 x 10-40 mg oral.
2. Metoprolol: 5 mg intravena (diberikan perlahan dalam 1-2 menit) diulang tiap 5 menit sampai dosis awal total 15 mg, dilanjutkan metoprolol oral 2 x 25-50 mg.
3. Atenolol: 5 mgIV, dilanjutkan 5 menit kemudian 5 mg intravena, kemudian 1 x 50-100 mg oral.
4. Esmolol: mulai dengan dosis pemeliharaan 0,1 mg/kgBB/menit, dititrasi dengan menaikkan dosis 0,05 mg/kgBB/menit, tiap 10-15 menit yang masih dapat ditoleransi sampai respon terapi yang diharapkan, atau telah tercapai dosis 0,2 mg/kgBB/menit. Dosis loading pilihan lain untuk onset kerja yang lebih cepat adalah 0,5 mg/kgBB/menit diberikan intravena perlahan (2-5 menit). Target frekuensi jantung 50-60/menit.
• Mengatasi rasa takut dan cemas: diazepam 3 x 2-5 mg oral atau IV.
• Obat pelunak tinja, laktulosa (laksadin) 2 x 15 ml.
• Pertimbangkan antagonis kalsium terutama deltiazem bila ditemukan:
hipertensi, iskemia refrakter, angina varian.
Kateterisasi jantung segera dilakukan pada pasien dengan episode iskemia berat
> 1 kali dan berkepanjangan (> 20 menit), terutama yang disertai dengan: edema paru akut, regurgitasi mitral baru atau perburukan, hipotensi, perubahan ST-T baru.
BAB IV
FARMAKOTERAPI
4.1. Terapi Farmakologi
Farmakoterapi SKA didasarkan pada pengetahuan tentang mekanisme, manifestasi klinis, perjalanan alamiah dan patologis baik dari sisi selular, anatomis dan fisiologis dari kasus SKA yang hendak diobati dan pengertian yang mendalam, luas serta profesional tentang farmakologi obat yang akan digunakan.
Pada prinsipnya terapi pada kasus SKA (Tabel 6), ditujukan untuk mengatasi nyeri angina dengan cepat, intensif dan mencegah berlanjutnya iskemia serta terjadinya infark miokard akut atau kematian mendadak. Oleh karena setiap kasus berbeda derajat keparahan atau riwayat penyakitnya, maka cara terapi terbaik adalah individualisasi dan bertahap, dimulai dengan masuk rumah sakit
(ICCU) dan istirahat total (bed rest).
1. Mengatasi nyeri angina dengan cepat dan intensif
2. Mencegah berlanjutnya iskemia serta terjadinya infark miokard
3. Mencegah kematian mendadak
Tabel 7. Prinsip terapi pada pasien SKA
The American Heart Association in Collaboration With the International Liaison Committe on Resuscitation (ILCOR), dalam pedomannya tentang SKA menjelaskan, tujuan utama/primer terapi pada pasien SKA adalah mengurangi nekrosis myokardial pada pasien dengan berlanjutnya infark, mencegah kejadian-kejadian penting dari efek yang merugikan penyakit jantung (kematian, nonfatal infark miokardial, dan kebutuhan untuk revaskularisasi), dan segera defibrilisasi bila terdapat ventricular fibrillattion (VF).
Adapun kelompok obat yang sering digunakan pada pengobatan kasus SKA, secara optimal adalah; anti-iskemik, antitrombin/antikoagulan, antiplatelet,
trombolitik/fibrinolitik serta obat tambahan yakni ACE-Inhibitor dan obat-obat penekan lemak.
ACC/AHA dalam pedoman merekomendasikan, terapi awal untuk SKA ialah pemberian aspirin, klopidogrel, dan heparin atau low molecular weight heparin, penyekat beta dan nitrat. Lalu dilakukan penilaian risiko dengan melihat keadaan klinis, EKG dan laboratorium. Untuk pasien dengan risiko tinggi seperti perhubungan segmen ST, troponin positif, TIMI risk score lebih dari 3, perlu diberikan obat GP IIb/IIIa inhibitor. Dianjurkan strategi invasif untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi dan strategi konservatif untuk pasien dengan risiko rendah. Untuk penderita IMA direkomendasikan penggunaan fibrinolitik/trombolitik disamping pemakaian obat-obat sebagaimana pada penderita APTS/ NTEMI. Sedangkan penggunaan jangka panjang digunakan formula terapi berupa aspirin, penyekat beta, ACE-Inhibitor, dan Statin.
4.1.1. Terapi Anti-Iskemik
Tujuan terapi adalah untuk mengurangi iskemia dan mencegah terjadinya kemungkinan yang lebih buruk, seperti infark miokard atau kematian. Pada keadaan ini, obat-obat anti iskemik mulai diberikan bersamaan sambil merencanakan strategi pengobatan difinitif. Terapi anti iskemik termasuk; penderita dirawat dengan tirah baring dengan monitoring EKG kontinu untuk iskemik yang masih berlanjut dan direksi aritmia bagi pasien-pasien dengan risiko tinggi. Oksigen harus diberikan pada semua pasien untuk mempertahankan saturasi O2 > 90%.
4.1.1.1. Nitrat
Nitrat mengurangi kebutuhan oksigen dan menigkatkan suplai oksigen. Nitrat I.V harus diberikan pada pasien : yang masih mengalami nyeri dada setelah pemberian 3 tablet nitrat sublingual (bila tidak ada kontraindikasi seperti penggunaan sildenafil dalam 24 jam terakhir) EKG menunjukan iskemia miokard (menderita gagal jantung).
Pada pasien dengan normotensi, tekanan darah sisitolik tidak boleh turun dibawah 110 mmHg, sedangkan pada pasien hipertensi, tekanan darah rerata
tidak boleh turun > 25%. Nitrat oral dapat diberikan setelah 12-24 jam periode bebas nyeri. Rebound angina dapat terjadi bila nitrat dihentikan secara mendadak.
Nitrat umumnya dipakai pada SKA, walaupun tidak terdapat cukup data yang membuktikan bahwa obat ini mencegah infark jantung atau menurunkan mortalitas. Nitrat mempunyai efek anti-iskemik melalui berbagai mekanisme :
1. Menurut kebutuhan oksigen miokard karena penurunan preload dan afterload,
2. Efek vasodilatasi sedang,
3. Meningkatkan aliran darah kolateral,
4. Menurunkan kecendrungan vasospasme, serta
5. Potensial dapat menghambat agregasi trombosit.
Pada APTS, preparat intravena disarankan dipakai lebih dulu karena penggunaannya dan titrasi dosisnya mudah serta bila diinginkan efeknya segera hilang bila infus dihentikan. Pemberian intravena dilaksanakan dengan titrasi ke atas (dosis lebih besar) sampai keluhan terkendali atau sampai timbul efek samping (terutama nyeri kepala atau hipotensi). Preparat oral kurang disarankan pada terapi pemula karena pengaturan dosisnya lebih sulit. Keberatan terapi intravena adalah karena penggunaan terus menerus mudah menyebabkan toleransi setelah 24 jam. Belum jelas mengapa toleransi mudah timbul, tatapi hal ini diperkirakan disebabkan karena produksi superoksida dan endotelin dari pembuluh darah yang berlebihan. Bila takifilaksis terjadi, hal ini dapat diatasi dengan menaikkan dosis, atau mengubah cara pemberiannya menjadi oral dan mengadakan masa bebas nitrat 6 sampai 8 jam. Penambahan obat antioksidan, khususnya vitamin C, dilaporkan juga mencegah toleransi nitrat. Alternatif lain nitrat adalah nitrate like drugs, seperti sydnonimines atau K- channel agonists.
Dosis yang direkomendasikan
Obat Rute Dosis Onset
Nitrogliserin, gliseril
Intravena 5-200 if/ menit 1 menit
trinitrat
Sublingual 0.3-0.6 mg, dapat diulangi s/d 5 kali, tiap 5 menit
2 menit
Isosorbid dinitrat
Patch transdermal 5 -10 mg selama 24 jam 1-2 menit
Intravena 1.25-5 mg/jam 1 menit
Sublingual 2.5-10 mg/jam 3-4 menit
Isosorbid mononitrat Oral 20-30 mg,2-3 kali/hari s/d 120mg dalam dosis terbagi
30-60 menit
Tabel 8. Rekomendasi Dosis Golongan Nitrat
4.1.1.2. Penyekat-β
Penyekat-β jelas sudah terbukti menurunkan angka kematian pasien infark jantung dan hal ini terutama karena penyekat-β menurunkan kebutuhan oksigen miokard. Data yang mendukung penggunaan Penyekat-β pada APTS tidak banyak. Pada metanalisis 4700 pasien APTS oleh Yusuf dkk, Penyekat-β menurunkan risiko infark miokard sebesar 13% (p<0.04). Karena patogenesis APTS dan infark miokard amat mirip, penyekat-β disarankan untuk digunakan pula pada APTS.
Penyekat-β secara kompetitif menghambat efek katekolamin pada reseptor beta. Penyekat beta mengurangi konsumsi oksigen miokard melalui pengurangan kontraktilitas miokard, denyut jantung (laju sinus), konduksi AV dan tekanan darah sistolik. Bila tidak ada kontraindikasi, pemberian penyekat beta harus dimulai segera. Penyekat beta tanpa aktivitas simpatomimetik lebih disukai, seperti metoprolol, atenolol, esmolol atau bisoprolol. Kontraindikasi penyekat beta adalah blok AV derajat 2 atau 3, asma, gagal jantung yang dalam keadaan dekompensasi dan penyakit arteri perifer yang berat.
Dosis yang
dirokemendasikan
Target denyut jantung saat istirahat
adalah 50 - 60 kali/ menit
Metoprolol 25 - 50 mg oral 2 kali /hari
Propranolol 20 - 80 mg oral perhari dalam dosis terbagi
Atenolol 25 - 100 mg oral sehari
Tabel 9. Rekomendasi Dosis Golongan Penyekat-β
Tidak ada perbedaan bermakna dalam memanfaatkan klinis dari berbagai jenis Penyekat-β (oral atau intravena, bekerja jangka pendek atau jangka panjang). Penggunaan penyekat-β harus berhati-hati terhadap kemungkinan adanya kontraindikasi dan bila ada kemungkinan ini maka harus dipilih obat penyekat-β dengan masa kerja pendek. Terapi oral ditujukan untuk mencapai target denyut jantung 50-60/ menit.
4.1.1.3. Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium mengurangi influks kalsium yang melalui membrane sel. Obat ini menghambat kontraksi miokard dan otot polos pembuluh darah, melambatkan konduksi AV dan depresi nodus SA. Efek vasodilatasi, inotoropik, blok AV dan depresi nodus SA. Efek vasodilatasi, inotoropik, blok AV dan depresiasi nodus SA bervariasi pada antagonis kalsium yang berbeda. Penggunaan dihidropiridin yang lepas cepat dan kerja singkat (seperti nifedipine) berkaitan dengan peningkatan risiko pada pasien tanpa penghambatan beta yang adekuat dan harus dihindari.
Indikasi :
• Pada pasien-pasien dengan agina berulang atau berkelanjutan walaupun telah mendapatkan nitrat & penghambat beta dengan dosis adekuat, atau pasien-pasien yang tidak dapat bertoleransi terhadap nitrat dan penghambat beta dengan dosis yang adekuat.
• Angina prinzmetal (angina varian).
Dosis yang direkomendasikan
Nama Obat Dosis Lama Kerja
Dilitazem Lepas cepat : 30-120 mg 3x/hari Singkat
Verapamil Lepas lambat : 100-360 mg 1 kali /hari
Lepas cepat : 40-160mg 3x/ hari
Lepas lambat : 120-480 mg ax/hari
Lama
Singkat
Lama
Antagonis kalsium lain belum pernah dilakukan uji dalam konteks APTS/NSTEMI
Tabel 10 Rekomendasi Dosis Golongan Antagonis Kalsium
Meta-analisis penyelidikan terapi dengan antagonis kalsium pada APTS menunjukkan bahwa obat ini tidak menurunkan kekerapan infark jantung atau mortalitas. Pada pasien yang sebelumnya tidak mendapat obat penyekat-β dibandingkan dengan plasebo, pemberian nifedipin konvensional menaikkan risiko infark jantung atau angina berulang 16% ; sedangkan kombinasi metoprolol dan nifedipin menurunkan risiko ini 20% (keduanya tidak mencapai kemaknaan statistik). Penjelasan mengapa penggunaan monoterapi nifedipin dapat menaikkan mortalitas adalah karena obat ini menyebabkan takikardi refleks dan menaikkan kebutuhan oksigen miokard. Berbagai obat golongan dihidropiridin selektif lebih baru telah diperkenalkan, tetapi efeknya pada APTS masih belum jelas.
Berbeda dengan monoterapi nifedipin, terapi diltiazem dan verapamil dapat menurunkan mortalitas dan reinfark pada pasien SKA dengan fraksi ejeksi normal dan bila disertai adanya bendungan paru pada foto dada (penurunan mortalitas dan reinfark 30% pada pasien yang mendapat diltiazem dibandingkan plasebo selama masa pemantauan 25 bulan). Penjelasan hal ini memungkinkan karena pada pasien dengan faal sistolik normal, obat ini menurunkan frekuensi jantung, menurunkan kontaktilitas jantung, serta menurunkan afterload.
Antagonis kalsium, khususnya non dihidropiridin, harus dibatasi penggunaannya pada pasien di mana terdapat kontraindikasi penggunaan penyekat-β atau keluhan menetap walaupun telah diberi terapi agresif dengan aspirin, nitrat dan
penyekat-β. Nifedipin atau dihidropiridin lain tidak disarankan dipakai pada pasien yang tidak mendapat penyekat-β
4.1.1.4 Morfin
Morfin adalah analgetik dan anxiolitik poten yang mempunyai efek hemodinamik. Diperlukan monitoring tekanan darah yang seksama. Obat ini direkomendasikan pada pasien dengan keluhan menetap atau berulang setelah pemberian terapi anti-iskemik.
Dosis yang direkomendasikan
Bolus IV 2-5 mg
Dosis ulang Dapat diberikan
Harus hati-hati bila diatas 10mg IV obat anti emetic IV diberikan bersamaan
Tabel 11 Rekomendasi Dosis Morfin
Efek samping seperti hipotensi terutama pada pasien dengan kekurangan cairan, mual, muntah dan depresi pernafasan kadang-kadang terjadi. Naloxone (0.4 - 2 mg IV) dapat diberikan sebagai antidotum bila terjadi overdosis morfin dengan depresi pernafasan dan/ atau sirkulasi.
4.1.2. Terapi Antitrombotik
Terapi antitrombotik sangat penting dalam memperbaiki hasil dan menurunkan risiko kematian, IMA atau IMA berulang. Saat ini kombinasi dari ASA, klopidogrel, unfractionated heparin (UFH) atau Low Molecular Weight Heparin (LMWH) dan antagonis reseptor GP IIb/IIIa merupakan terapi yang paling efektif. Intensitas pengobatan tergantung dari risiko pengobatan seperti terangkum pada gambar dibawah ini (Gambar 6):
Pasien APTS/NSTEMI
dgn risiko rendah
Pasien APTS/NSTEMI dgn risiko tinggi
ASA +
ASA +
Klopidogrel +
Klopidogrel* +
LMWH SK atau UFH IV
LMWH SK atau UFH IV +
Antagonis GP IIb/IIIa IV
* Jika klopidogrel tidak memungkinkan, direkomendasikan pemakaian ticlopidin
250 mg bid
Gambar 6. Terapi Antitrombotik
4.1.2.1. Obat Antitrombotik Oral
Terapi antitrombotik merupakan terapi yang penting untuk memodifikasi proses dan progresifitas dari penyakit.
4.1.2.1.1. Obat Penghambat Siklo-Oksigenase (COX) Aspirin/Asam Asetil Salisilat (ASA)
Aspirin bekerja dengan cara menekan pembentukan tromboksan A2 dengan cara menghambat siklooksigenase di dalam platelet (trombosit) melalui asetilasi yang ireversibel. Kejadian ini menghambat agregasi trombosit melalui jalur tersebut dan bukan yang lainnya. Sebagian dari keuntungan ASA dapat terjadi karena kemampuan anti inflamasinya, yang dapat mengurangi ruptur plak. Dosis awal 160 mg, lalu dilanjutkan dengan dosis 80 mg sampai 325 mg untuk seterusnya. Dosis yang lebih tinggi lebih sering menyebabkan efek samping gastrointestinal. Aspirin tidak menyebabkan hambatan total agregasi trombosit karena aspirin tidak sempurna menghambat aktivitas trombosit yang dirangsang oleh ADP, kolagen, serta trombin dalam konsentrasi rendah dan aspirin tidak menghambat adhesi trombosit.
Dari studi ISIS-2, dosis 160 mg ASA digunakan dimana secara jelas menunjukkan efikasi ASA pada pasien dengan dugaan IMA. Karenanya dosis minimum ASA sebesar 160 mg direkomendasikan pada pasien APTS/NSTEMI.
Dari percobaan lain yang sama dan terandomisasi dari terapi antitrombotik, didapatkan penurunan yang bermakna dari kematian, IMA dan stroke dengan penggunaan jangka panjang anti trombotik pada pasien yang berbeda-beda kategori.
Pada penelitian dengan dosis yang berbeda dari ASA dengan penggunaan jangka panjang pada pasien dengan PJK menunjukkan hasil yang sama efikasinya untuk dosis perhari antara 75 – 325 mg. Pada pasien yang datang dengan dugaan SKA dan belum menggunakan ASA, dosis pertama yang digunakan atau diberikan adalah ASA yang sudah dihancurkan/dikunyah untuk mencapai kadar yang cukup di darah. Penyelidikan Veterans Administrarion Cooperative Study, Canadian Multicenter Trial, dan Montreal Heart Institute Study membuktikan bahwa aspirin menekan risiko kematian kardial serta menekan kejadian infark miokard fatal dan non fatal sebanyak 51 - 72% pada pasien APTS.
Kontraindikasi aspirin sangat sedikit, termasuk alergi (biasanya timbul gejala asma), ulkus peptikum aktif, dan diatesis perdarahan. Aspirin disarankan untuk semua pasien dengan dugaan SKA, bila tidak ditemui kontraindikasi pemberiannya.
4.1.2.1.2. Antagonis Reseptor Adenosin Diphospat
Obat ini bekerja berbeda dari jalur ASA-tromboksan A2 dengan menghambat adenosin diphospat (ADP), menghasilkan penghambatan agregasi trombosit. Ticlopidin dan Klopidogrel dua obat dari jenis Thienopyridines telah diakui dan disetujui sebagai antitrombotik oral.
Tiklopidin
Tiklopidin merupakan derivat tienopiridin merupakan obat pilihan lain dalam pengobatan SKA selain aspirin. Obat ini bekerja dengan menghambat ADP sehingga karenanya agregasi trombosit dan perubahan reseptor fibrinogen trombosit menjadi bentuk yang mempunyai afinitas kuat juga dihambat. Tiklopidin dapat dipakai pada pasien yang mempunyai hipersensitivitas atau gangguan gastrointestinal akibat aspirin. Efek samping terpenting adalah trombositopenia dan granulositopenia sebesar 2.4% umumnya reversibel setelah pemberian obat dihentikan.
Pada penelitian secara samar terbuka, pasien dengan APTS dilakukan randomisasi dengan menerima 250 mg tiklopidin dua kali per hari dibandingkan dengan terapi standar. Pada pengamatan 6 bulan, tiklopidin menunjukkan pengurangan kejadian IMA fatal dan non fatal sebesar 46%. Karenanya tiklopidin dapat dipertimbangkan sebagai pengobatan alternatif untuk jangka waktu panjang apabila pasien tidak toleran terhadap ASA. Pemakaian tiklopidin berhubungan dengan netropenia pada 2.4% pasien. Sangat dianjurkan pemakaian obat ini harus hati-hati. Pengamatan terhadap nilai lekosit dan jumlah trombosit harus dilakukan saat awal pengobatan, setiap 2 minggu selama 3 bulan pertama pengobatan dan dalam 15 hari saat pengobatan berhenti jika terjadi selama masa pengobatan 3 bulan pertama. Jika terjadi netropenia (<1500
netrophil/mm3) atau trombositopenia (<100.000 trombosit/mm3), tiklopidin harus
dihentikan dan pemeriksaan darah harus dimonitor sampai kembali ke nilai normal. Pasien harus dilaporkan segera jika terjadi demam, tenggorokan gatal atau luka di mulut (yang berkaitan dengan netropenia).
Klopidogrel
Obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang lebih baru bekerja dengan menekan aktivitas kompleks glikoprotein IIb/IIIa oleh ADP dan menghambat agregasi trombosit secara efektif. Klopidogrel mempunyai efek samping lebih sedikit dari tiklopidin.
Dari studi CAPRIE, pasien secara acak dipilih untuk menerima 325 mg/hari ASA atau 75 mg/ klopidogrel. Ditemukan penurunan risiko relatif dan kejadian iskemia, IMA atau kematian akibat vaskular sebanyak 8,7% untuk yang menggunakan klopidogrel. Pada studi CURE, pasien yang datang 24 jam setelah SKA secara acak menerima klopidogrel (segera 300 mg, diikuti 75 mg tiap hari) atau plasebo ditambahkan selain ASA selama periode 3 sampai 12 bulan. Hasilnya menunjukkan penurunan yang bermakna dari angka kematian akibat penyebab kardiovaskular, IMA non fatal atau stroke pada kelompok yang mendapatkan pengobatan (9.3% dibandingkan 11.4% kelompok plasebo).
Klopidogrel dapat dipakai pada pasien yang tidak tahan dengan aspirin dan dalam jangka pendek dapat dikombinasi dengan aspirin untuk pasien yang menjalani pemasangan stent.
Dosis yang direkomendasikan
Dosis awal ASA 300 mg, dan Klopidogrel 300mg* Dosis pemeliharaan ASA 75 – 150 mg seumur hidup, dan
Klopidogrel 75 mg selama 1 tahun*
* Bagi yang intoleran dengan ASA dan klopidogrel tak dapat disediakan, ticlopidin 250 mg bid direkomendasikan.
4.1.2.2. Obat antitrombotik lainnya
Sulfinpyrazon, dipiridamol, prostacylin, analog prostacyclin dan antagonis GP IIb/IIIa oral belum jelas keuntungannya pada APTS/NSTEMI, karena itu tidak direkomendasikan.
4.1.3. Terapi Antikoagulan
4.1.3.1. Unftactionated Heparin
Unftactionated Heparin (selanjutnya disingkat sebagai UFH) merupakan glikosaminoglikan yang terbentuk dari rantai polisakarida dengan berat molekul antara 3000-30.000. rantai polisakarida ini akan mengikat antitrombin III dan mempercepat proses hambatan antitrombin II terhadap trombin dan faktor Xa. UFH diberikan untuk mencapai nilai APTT 1.5 sampai 2.5 kali kontrol.
Walaupun UFH banyak dipakai untuk pengobatan SKA terdapat variabilitas besar dalam efek terapeutiknya (dose-response curve). Hal ini disebabkan karena UFH juga mengikat protein plasma lain selain antitrombin. UFH tak berefek terhadap trombin yang sudah terikat dengan bekuan darah dan UFH sensitif terhadap faktor 4 trombosit (platelet faktor 4). Kesemuanya ini menurunkan efek antibiotik UFH. Selain itu UFH dapat pula menyebabkan indiosinkrasi dan trombositopenia
Meta-analisis 6 penyelidikan efek heparin ditambahkan kepada terapi aspirin pada ATS tidak membuktikan bahwa kombinasi ini betul lebih bermanfaat. Tetapi harus disadari bahwa penyelidikan skala besar belum dilakukan. Sampai sekarang dalam pedoman baru penatalaksanaan SKA terapi kombinasi UFH dan aspirin masih disarankan.
4.1.3.2. Heparin dengan berat molekul rendah (LMWH)
Berbeda dengan UFH, LMWH mempunyai efek farmakokinetik yang lebih dapat diramalkan, bioavaliabilitasnya lebih baik, waktu paruhnya lebih lama, serta pemberian lebih mudah.
Dibandingkan dengan UFH, LMWH mempunyai efek antifaktor Xa yang lebih tinggi dibandingkan efek antifaktor IIa (antitrombin). Selain itu LMH kurang peka terhadap faktor 4 trombosit. LMWH lebih jarang menyebabkan trombositopenia. Berbagai jenis LMWH dengan rantai fragmen berikatan pendek (<18 sakarida) telah diformulasikan, dan masing-masing mempunyai efek berbeda terhadap rasio antifaktor Xa antifaktor IIa. Rasio antifaktor Xa antifaktor IIa yang lebih tinggi menunjukan efek inhibisi pembentukan trombin yang lebih besar dan efek hambatan terhadap aktivitas trombin juga lebih besar.
Berbagai penyelidikan membuktikan bahwa efek LMWH pada APTS tidak sama, tergantung pada preparat yang dipakai. Hal ini antara lain disebabkan oleh perbedaan rasio antifaktor Xa antifaktor IIa. Makin tinggi rasio, makin baik efeknya sedangkan rasio rendah akan memberikan efek samping seperti UFH biasa.
No Keunggulan
1. Mengurangi ikatan pada protein pengikat heparin
2. Efek yang dapat diprediksi lebih baik
3. Tidak membutuhkan pengukuran APTT
4. Pemakaian subkutan, menghindari kesulitan dalam pemakaian secara IV
5. Risiko perdarahan kecil
6. Risiko yang berkaitan dengan HIT (heparin induced trombocytopenia)
7. Secara ekonomis lebih hemat
Tabel 12 Keunggulan Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
Penyelidikan FRISC dengan dalteparin menunjukan bahwa dengan terapi dasar aspirin, LMWH lebih baik dari plasebo dan obat ini dapat diberi dalam waktu lama. Pada penyelidikan FRIC dalteparin dibandingkan dengan UFH dan ternyata tidak dijumpai perbedaan bermakna. Pada penyelidkan FRISC II dibandingkan manfaat pemberian LMWH dalteparin jangka pendek (5 hari) dan jangka panjang (3 bulan). Ternyata tidak ditemui perbedaan primary end-point kematian dan infark jantung dalam waktu 9 hari. Analisis sekunder pada 30 hari masih memperlihatkan kelebihan LMWH dibandingkan UFH, akan tetapi hal ini menghilang setelah kurun waktu 90 hari. Penyelidikan the efficacy and safety of subcutaneous enoxaparin in non-Q Wave coronary events (ESSENCE) membandingkan enoksaparin dan UFH. Terapi diberikan 2-8 hari (rata-rata 2.6 hari). Penyelidikan ini membuktikan bahwa end point gabungan kematian, infark jantung atau angina berulang lebih sedikit dengan enoksaparin dibandingkan UFH pada hari ke-14 (kekerapan 16.6% vs 19.8%; p = 0.016) dan pada hari ke-
30 (19.8% vs 23.3%;p=0.016) manfaat baik ini ternyata masih dijumpai setelah kurun waktu 1 tahun, dimana kekerapan tersebut lebih rendah 3.7/100 pasein
(p=0.22)
LMWH Berat Molekul Rasio anti Xa:antilla
Ardeparin 6000 1.9
Dalteparin 6000 2.7
Nadroparin 4500 3.6
Tinzaparin 4500 1.9
Enoxaparin 4200 3.8
Reviparin 4000 3.5
Tabel 13 Low Molecular Weight Heparin (LMWH) dan
Rasio Antifaktor Xa:Antifaktor IIa
Pada penyelidikan Thrombolysis In Myocardial Infarction (TIMI) 11B juga dilakukan pembandingan enoksaparin dan UFH; tetapi selain itu juga diuji menfaat terapi 72 jam dibandingkan terapi 43 hari. Hasil sampai hari ke-14 sama dengan ESSENCE, dimana enoksaparin terbukti lebih baik daripada UFH dalam menurunkan primary end point (16.6% (heparin) vs 14.2% (enoksaparin) (p=0.049).
Analisa gabungan ESSENCE dan TIMI-11B menunjukan perbedaan absolut 3 per 100 pasien untuk end-point gabungan, rasio risiko 0.79 (CL 0.65-0.96) untuk kematian dan infark jantung. Secara keseluruhan enoksaparin menurunkan end- point kardial 3 per 100 tanpa disertai risiko perdarahan berarti.
Pada penyelidikan FARAXIS fraksiparin dibandingkan dengan UFH dan tidak ditemui perbedaan pada hari ke-6,14 dan 43.
Jadi hasil penyelidikan tersebut, pada pasien yang mendapatkan aspirin, LMWH jelas lebih baik daripada plasebo. Dua penyelidikan membuktikan bahwa LMWH (enoksapirin) lebih baik daripada UFH bila diberikan dalam jangka waktu pendek. Data masih belum cukup untuk membuktikan apakah terapi jangka panjang dapat disarankan pula.
4.1.3.3. Komplikasi dari UFH/LMWH
Pendarahan minor biasanya dapat diatasi dengan penghentian pengobatan. Perdarahan besar seperti hematemesis, melena atau perdarahan intrakranial membutuhkan penggunaan antagonis heparin dengan risiko baru fenomena reboun trombotik. Antikoagulan dan efek perdarahan dari UFH dapat dikendalikan dengan konsentrasi molar yang sama dari protamin sulfat, yang menetralisir aktifitas anti faktor IIa dan hasilnya hanya dalam menetralisasi sebagai anti faktor Xa. Namun berdasarkan petunjuk dari ACC/AHA (American College of Cardiology/American Heart Association) maupun ESC ( European of Society of Cardiology), enoxaparine lebih dipilih sebagai antikoagulan dibandingkan dengan UFH pada pasien dengan APTS/NSTEMI, kecuali pasien direncanakan CABG dalam 24 jam (Class IIa ACC/AHA), dan enoxaparine lebih
unggul dibandingkan UFH untuk kombinasi end point berupa kematian/IMA/angina berulang.
Dosis yang direkomendasikan
UFH Bolus IV 60 – 70 U/kg (maksimum 5000 u)
infus 12 U/kg/jam (maksimum 1000 U/ jam
Target APTT 1,5 – 2,0 kali atau tepatnya 60 - 80 detik
Harus dalam monitoring dan pengukuran
LMWH Enoxaparin 1 mg/kg, SC, bid
(Lavenox)
Nadroparin 0,1 ml/10 kg, SC, bid
(Fraxiparine)
Tabel 14 Rekomendasi Dosis UFH / LMWH
4.1.3.4. Antitrombin Direk
Berbeda dengan obat antitrombin indirek (seperti UFH atau LMWH) yang bekerja dengan cara menghambat faktor IIa dan faktor Xa, antitrombin direk langsung menghambat pembentukan trombin tanpa berpengaruh terhadap aktivitas antitrombin III dan terutama menekan aktivitas trombin.Termasuk dalam golongan ini misalnya hirudin, hirulog, argatroban, efegatran dan inogatran.
Pada saat ini belum ada keseragaman pendapat apakah obat antitrombin langsung aman dan bermanfaat untuk dipakai pada SKA. Pada penyelidikan Organization To Assess Strategies For Ischemic Syndromes, tetapi hirudin pada SKA tanpa elevasi ST memberikan hasil lebih baik daripada UFH dalam menekan kematian, infark jantung, dan angina refrakter, tetapi hal ini disertai risiko pendarahan besar. Analisis gabungan OASIS-1 pilot studies, OASIS-2 dan GUSTO IIb menunjukkan bahwa hirudin menurunkan risiko kematian kardiovaskuler dan infark jantung 22% pada 72 jam, 17% pada 7 hari, dan 10% pada 35 hari. Derajat penurunan ini mencapai kemaknaan statistik pada 72 jam dan 7 hari, serta berada dalam batas kemaknaan statistik (p = 0.057) pada 35 hari. Terapi inogatran tidak secara bermakna menekan end point gabungan
kematian, infark jantung, atau angina refrakter dibandingkan dengan UFH. Hirudin dapat dipakai pada pasien dengan trombositopenia akibat heparin
4.1.3.5. Antikoagulan Oral
Terapi antikoagulan oral monoterapi (misalnya warfarin) pasca-infark jantung paling tidak sama efektifnya dengan aspirin dalam mencegah serangan infark jantung berulang dan kematian. Akan tetapi apakah kombinasi warfarin dan aspirin dapat memperbaiki prognosis pada SKA masih belum jelas.
Pada penyelidikan Antithrombotic Therapy In Acute Coronary Syndromes terapi kombinasi aspirin dan antikoagulan (heparin diikuti oleh warfarin, dengan target INR 2.0-3.0 selama 12 minggu) dijumpai penurunan primary end points angina berulang dengan perubahan EKG, infark jantung, kematian atau ketiganya dalam
14 hari, dibandingkan dengan terapi aspirin saja. Setelah 3 bulan kejadian iskemik turun 50% dan kecenderungan pendarahan hanya sedikit lebih tinggi pada terapi kombinasi dibandingkan dengan terapi aspirin tunggal. Walaupun demikian pada penyelidikan coumadin aspirin reinfarction study tidak dijumpai manfaat lebih besar terapi kombinasi aspirin dan warfarin dengan dosis tetap (1 atau 3 mg, tanpa disesuaikan dengan INR) dibandingkan dengan aspirin saja. Pada penyelidikan lain, terapi kombinasi dengan target INR 2.0-2.5 selama 10 minggu setelah terjadinya APTS memberikan hasil baik secara klinik dan angiografik dibandingkan monoterapi aspirin tanpa disertai kecenderungan pendarahan yang meningkat.
Penyelidikan Organization To Assess Strategies For Ischemeic Syndromes Pilot Study menunjukkan bahwa terapi aspirin dan warfarin dosis sedang untuk mencapai target INR 2.0-2.5 dalam 3 bulan merendahkan angka kematian infark jantung, dan strok dibandingkan aspirin tunggal; akan tetapi hasil baik ini dicapai dengan risiko pendarahan yang meningkat pada pasien yang mendapat terapi kombinasi
Pada semua pedoman baru terapi antikoagulan oral, baik sebagai monoterapi atau dalam kombinasi dengan aspirin tidak disebut atau disarankan untuk dipakai pada SKA.
4.1.4. Terapi Inhibitor Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa
Reseptor glikoprotein (GP) IIb/IIIa adalah reseptor penting pada proses akhir agregasi trombosit, yang akan berikatan dengan fibrinogen plasma atau faktor Von Willebrand. Ikatan ini akan menjadi “jembatan“ antar trombosit yang berdekatan untuk saling berikatan, dan seterusnya berikatan satu sama lain sedemikian rupa sehingga akhirnya terbentuk “sumbat“ hemostatik. Trombosis dapat dihambat secara efektif dengan penghambatan reseptor ini. Penghambatan “jalur akhir“ agregasi trombosit oleh glikoprotein IIb/IIIa ini terbukti menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien dengan APTS/NSTEMI.
Reseptor glikoprotein IIb/IIIa yang diaktivasi akan berikatan dengan fibrinogen dan membentuk rantai dengan trombosit yang diaktivitasi dan dengan demikian terjadilah trombus. Jadi berbeda dengan obat anti-trombosit lain yang hanya bekerja pada sebagian dari berbagai tahapan terjadinya agregasi trombosit, inhibitor glikoprotein IIb/IIIa bekerja pada tahapan akhir adhesi, aktivitas, dan agregasi trombosit. Tiga kelompok terpenting obat golongan ini adalah murine- human chimeric antibiodies (misalnya abxicimab), peptida sintetik (misalnya eptifibatide), dan nonpeptida sintetik (misalnya trifiban dan lamifiban).
Abxicimab merupakan inhibiditor nonsepesifik dengan daya ikatan reseptor kuat dan seversibilitas hambatan trombosit lambat pulih walaupun terapi sudah dihentikan. Eptifibatide merupakan peptida siklik yang merupakan inhibitor reseptor glikoprotein IIb/IIIa selektif. Masa kerjanya pendek dan hambatan trombosit hilang 2-4 jam setelah terapi dihentikan. Tirofiban merupakan inhibitor nonpeptida, bekerja cepat (5 menit), selektif dan cepat reversibel (4-6 jam). Lamifiban merupakan inhibitor nonpeptida sintetik dengan masa kerja 4 jam.
Penyelidikan PRISM, PRISM-PLUS, PURSUIT, PARAGON-A, PARAGON-B dan CAPTURE membuktikan bahwa risiko terjadinya infark jantung dan kematian turun bermakna dalam beberapa hari dan manfaat ini tetap diperoleh dalam pemantauan sampai 30 hari. Walaupun demikian, harus diingat bahwa desain penyelidikan-penyelidikan di atas tidak sama. Pada sebagian penyelidikan dilakukan pula tindakan PCI (15% pada PURSUIT, 35% pada PRISM-PLUS,
hampir semuanya pada CAPTURE), sedangkan pada PRISM angiografi dan PCI
ditunda sampai obat dihentikan setelah 48 jam.
Pada PURSUIT, PARAGON-B, PRISM-PLUS pada subgrup pasien yang tidak menjalani tindakan revaskularisasi dini, manfaat inhibitor glikoprotein IIb/IIIa sedikit atau tidak ada. Manfaat inhibitor glikoprotein IIb/IIIa lebih besar pada pasien yang mengalami peningkatan kadar troponin T atau troponin I. Pada penyeledikan GUSTO IV-ACS, inhibitor glikoprotein IIb/IIIa abxicimab diberikan
24 atau 48 jam ternyata tidak menurunkan kematian atau infark jantung. Hal ini menunjukkan bahwa abciximab tidak bermanfaat sebagai terapi pilihan pertama pada APTS/NSTEMI, kecuali bila merupakan bagian dari strategi revaskularisasi awal, sebagaimana dianjurkan oleh trial CAPTURE. Penelitian-penelitian acak lainnya juga menunjukkan bahwa penggunaan antagonis reseptor GP II b/IIIa selama face awal terapi farmakologis sebelum PCI ( penggunaan „upstream“ ) , ternyata menurunkan risiko kematian atau infark miocard.Lebih jauh lagi, penurunan angka kematian yang bermakna pada saat PCI. Terlihat bahwa manfaat yang paling jelas dari antagonis reseptor GP IIb /IIIa adalah pada pasien yang menjalani PCI awal, saat obat ini masih diinfuskan, sehingga inhibisi trombosit dipertahankan dengan baik. Manfaat antagonis reseptor GP IIb/IIIa terutama juga pada pasien dengan iskemia yang masih berlangsung atau keadaan–keadaan berisiko tinggi lainnya seperti peningkatan TnT atau Tnl saat awal masuk. Penggunaan antagonis reseptor GP II b/IIIa oral jangka panjang pada pasien dengan APTS/ NSTEMI atau pasca PCI tidak terbukti bermanfaat.
ACC/AHA dalam pedomannya merekomendasikan penggunaan antagonis reseptor GP IIb/IIIa dengan berbagai alasan dan pertimbangan antara lain; Berdasarkan data klinis terkini, tirofiban dan eptifibatide harus dipertimbangkan sebagai tambahan dari aspirin, klopidogrel dan UFH / LMWH, untuk penggunaan upstream pada pasien APTS/NSTEMI dengan iskemi yang berkepanjangan atau kondisi risiko tinggi lainnya.
Walaupun penggunaan upstream abciximab untuk stabilisasi plak pada pasien
APTS/NSTEMI yang tidak menjalani angiografi koroner segera tidak
direkomendasikan, obat ini dapat digunakan selama 18-24 jam pada pasien
APTS/NSTEMI yang direncanakan PCI dalam 24 jam berikutnya.
Abciximab dan eptifibatide tetap merupakan pilihan pertama dan kedua pada pasien APTS/NSTEMI. Yang menjalani angioplasti atau stenting, yang
sebelumnya tidak mendapat antagonis reseptor GP IIb /IIIa.
Dosis yang direkomendasi
1. Abciximab ( reopro )
Upstream use dan PCI elektif
Regimen dosis untuk fase awal terapi farmakologis sebelum dan selama PCI (upstream use) sebagai berikut :
9 Bolus IV 0,25 mg/kg selama 18-24 jam sebelum prosedur
9 Diikuti dengan infus 0,125mcg/kg permenit
(maksimum 10 mcg/mnt selama 12 jam)
PCI
9 Bolus IV 0,25mcg/kg selama 10-60 menit sebelum PCI
dimulai.
9 Diikuti dengan infus 0,125 mcg/ kg permenit
(maksimum 10 mcg/mnt selama 12 jam)
2 . Eptifibatide(Integrillin )
Upstream
9 Bolus IV 180 mcg/kg
9 Diikuti dengan infus 2 mcg/kg permenit selama 72 jam atau sampai dipulangkan dari RS
9 Bila dilakukan PCI, infuse harus diteruskan sampai 96 jam
PCI
9 Bolus IV 180 mcg/kg
9 Segera diikuti infus 2 mcg/kg permenit
9 Dan 180 mcg/kg bolus kedua 10 menit kemudian
9 Infus harus diteruskan sampai pasien dipulangkan sampai dengan 18-24 jam.
3 . Tirofiban (Aggrastat )
Upstream 9 Bolus IV 0,4 mcg/kg permenit selama 30 menit
9 Diikuti infus 0,1 mcg/kg/mnt selama 48 jam-108 jam
9 Bila dilakukan PCI, infuse harus diteruskan sampai 12-
24 jam sesudah PCI
PCI
Bolus IV 10 mcg/kg selama 3 menit. Diikuti infuse 0.15 mcg/kg/mnt selama 36 jam
Tabel 15. Terapi Inhibitor Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa
4.1.5. Terapi Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik (dulu dinamakan trombolitik) bermanfaat pada STEMI, akan tetapi secara umum terapi ini tidak disarankan pada APTS/NSTEMI. Dengan kata lain, penatalaksanaan pasien NSTEMI dan STEMI pada dasarnya sama, hanya terapi trombolitik belum direkomendasikan untuk NSTEMI. Berbagai penyelidikan terapi fibrinolitik dengan steptokinase, APSAC,t-Pa, atau urokinase dilaporkan peningkatan angka kematian, infark jantung, serta pendarahan bila diberikan pada pasien APTS atau NSTEMI.
Uji klinik yang besar dengan pemakaian obat fibrinolitik menunjukkan obat seperti streptokinase dan tissu plasminogen activator (tPA) dapat mengurangi kematian dan kejadian kardiovaskular pada IMA, tetapi juga masih ada kekurangan pada terapi fibrinolitik.
Pemeriksaan angiografi menunjukkan terapi fibrinolitik kadang-kadang tidak berhasil menghilangkan trombus dengan sempurna sehingga aliran darah masih tetap kurang dan kematian masih tetap tinggi bila pemberiannya terlambat. Tertutupnya kembali pembuluh darah koroner yang semula sudah berhasil terbuka setelah pemberian terapi juga merupakan salah satu masalah pemberian trombolitik. Salah satu studi di tahun 1990 yang menyelidiki pemakaian trombolitik pada 800 pasien menunjukkan terjadinya reoklusi sampai 12.4% dan hal ini menyebabkan bertambahnya kematian 2 kali lebih banyak dibandingkan yang tidak terjadi reoklusi. Reoklusi mungkin tidak memberikan keluhan (silent) kadang-kadang menyebabkan keluhan angina dan dapat menyebabkan terjadinya infark kembali (reinfarction). Data dari GUSTO I dan III yang menyelidiki sampai 56.000 pasien menunjukkan angka reinfarction sampai 4,3% yang dapat menyebabkan kenaikan angka kematian sampai 3 kali dalam 30 hari.
Terapi fibrinolitik juga dapat menyebabkan terjadinya paradoxical hypercoagulable state dengan menambah produksi trombin dengan aktivitasnya. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya kejadian iskemia yang baru dan hanya sebagian dapat ditolong dengan pemberian heparin. Reperfusi di pembuluh darah besar tidak selalu disertai reperfusi di tingkat sirkulasi mikrovaskular.
Untuk mengatasi kelemahan terapi fibrinolitik di atas maka telah dicoba obat- obat lain untuk terapi tambahan pada IMA. Obat-obat baru seperti obat antiplatelet yang kuat dan LMWH dapat membantu kecepatan dan kelengkapan reperfusi dan mengurangi kemungkinan terjadinya reoklusi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada IMA, pemberian fibrinolitik sebaiknya ditambah antiplatelet, aspirin, dan LMWH.
4.1.6. Terapi Jangka Panjang
Kejadian koroner sering terjadi dalam beberapa bulan setelah SKA. Dicapainya stabilisasi klinik pasien tidaklah berarti bahwa proses patofisiologi yang mendasarinya juga sudah tenang. Beberapa penyelidikan menemukan masih adanya kecenderungan pembentukan trombin sampai 6 bulan setelah APTS atau infark jantung. Pada beberapa penyelidikan terapi kombinasi heparin dan aspirin dilaporkan terjadinya peningkatan kejadian klinik setelah heparin dihentikan. Pada pasien dengan iskemia berulang atau dalam risiko tinggi mengalami infark jantung di mana tindakan revaskularisasi tidak memungkinkan, maka terapi LMWH harus diberikan.
Penyekat-β disarankan diteruskan setelah SKA karena memperbaiki prognosis. Obat penghambat ACE juga harus dipertimbangkan dipakai. Penyelidikan SAVE dan SOLVD membuktikan manfaat obat penghambat ACE pada pasien penyakit jantung koroner dengan faal ventrikel menurun.
Penyelidikan Heart Outcome Prevention Evaluation (HOPE) membuktikan bahwa pada pasien berisiko tinggi tanpa kemunduran faal ventrikel atau gagal jantung, ramipril menurunkan kematian kardiovaskuler 25% dan infark jantung 20% dalam masa pemantauan 4-6 tahun.
Modifikasi faktor risiko diperlukan karena penyakit jantung koroner dan komplikasinya selalu multifaktorial. Merokok harus dihentikan dan dislipidemia harus segera dikendalikan. Perbaikan klinis dengan terapi statin dapat terjadi bukan hanya akibat regresi aterosklerosis atau hambatan progresi aterosklerosis tetapi dapat pula karena perbaikan fungsi endotel, pasivasi proses peradangan
plak, atau penurunan faktor-faktor protrombolik. ACC/AHA dalam pedomannya tahun 2002, merekomendasikan penggunaan aspirin, beta-bloker, ACE-I, dan statin untuk terapi jangka panjang pada pasien SKA.
Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (ACE-I)
Angiotensin bekerja sebagai hormon sistemik, hormon lokal jaringan, dan sebagai neurohormonal susunan saraf pusat. Penghambat ACE (ACE-I) bekerja dengan cara menghambat enzym ACE secara kompetitif melalui ikatan pada active catalytic enzym tersebut, dengan demikian akan terjadi hambatan perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II. Hambatan tersebut selain terjadi pada sirkulasi sistemik juga terjadi pada ACE jaringan yang dihasilkan oleh sel- sel endotel jantung, ginjal, otak dan kelenjar adrenal. Penghambat ACE juga berperan dalam menghambat degradasi bradikinin, yang merupakan vasodilator.
Secara garis besar obat penghambat ACE mempunyai efek kardioprotektif dan vaskuloprotektif terhadap Jantung dan Vaskular. Pada jantung ACE-I efeknya dapat menurunkan afterload dan preload, menurunkan massa ventrikel kiri, menurunkan stimulasi simpatis, serta menyeimbangkan kebutuhan dan suplai oksigen. Pada vaskular ACE-I dapat berefek antihipertensi, memperbaiki dan kelenturan arterial, memperbaiki fungsi endotel, antitrombogenik langsung, antimigrasi dan antiproliferatif terhadap sel otot polos, neutrophil dan sel mononuclear, antitrombosit, dan meningkatkan fibrinolisis endogen.
Perkembangan terkini melaporkan bahwa ACE-I mempunyai efek mengurangi cardiac event-nya sangat bermakna. Selama ini ada angapan ACE-I tidak mempunyai peran pada SKA, karena tertutupi oleh peran LMWH yang memang sangat terbukti keampuhannya pada SKA. Pada saat ini pandangan atau pendapat tersebut telah berubah, karena dari suatu penelitian dibuktikan, pada lesi-lesi aterisklerotik yang vulnerable atau unstable atherosclerotic plaque yang mudah rupture atau disruption yang dikenal sebagai culprit lessions yang menyebabkan terjadinya SKA ditemukan aktivitas ACE. Dengan menghambat aksi ACE pada cuprit lesions, ACE-I mampu atau dapat mengurangi dan mencegah terjadinya cardiac events pada SKA, secara lebih bermakna.
Studi HOPE (Heart Outcomes Prevention Evaluation) melaporkan penurunan angka kematian dan kejadian vaskuler jangka panjang setelah penggunaan ACE-I pada pasien-pasien PJK risiko sedang, dan kebanyakan dari mereka mempunyai fungsi ventrikel kiri yang baik. Studi EUROPA juga membuktikan manfaat ACEI pada penderita PJK dengan fungsi ventrikel kiri normal.
Pada pasien – pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang tidak dapat bertoleransi dengan ACEI, maka dapat dipertimbangkan pemberian ARB. Rekomendasi di atas dibuat berdasarkan potensi mereka terhadap manfaat jangka panjang. Untuk mengontrol gejala iskemia, dapat digunakan preparat nitrat, penyekat beta dan antagonis kalsium.
Statin
Statin telah menujukkan efek yang menguntungkan pada pasien-pasien dengan APTS/NSTEMI, terutama terhadap kadar lipid serum. Sebaiknya statin diberikan segera setelah onset APTS/NSTEMI. Saat ini obat golongan ini mengalami kemajuan yang sangat menakjubkan dalam terapi hipolipidemia dalam mengurangi kejadian kardiovaskular, karena relatif efektif dan sedikit efek samping serta merupakan obat pilihan pertama. Obat golongan ini dikenal juga dengan obat penghambat HMGCoA reduktase. HMGCoA reduktase adalah suatu enzym yang dapat mengontrol biosintesis kolesterol. Dengan dihambatnya sintesis kolesterol di hati dan hal ini akan menurunkan kadar LDL dan kolesterol total serta meningkatkan HDL plasma.
Penelitian-penelitian yang telah dipublikasikan mengkonfirmasikan, adanya hubungan antara dislipidemia atau tingginya kolesterol darah dan penyakit jantung koroner. Terdapat banyak bukti bahwa terapi penurunan kolesterol pada pasien-pasien dengan kadar kolesterol rata-rata atau tinggi setelah IMA atau APTS akan menurunkan kejadian-kejadian vaskular dan kematian.
Dan penelitian juga membuktikan penurunan kadar lemak atau kolesterol secara agresif oleh obat golongan statin sangat bermanfaat dalam menekan atau mengurangi kejadian-kejadian koroner akut. Dilaporkan juga, pemberian statin sesudah serangan SKA ternyata dapat mengurangi lesi aterosklerosis telah
diteliti secara quantitative coronary angiography, disamping perbaikan gejala klinisnya. Diperkirakan dengan pemberian statin secara dini sesudah serangan jantung dapat mengurangi kemungkinan pembentukan lesi baru, mengurangi kemungkinan progresi menjadi oklusi. Studi MIRACL juga membuktikan manfaat pemberian dini atorvastatin 80 mg pada pasien SKA, dapat mencegah rekurensi serangan iskemik.
Statin juga ternyata dapat memperbaiki fungsi endotel (RICIFE trial), menstabilkan plak, mengurangi pembentukan trombus, bersifat anti-inflamasi, dan mengurangi oksidasi lipid (pleotrophic effect). Sekarang ini pemberian obat hipolipidemik atau golongan statin merupakan salah satu strategi yang sedang berkembang pada pengobatan SKA secara optimal.
Pemberian statin sebaiknya dimulai lebih awal sebelum pulang dari rumah sakit. Pasien dengan kadar LDL normal (kolesterol LDL 100 mg/dl) tetapi kadar HDL rendah, lebih baik diterapi dengan fibrat. Statin sebaiknya diteruskan untuk mendapatkan keuntungan terhadap kelangsungan hidup jangka panjang.
4.2. Terapi Non-Farmakologi
4.2.1. Tindakan Revaskularisasi
Termasuk di sini yaitu operasi pintas koroner (coronary artery bypass grafting, CABG) dan PCI (angioplasti koroner atau percutaneous transluminal coronary angioplasty / PTCA) dan tindakan terkait seperti misalnya pemasangan stent, aterektomi rotablasi, dan aterektomi direksional)
Pada era sebelum diperkenalkan penggunaan stent dan antagonis glikoprotein IIb/IIIa, CABG disarankan pada pasien dengan anatomi koroner berisiko tinggi, seperti obstruksi ≥ 50% pembuluh kiri atau penyakit 3-pembuluh (triple vessel disease) terutama bila fraksi ejeksi rendah (< 50%) atau ditemui diabetes mellitus. Pada pasien dengan penyakit 2-pembuluh (double vessel disease) atau penyakit 3- pembuluh di mana kelainannya masih baik untuk PCI maka tindakan CABG atau PCI harus dipertimbangkan secara individual. Meta-analisis CABG dibandingkan PTCA konvensional (sebelum era stent) menujukan tidak adanya
perbedaan antara kedua jenis strategi pengobatan ini, tetapi pasien yang menjalani PTCA lebih sering harus menjalani tindakan ulang dan lebih sering mengalami angina berulang. Dengan adanya stent. maka angina berulang dan kebutuhan tindakan revaskularisasi ulangan juga menurun. Stent juga menurunkan risiko tindakan pada pasien dengan APTS, termasuk menurunkan risiko oklusi akut, infark jantung, kebutuhan CABG darurat dan mengurangi restenosis jangka panjang. Dengan adanya obat anti-trombosit baru seperti tiklopidin dan klopidogrel, maka trombosis akut dan sub akut dapat ditekan sekitar <1 %. Hasil jangka pendek dan jangka panjang juga menjadi lebih baik secara bermakna dengan adanya inhibitor glikoprotein IIb/IIIa.
Kadang-kadang ditemui pasien dengan penyakit banyak pembuluh (multivessel disease) dimana tindakan revaskularissi total tidak memungkinkan dengan PCI, akan tetapi CABG mengandung risiko tinggi. Pada keadaan ini dapat diterapkan strategi hanya memperbaiki lesi yang menyebabkan SKA (culprit lesion).
Demikian pula pasien yang mempunyai komorbiditas berat yang menyebabkan risiko CABG menjadi tinggi dapat dipertimbangkan untuk menjalani tindakan PCI bertahap. Pasien left main disease disertai komorbiditas berat dapat dipertimbangkan menjalani PCI dengan pemasangan stent.
Indikasi tindakan revaskularisasi spesifik (CABG, PCI konvensional, stent, aterektomi) banyak tergantung kepada anatomi koroner, faal ventrikel kiri, pengalaman dokter (kardiolog intervensional atau dokter bedah), adanya penyakit penyerta dan pilihan pasien sendiri.
4.2.2. Rehabilitasi medik
Bagi penderita yang sedang mengalami serangan jantung tindakan yang dilakukan memang bersifat darurat dan dikerjakan dengan cepat. Seperti melakukan rangsangan menggunakan listrik bertegangan tinggi ketika jantung berhenti berdenyut. Pada kondisi penanganan jantung seperti ini, tindakan yang cepat merupakan prioritas utama.
Pasien yang mengalami serangan jantung dan pasca operasi pada umumnya mengalami gangguan pada fungsi-fungsi organ tubuhnya. Karena itu untuk meningkatkan kemampuan organ itu paling tidak mendekati kondisi semula dilakukan rehabilitasi medik dengan maksud untuk mengoptimalkan fisik, fisiologi dan sosial pada pasien-pasien yang sebelumnya menderita kejadian kardiovaskular.
Di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dilaksanakan rehabilitasi medis dengan konsep terpadu. Jenis pelayanan rehabilitasi mencakup:
1. Tes evaluasi, dengan treadmill atau Esrocycle test
2. Pelaksanaan fisioterapi
3. Pelaksanaan monitoring telemetri
4. Program Rehabilitasi Fase II dan III
5. Rehabilitasi Pasca MCI atau Pasca Operasi di ruang rawat
6. Treadmill analyser/Ergocycle analyzer
7. Holter
8. Lead Potensial
9. Vektor
Tujuan :
− Untuk mempersiapkan penyesuaian terhadap kejadian akut dan menurunkan stres psikologi pada pasien dan keluarga. Untuk mendukung dan mempertahankan gaya hidup sehat dan untuk mendorong pasien memodifikasi faktor risiko.
− Untuk membantu pasien secara bertahap kembali pada tingkat aktivitas sebelumnya.
− Untuk memastikan kepatuhan pada terapi medis.
− Untuk memberikan pengetahuan tentang PJK kepada pasien dan keluarga.
4.2.3. Modifikasi faktor risiko
• Berhenti merokok
Pasien yang berhenti merokok akan menurunkan angka kematian dan infark dalam 1 tahun pertama.
• Berat badan
Untuk mencapai dan /atau mempertahankan berat badan optimal.
• Latihan
melakukan aktivitas sedang selama 30-60 menit 3-4x/minggu (jalan, bersepeda, berenang atau aktivitas aerobic yang sesuai)
• Diet mengkonsumsi makanan dengan kadar kolesterol rendah atau lemak dengan saturasi rendah
• Kolesterol mengkonsumsi obat-obatan penurun kolesterol. Target primer kolesterol LDL < 100mg/dl.
• Hipertensi target tekanan darah <130/80 mmHg.
• DM kontrol optimal hiperglikemia pada DM
BAB V
RENCANA ASUHAN KEFARMASIAN
Rencana asuhan kefarmasian bagi pasien SKA secara garis besar pada prinsipnya adalah terdiri dari empat komponen yakni melaksanakan manajemen DRPs, menjaga dan berupaya agar pedoman penatalaksanaan pasien SKA berjalan sebagaimana telah disepakati berdasarkan standar pelayanan profesi dan kode etik yang telah ditetapkan, melaksanakan pemberdayaan pasien dalam hal penggunaan obat secara cerdas serta bijak dan pengetahuan tentang penyakit jantung, dan penelitian (tabel 7). Dengan tujuan untuk kepuasan pasien dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan serta sebagai bentuk pemenuhan hak dasar sebagai pasien.
No Empat Prinsip Dasar Tujuan Dari Rencana Pharmaceutical Care
1 Melaksanakan manajemen DRPs
2 Terapi berjalan sesuai Guidelines penatalaksanaan SKA
3 Pendidikan dan informasi
4 Penelitian
Tabel 16. Empat Prinsip Dasar Tujuan dari Rencana Pharmaceutical Care
Pada umumnya penderita SKA yang dirawat di rumah sakit dengan kondisi multiple disease serta mendapat terapi lebih dari satu macam obat (multiple drug therapy). Kondisi tersebut dapat menjadi berisiko tinggi atau cenderung mengalami masalah-masalah yang berkaitan dengan obat atau drug-related problems (DRPs) yang akan mempengaruhi outcome dari penggunaan obat tersebut. Karena biasanya penderita yang menggunakan banyak obat dan mengalami multiple disease, merupakan faktor yang dapat meningkatkan terjadinya drug induced disease, interaksi, efek samping obat dan kurang efisiennya proses pengobatan.
Pelaksanaan asuhan kefarmasian, apoteker dapat berperan dari awal atau bisa dilaksanakan sebelum penderita kerumah sakit, di rumah sakit dan/atau setelah keluar dari rumah sakit/komunitas.
5.1. Sebelum kerumah sakit.
Pada prinsipnya pelaksanaan Pharmaceutical Care sebelum ke rumah sakit / komunitas adalah seorang apoteker harus dapat mengenali bahwa seseorang telah terkena PJK atau SKA dari gejala dan keluhan yang dirasakan dan dikeluhkannya.
Berdasarkan gejala dan keluhan yang spesifik dari pasien dengan kemungkinan
SKA, maka:
1. Berikan asetil salisilat 300 mg dikunyah
2. Berikan Nitrat sublingual
3. Kirim kefasilitas yang memungkinkan
5.2. Di Rumah Sakit
5.2.1. IGD/UGD
Rencana Pharmaceutical Care yang dibuat harus mencakup dan mempunyai tujuan dalam hal menjamin dan memastikan ketersediaan dan distribusi barang- barang kefarmasian untuk terlaksananya terapi/penatalaksanaan pasien SKA secara optimal.
5.2.2. Rawat Inap, ICCU/CVC
Rencana asuhan kefarmasian yang dibuat untuk penderita SKA harus mempunyai tujuan untuk mengatasi masalah gejala yang muncul dan meningkatkan kesempatan bertahan untuk jangka waktu lama dengan kondisi bebas dari terapi.
Hal-hal penting yang diperlukan harus mencakup:
1. Pengoptimasian regimen obat antiangina penderita SKA untuk menjamin kerasionalannya apakah penambahan terapinya sampai tercapai kontrol gejala yang baik.
2. Memonitor setiap penambahan dan/atau penggantian regimen obat pada pasien SKA untuk melihat keberhasilan dan kemampuan toleransinya dengan melakukan pengukuran hasil pengobatan melalui analisa frekuensi serangan angina yang terjadi pada pasien
3. Memberikan konsultasi pada pasien untuk memastikan bahwa dia mengerti tujuan dari pengobatan dan menggunakan obatnya dengan tepat sehingga tercapai efek maksimum terapi dan minimalisasi efek samping. Menjelaskan kepada pasien, alasan pemberian setiap obat yang digunakannya serta hubungannya dengan gejala dan keluhan yang dirasakannya.
4. Memberikan konsultasi pada pasien perihal pola hidupnya (seperti diet, merokok dll) untuk memastikan bahwa dia tidak mengkompromikan pengobatannya dalam cara apapun.
5. Memastikan bahwa pasien mendapatkan saran dan obat yang kontinu ketika keluar dari rumah sakit. Sebelum pulang ke rumah, pasien harus mendapatkan petunjuk yang detail mengenai pengobatannya termasuk penjelasan bagaimana mendapat obat selanjutnya dan apa yang harus dilakukan jika gejala yang muncul tidak terkontrol atau jika dia terkena efek samping dari pengobatannya.
6. Memastikan prinsip-prinsip dari manajemen DRPs sudah berjalan dengan optimal.
Rencana asuhan kefarmasian dari pengobatan pasien SKA selama di rumah sakit adalah mengurangi kemungkinan berkembangnya iskemia menjadi IMA dan kematian.
Rencana asuhan kefarmasian dapat mencakup beberapa faktor penting antara lain:
1. Memastikan bahwa IV heparin dan GTN digunakan secepat mungkin untuk meningkatkan suplai oksigen ke jantung pasien, mengurangi frekuensi serangan angina, mengurangi iskemia jantung sehingga mencegah berkembangnya iskemia menjadi IMA
2. Memonitor keberhasilan / ketepatan dari infus yang diberikan dengan melihat pada pengurangan rasa sakit dan resolusi pada depresi ST pada EKG pasien, dan yakinkan/pastikan bahwa dosis dititrasi dengan benar sehingga pasien tidak mengalami/terkena efek samping dari infus.
3. Jelaskan pada pasien kenapa pengobatan selanjutnya tidak mengontrol gejalanya dan memberikan jaminan kepada pasien bahwa akan ada tindakan ke depannya yang dapat dilakukan untuk mengontrol sakit dadanya.
4. Menjelaskan kepada pasien untuk mencoba dan/atau melaksanakan relaksasi sebisa mungkin kapanpun dengan tujuan untuk mencegah terjadinya peningkatan kebutuhan suplai oksigen kejantung.
Poin-poin pokok untuk dipertimbangkan pada Asuhan Kefarmasian penderita SKA dengan disertai penyulit / komplikasi, antara lain yakni:
1. Aritmia dan Cardiac Arrest
a. Fibrilasi atrium
- Menjamin ketepatan pemberian terapi obat untuk mengontrol AF
penderita
- Menjamin ketepatan penggunaan digoksin dan pemeliharaan pemilihan regimen obat
- Monitoring kondisi umum penderita secara bertahap, khususnya kreatinin plasma dan kalium
- Melakukan konseling kepada penderita dan memberikan masukan lain sebagai tenaga profesional kesehatan terhadap tanda dan atau gejala dari toksisitas digoksin.
2. Oedema pada gagal jantung
- Menjamin ketepatan pemberian terapi diuretik
- Monitor kondisi umum penderita dan efek samping obat khususnya kadar kalium plasma dan kreatinin.
Untuk pasien-pasien paska operasi, hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam rencana asuhan kefarmasian meliputi:
1. Menjelaskan kepada pasien alasan mengenai penghentian obat antiangina tapi penting meneruskan aspirin, beta bloker, ACE-I, dan simvastatin.
2. Pasien diberikan konsul untuk menyakinkan bahwa dia mengerti tujuan dari semua pengobatannya, pasien tahu kapan harus mengkonsumsi obatnya agar tercapai efek maksimal dan minimal efek samping obat dan untuk apa/sampai kapan dia meneruskan kosumsi obatnya.
3. Memberi tahu pasien bagaimana cara mengurangi rasa sakit ketika dia telah keluar rumah sakit, terutama mengunakan sediaan OTC apa yang bisa digunakan dan tidak boleh digunakan.
4. Pasien diberi penjelasan atau konsultasi mengenai perubahan pola hidupnya, seperti diet, mempertahankan asupan alkohol, tidak merokok dan melakukan olahraga sedang secara teratur dan terukur.
Untuk pasien-pasien ketika sudah keluar RS, hal-hal penting yang akan di cover selama konseling dengan pasien mengenai pengobatannya oleh seorang apoteker antara lain:
I. Tentang Obat-obatan
1. Tablet GTN sublingual
Untuk obat golongan nitrat, sebelum keluar dari rumah sakit, pasien sebaiknya diberikan informasi atau penjelasan tentang obat-obat yang digunakan dan cara penggunaan yang benar. Apabila terdapat angina yang terjadi lebih dari 2-3 menit, pasien dianjurkan untuk memakai satu dosis nitrat sublingual. Hal ini dapat diulang dengan interval 5 menit sampai dengan 3 dosis total. Jika gejala masih tetap sampai setelah 15 menit, pasien dianjurkan untuk segera berobat ke rumah sakit terdekat.
a. Tablet GTN adalah untuk membantu mengurangi sakit dada yang dirasakan/alami di RS
b. Tablet diletakan dibawah lidah dan dibiarkan melarut. Rasa terbakar dalam mulut merupakan hal yang biasa setelah penggunaan GTN sublingual. Tablet tidak boleh dibelah atau dihancurkan sebelum menggunakannya.
c. Awalnya digunakan 1 tablet, tetapi jika tidak terjadi pengurangan rasa sakit tablet ke-dua dan ke-tiga bisa dikonsumsi dengan interval 5 menit. Jika setelah penggunaan 3 tablet rasa sakit tidak juga berkurang, penderita harus mencari tim medis.
d. Sebaiknya ketika mengkonsumsi tablet, pasien dalam posisi duduk, hal ini akan membantu mengurangi rasa sakit dan juga mencegah hipotensi postural (perasaan pusing pada perubahan posisi).
e. Tablet GTN bisa menimbulkan rasa sakit kepala dan atau rasa panas dan merah di muka. Jika muncul sakit kepala yang bertahan setelah tercapai
pengurangan rasa sakit di dada, tablet yang tersisa di bawah lidah bisa/harus diludahkan atau ditelan.
f. Tablet GTN tidak menyebabkan kecanduan dan tidak ada batas berapa banyak bisa digunakan perhari. Tetapi penderita harus konsultasi dengan dokternya jika dia perlu mengunakan obat lebih dari biasanya.
g. Penyimpanan yang benar dari tablet GTN penting sekali. Obat ini harus disimpan di tempat sejuk dalam botol baru dan tidak boleh dipindahkan ke wadah lain. Tidak ada sumbat kapas katun atau tablet/kapsul lain yang harus ditambahkan ke dalam botol. Tablet harus tetap handy setiap saat.
h. Tanggal pada botol tablet pada saat pembukaan botol pertama kali harus dicatat dan diperhatikan dan tablet harus dipindahkan/ditempatkan ulang dalam 8 minggu dari tanggal tersebut.
i. Tablet tidak boleh digunakan bersamaan dengan obat golongan Sildenafil
(Viagra), atau obat-obat yang digunakan untuk mengatasi disfungsi ereksi. j. Sebaiknya penderita diberitahu bahwa tablet GTN bisa dibeli di apotek
komunitas (apotek) tanpa resep.
2. Isosorbid mononitrat
Tablet ini digunakan untuk mencegah sakit dada. Jika digunakan berkala obat ini dapat mengurangi sejumlah kondisi yang memerlukan penggunaan tablet GTN sublingual. Interval penggunaan dan dosis dijelaskan pada penderita sehingga dia mengerti kegunaan mengkonsumsi satu dosis di pagi hari dan konsumsi kedua pada tengah hari dalam rangka untuk mencegah pengembangan toleransi. Tablet isosorbid mononitrat bisa menyebabkan sakit kepala pada beberapa hari pertama pengobatan. Tetapi efek ini akan hilang pada penggunaan kontinu. Dengan demikian perlu memberi semangat penderita untuk meneruskan pengobatannya jika hal ini terjadi. Jika perlu penderita dapat meminum parasetamol tapi disarankan untuk jangan meminum produk yang mengandung aspirin sebagaimana aspirin ini mencampuri efek antiplatelet pada dosis rendah.
3. Aspirin
Aspirin dosis rendah bisa mengurangi kemungkinan serangan jantung berulang dengan cara mencegah melekatnya sel-sel darah (platelet-platelet) bersama- sama. Produk yang berisi dosis biasa lebih tinggi dari aspirin tidak memiliki efek ini, dengan demikian obat OTC lain yang mengandung aspirin tidak boleh digunakan. Suplai aspirin dosis rendah kemudian dapat didapat melalui resep GP atau membeli dari apotek. Aspirin paling baik digunakan bersama makanan untuk mencegah iritasi lambung.
4. Bisoprolol
Tablet ini dapat mengurangi kemungkinan penderita mendapat serangan jantung berulang. Obat ini juga cepat menormalkan jantung yang berdebar-debar atau denyut jantung yang meningkat. Dan juga dapat mengurangi gejala dan keluhan angina yang dirasakan penderita.
Bergantung pada informasi yang diberikan dokter, obat ini layak diterangkan efek sampingnya bila penderita menggunakannya dalam jangka lama. Contoh, jika penderita mengalami sesak nafas penderita harus konsultasi dengan dokter. Informasi lain yang mungkin seperti lethargy, kecepatan jantung rendah, impotensi harus diberikan oleh seorang apoteker.
ACC/AHA merekomendasikan / menganjurkan penggunaan betabloker bagi penderita SKA setelah keluar rumah sakit yang hendak diterapi jangka panjang antara lain:
− Penyekat beta sebaiknya diberikan kepada pasien–pasien dengan riwayat
IMA apabila tidak ada kontraindikasi.
− Penyekat beta sebaiknya dilanjutkan pada pasien-pasien dengan disfungsi ventrikel kiri dan pada pasien-pasien yang mempunyai risiko tinggi iskemia.
5. ACE-I
Pertama kali obat ini digunakan untuk mengontrol tekanan darah, atau dikenal juga dengan kelompok obat antihipertensi. Obat ini selain dengan baik dapat mengontrol tekanan darah, juga sangat bermanfaat menjaga dan melindungi
jantung. Dengan kata lain, obat ini walau dengan kondisi tekanan darah penderita normal juga tetap diberikan, dengan tujuan untuk menjaga dan memelihara kondisi jantung agar tetap baik.
6. Statin
Obat ini mempunyai mekanisme pleotrophic effect, yaitu efek lain selain efeknya dapat mengurangi atau menekan kolesterol darah (antilipidemia). Statin dibuktikan ternyata dapat memperbaiki fungsi endotel (RICIFE trial), menstabilkan plak, mengurangi pembentukan trombus, bersifat anti-inflamas dan mengurangi oksidasi lipid. Dengan kata lain obat golongan statin di samping dapat mengontrol kolesterol darah juga dapat melindungi/memelihara jantung. Sehingga, ada kalanya pada penderita SKA yang kadar kolesterol darahnya normal tetap diberikan obat golongan statin. Dengan kata lain bila penderita bertanya kenapa obat golongan statin tetap diberikan padahal kadar kolesterolnya normal, hal ini dikarenakan sifat pleotrophic effect dari statin sangat bermanfaat pada penderita SKA.
Ketidakpatuhan
Penjelasan yang bijak, baik dan hati-hati tentang alasan dan tujuan tiap-tiap terapi serta hubungannya dengan keluhan dan gejala yang dirasa penderita, terutama terapi nitrat, aspirin, beta-bloker, ACE-I, dan statin serta penjelasan tentang waktu penggunaannya dapat membantu menghindarkan ketidakpatuhan pasien. Serta pasien diberitahu akan manfaatnya dalam mencegah memburuknya penyakit, mengurangi kemungkinan perawatan di rumah sakit dan meningkatkan harapan hidup.
II. Tentang Penyakit
1. Nyeri dada spesifik
Banyak pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari pasien kenapa sampai terjadi nyeri dada? Seorang Apoteker harus dapat menjelaskan kenapa sampai terjadi sakit/nyeri dada spesifik pada penderita PJK dan bagaimana hubungannya dengan obat yang dikonsumsinya.
Nyeri dada spesifik atau dikenal dengan istilah angina atau angina pektoris adalah disebabkan oleh karena adanya ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen pada otot jantung. Yang disebabkan oleh adanya penyumbatan pada pembuluh darah koroner di jantung akibat proses aterosklerosis. Aterosklerosis adalah suatu proses pengerasan dan penyempitan pembuluh darah koroner, sehingga aliran darah dalam pembuluh koroner menjadi tidak adekuat lagi. Akibatnya, dinding otot jantung mengalami iskemia (dan mungkin sampai infark), dimana oksigen bagi otot jantung sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme sel-selnya.
Saat terjadinya ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen di otot jantung, metabolisme yang terjadi adalah anaerobik, padahal metabolisme dalam sel otot jantung sepenuhnya adalah aerobik, artinya membutuhkan oksigen yang mengakibatkan produksi asam laktat akan semakin menumpuk. Zat ini akan menoreh syaraf dan menimbulkan rasa nyeri yang hebat di balik tulang dada, yang dikenal sebagai nyeri angina. Dan keluhan angina dapat timbul berulang- ulang, setiap kali keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan oksigen terganggu. Sewaktu-waktu bisa terjadi serangan jantung atau infark miokard akut.
2. Pencegahan
Tak kalah pentingnya pemberitahuan dan penjelasan kepada penderita adalah upaya pencegahan PJK atau SKA. Disamping pemberitahuan penyebab dan atau mekanisme dasar timbulnya PJK atau SKA. Pencegahan PJK atau SKA, apoteker dapat berperan langsung dalam hal informasi dan edukasi tentang PJK atau SKA kepada pasien. Pencegahan SKA merupakan tindakan yang bijak dan
arif dari penanganan SKA, karena sekali diagnosis ditegakkan beban yang disebabkan keluhan dan gejalanya begitu berat dan prognosisnya buruk.
Bijaksananya memang, mencegah itu lebih baik dari pada mengobati. Oleh karena itu untuk terhindar dari PJK atau SKA seorang apoteker harus menjelaskan strategi atau upaya-upaya sistematis untuk mencegah timbulnya PJK, antara lain dengan menghindari atau memodifikasi semua faktor-faktor risiko yang akan dapat menyebabkan PJK/SKA di sepanjang hidup kita secara konsisten dan berkesinambungan. Dan menjelaskan hubungan antara faktor- faktor risiko dengan timbulnya PJK atau SKA.
Ada 2 kelompok faktor risiko secara garis besar yang harus dipahami (Tabel 8). Pertama adalah faktor-faktor risiko yang sama sekali tak bisa diubah atau dimodifikasi, yaitu faktor genetik, jenis kelamin dan usia. Jika mempunyai riwayat keturunan, seseorang kemungkinan besar akan mendapatkan serangan jantung pula dikemudian hari. Ketiga faktor risiko itu memang tak bisa dihindari.
Faktor – Faktor Risiko PJK atau SKA
No Faktor Risiko Yang Dapat Diubah Faktor Risiko Tidak Dapat Diubah
1 Merokok Keturunan
2 Kegemukan Jenis kelamin
3 Sering Stress Umur
4 Kurang olahraga
5 Diabetes
6 Kolesterol darah tinggi
7 Tekanan darah tinggi
Tabel 17. Faktor- Faktor Risiko PJK atau SKA
Yang kedua adalah faktor-faktor risiko yang sesungguhnya dapat dimodifikasi, dihindari dan dikendalikan. Yang utama adalah kolesterol, hipertensi dan rokok. Di samping itu juga diabetes, stres, kurang berolahraga, dan sebagainya.
Faktor-faktor risiko yang bisa dimodifikasi itu harus dikendalikan. Diantaranya dengan mengubah kebiasaan hidup sekarang juga dengan strategi PANCA USAHA KESEHATAN JANTUNG, yakni: Seimbangkan gizi, Enyahkan rokok, Hindari dan awasi stress, Awasi tekanan darah dan Teratur dan terukur berolahraga (SEHAT).
Panca Usaha Jantung Sehat
1. Seimbangkan gizi
2. Enyahkan rokok
3. Hindari dan awasi rokok
4. Awasi tekanan darah
5. Teratur dan terukur berolahraga
III. Makna klinis dari tindakan diagnostik
Di samping pemeriksaan laboratorium penunjang yang sudah umum dikenal banyak pasien, misalnya pemeriksaan darah rutin, analisa gas darah, enzim jantung, kadar profil lemak darah, dan faktor pembekuan ada tindakan-tindakan yang dilakukan pada pasien yang harus diketahui oleh apoteker yang biasa dilaksanakan pada pasien jantung. Seperti tindakan EKG, Treadmil test, Ekokardiogram, Angiografi koroner dan Myocardial perfusion imaging. Yang dikenal juga dengan tindakan diagnostik non invasif serta diagnostik invasif dan non bedah.
Elektrokardiogram (EKG).
Merupakan rekaman aktivitas listrik jantung yang dapat mendeteksi gangguan irama jantung, tanda-tanda iskemia dan gangguan lainnya.
Treadmil test
Menilai reaksi kerja jantung saat aktivitas
Ekokardiogram
Menilai struktur anatomi jantung dan ruang-ruangnya serta untuk menilai aktivitas kerja otot jantung
Angiografi koroner
Untuk melihat pembuluh darah jantung yang terlibat dan besarnya penyumbatan yang terjadi
Myocardial Perfusion imaging
Memberikan informasi tentang keadaan sel-sel otot jantung
5.3. Pasien Rawat Jalan/Apotek (komunitas).
Untuk pasien SKA yang menjalani terapi rawat jalan asuhan kefarmasian yang dilaksanakan adalah dikemas dalam bentuk layanan/kegiatan “LAYANAN KONSULTASI OBAT“ terhadap pasien.
5.3.1. Tujuan
5.3.1.1. Umum :
Meningkatkan mutu atau kualitas pelayanan pengobatan atau kesehatan di rumah sakit dalam rangka meningkatkan kepuasan pada pasien sebagai penerima jasa pelayanan pengobatan atau kesehatan yang dilaksanakan secara profesional.
5.3.1.2. Khusus :
1. Menilai dan memeriksa resep.
2. Memeriksa ulang dan menyerahkan pada pada pasien dengan memberi informasi, konsultasi dan edukasi tentang obat dan penyakit pada pasien.
3. Menilai pola penggunaan obat pada pasien.
4. Untuk memastikan kepatuhan pasien pada terapi medis.
5. Menjelaskan atau menerangkan hubungan antara gejala , keluhan dengan obat yang digunakan.
6. Menjelaskan atau menerangkan cara penggunaan obat yang benar dan tepat
7. Untuk memberi pengetahuan /penyuluhan tentang mekanisme dasar PJK dan rasionalitas pengobatannya.
8. Untuk mendukung dan mempertahankan gaya hidup sehat dan untuk mendorong pasien untuk memodifikasi faktor risiko serta memiliki rasa percaya diri dan optimisme.
5.3.2. Materi Konsultasi
5.3.2.1. Umum :
Ada beberapa tips atau materi tentang informasi apa yang perlu disampaikan kepada pasien sehubungan penggunaan obat :
1. NAMA OBAT yang tertulis pada resep/label dan jumlahnya. Beritahukan golongan obat tersebut, apakah termasuk obat bebas atau obat keras.
2. UNTUK INDIKASI APA OBAT TERSEBUT DIGUNAKAN, jelaskan secara umum indikasi kegunaan obat , jangan melakukan diagnosa penyakit.
3. KAPAN OBAT TERSEBUT DIGUNAKAN . Jelaskan kapan dan frekuensi penggunaan obat sesuai label. Jelaskan juga apakah obat tersebut digunakan sebelum, sewaktu atau setelah makan.
4. BAGAIMANA CARA MENGGUNAKAN OBAT . Jelaskan bentuk sediaan obat (tablet,kaplet,suspensi/sirup dan sebagainya) dan bagaimana cara menggunakannya ; apakah ditelan, disisipkan dibawah lidah, dioles, dimasukkan kelubang anus dan sebagainya, seperti penggunaan ISDN sublingual; diletakan dibawah lidah, dll
5. HAL PENTING yang seharusnya diperhatikan selama menggunakan obat , misalnya ;
¾ Hal-hal spesifik yang perlu diperhatikan terutama dalam penggunaan obat warfarin.
¾ Informasikan pula bahwa bila tidak terjadi perubahan pada penyakit, pasien dianjurkan untuk kembali kedokternya. Jangan biarkan mereka memperpanjang sendiri pengobatannya .
6. Apa yang harus dilakukan bila lupa menggunakan obat ? Informasi yang diberikan tergantung pada jenis obat dan indikasinya, misalnya untuk warfarin, disarankan agar segera minum selagi ingat dan jarak waktu secukupnya untuk minum warfarin berikutnya
7. Apa efek samping obat dan bagaimana menyikapinya :
Tergantung pada jenis obat, misalnya efek samping pusing atau sakit kepala karena minum obat ISDN, kepada pasien diberitahu bahwa sakitnya akan hilang dengan sendirinya dan kalau tidak tahan dapat menggunakan obat analgetik seperti panadol untuk mengatasinya. Pasien dinasehatkan agar tidak mengendarai kendaraan.
8. Bagaimana cara menyimpan obat :
¾ Informasikan bahwa mutu dan keamanan obat juga ditentukan oleh bagaimana obat itu disimpan.
¾ Informasikan agar obat dijauhkan dari jangkauan anak, di tutup rapat- rapat terhindar cahaya matahari dan sebagainya .
¾ Informasikan cara mengidentifikasi mutu obat secara organoleptis, misal perubahan warna bau , rasa dan bentuk.
9. Hal-hal lain yang harus diperhatikan selama menggunakan suatu obat :
¾ Sampaikan pada pasien untuk memberitahukan kondisinya kepada dokter termasuk hal-hal seperti alergi obat (misal antibiotik, sedang hamil terutama trisemester pertama/menyusui keluhan gastritis dan lain-lain).
5.3.2.2. Khusus :
1. Untuk memberi pengetahuan /penyuluhan tentang mekanisme dasar
Penyakit Jantung koroner (PJK) dan rasionalitas pengobatannya
2. Menerangkan atau menjelaskan makna klinis hasil tes laboratorium dengan
Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang diderita pasien.
BAB VI PENUTUP
Perkembangan terkini memperlihatkan penyakit kardiovaskular telah menjadi suatu epidemi global yang tidak membedakan pria maupun wanita, serta tidak mengenal batas geografis dan sosio-ekonomis. Pada tahun 2010, penyakit ini akan menjadi penyebab kematian pertama di negara berkembang, menggantikan kematian akibat infeksi. Untuk itu perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan mutu atau kualitas pelayanan pengobatan atau kesehatan pasien penyakit jantung koroner umumnya dan sindrom koroner akut khususnya dalam rangka meningkatkan kepuasan pasien sebagai penerima jasa pelayanan pengobatan atau kesehatan yang dilaksanakan secara profesional. Buku saku ini diharapkan dapat membantu program nasional yaitu meningkatkan pelayanan kefarmasian untuk pasien penyakit jantung sebagai pelengkap dari pelayanan medis.
LAMPIRAN
Level of Evidence Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut
TINGKAT PEMBUKTIAN (LEVEL OF EVIDENCE)
1. A : Data diperoleh dari banyak uji coba klinik random atau meta analisis
2. B : Data diperoleh dari uji coba klinik random tunggal atau studi non random
3. C : Berdasarkan opini konsensus para ahli
KELAS REKOMENDASI PENGOBATAN Kelas I :
Terdapat bukti dan atau pendapat umum terapi adalah menguntungkan, bermanfaat dan efektif.
Kelas II :
Terdapat konflik dan atau opini divergen tentang manfaat/efisiensi dan terapi.
II A: terdapat bukti/opini yang menunjukkan adanya manfat/efisiensi. II B: manfaat/efisiensi kurang berguna secara pembuktian/opini.
Kelas III :
Bukti atau pendapat umum tentang terapi tidak bermanfaat/efektif dan dalam beberapa kasus cenderung membahayakan.
Pemberian Obat Anti Iskemia Rekomendasi untuk terapi iskemia Kelas I
1. Istirahat di tempat dengan monitoring elektrokardiografi (EKG) untuk iskemi dan aritmia (level of evidence C).
2. Nitrogliserin yang diberikan secara sublingual atau spray, diikuti dengan pemberian infus secara intravena.
3. Pemberian oksigen untuk pasien dengan sianosis atau respiratori distress;
dengan saturasi oksigen dibawah 90%.
4. Morfin bila pasien masih kesakitan, adanya kongesti paru-paru atau bila ada agitasi.
5. Penyekat beta dengan dosis permulaan secara intravena, bila didapatkan sakit dada terus menerus; dilanjutkan dengan pemberian per oral bila tak ada kontraindikasi.
6. Bila didapat kontraindikasi untuk penyekat beta dapat diberi antagonis kalsium golongan nondihidropirin, seperti diltiazem atau verapamil.
7. Penghambat ACE bila ada hipertensi atau gagal jantung, atau faal jantung terganggu.
Kelas IIa
1. Antagonis kalsium long action untuk iskemia berulang walaupun sudah mendapat penyekat beta dan nitrat.
2. Penghambat ACE untuk semua pasien SKA.
3. Intra-aortic balloon pump untuk pasien dengan tanda-tanda iskemia berat walaupun telah diberi obat secara intensif, atau bila ada gangguan hemodinamik.
Kelas IIb
1. Antagonis kalsium (extended release) sebagai pengganti penyekat beta.
2. Antagonis kalsium golongan dihidropirin bersama penyekat beta.
Kelas III
Dihidropirin immediate release bila tidak diberi penyekat beta.
Pemberian Obat Platelet Dan Antikoagulan
Rekomendasi untuk pengobatan anti platelet dan antikoagulan.
Kelas I
1. Obat anti platelet harus dimulai segera, ASA (aspirin) harus diberikan secepatnya setelah dibuat diagnosis dan diberikan untuk selamanya. (level of evidence A)
2. Klopidogrel harus diberikan pada pasien di rumah sakit yang tidak dapat diberi ASA karena hipersensitivitas dan gangguan gastrointestinal
3. Pada pasien di rumah sakit yang direncanakan untuk terapi secara non- intervensi, klopidogrel harus ditambahkan pada aspirin secepatnya dan diberikan untuk paling sedikit 1 bulan (A) dan dapat diberikan sampai 9 bulan (B).
4. Pada pasien yang direncanakan dilakukan Percutaneous Coronary Intervention
(PCI), klopidogrel diberikan secepatnya untuk paling sedikit 1 bulan (A) dan
dilanjutkan untuk 9 bulan pada pasien yang tidak mempunyai risiko tinggi untuk pendarahan.
5. Pada pasien yang akan mendapat klopidogrel di mana direncanakan akan dilakukan operasi jantung CABG, klopidogrel supaya dihentikan paling sedikit
5 sampai 7 hari.
6. Pemberian antikoagulan dengan Low Molecular Weight Heparin (LMWH) atau heparin yang biasa (unfraction heparin) harus ditambahkan pada pemberian ASA dan klopidogrel.
7. Inhibitor GP IIb/IIIa harus diberikan sebagai tambahan pada ASA dan heparin pada pasien yang direncanakanakan dilakukan penyadapan jantung dan tindakan PCI. Inhibitor GPIIB/IIA dapat diberikan sebelum penyedapan dilakukan.
Kelas IIa
1. Epitifibatide atau trofiban harus diberikan bersama ASA dan LMWH atau heparin, pada pasien dengan iskemia terus menerus, troponin meningkat atau tanda risiko tinggi lainnya, dimana tidak ada rencana tindakan invasif (A).
2. Enoksaparin lebih disukai dari heparin sebagai antikoagulan pada pasien dengan angina tak stabil atau miokard infark tanpa elevsi segmen ST kecuali pasien akan dilakukan CABG dalam waktu 24jam
3. Obat inhibitor glikoprotein IIb/IIIa inhibitor harus diberikan pada pasien yang sudah mendapat heparin, ASA dan klopidogrel, bila direncanakan tindakan angiografi dan PCI.
Kelas IIb
Eptifibatide atau tirofiban ditambahkan pada ASA dan heparin atau LMWH, untuk pasien tanpa iskemia terus menerus, dan tindakan ada tanda risiko tinggi, dan di mana tak ada rencana untuk PCI (A).
Kelas III
1. Pemberian obat fibrinolitik pada pasien tanpa elevasi segmen ST, left bundle branch block (LBBB), posterior infark (A).
2. Pemberian abciximab pada pasien di mana PCI tidak direncanakan.
Rekomendasi Tindakan Invasif
Kelas I
1. Tindakan invasif dini bila ada tanda-tanda risiko tinggi:
a. Adanya angina yang berulang pada waktu istirahat atau aktivitas yang sedikit saja, sedangkan pasien telah mendapat terapi yang intensif.
b. Troponin yang meningkat
c. Adanya depresi ST yang baru
d. Adanya angina berulang disertai tanda gagal jantung, dengan gallop, edema paru dan insufisiensi mitral yang bertambah buruk
e. Tanda risiko tinggi pada pemeriksaan non invasif f. Faal ventrikel kiri menurun
g. Hemodinamik tak stabil
h. Adanya ventrikel takikardial yang menetap i. PCI dalam waktu 6 bulan
j. Riwayat CABG sebelumnya
2. Tanpa adanya tanda tersebut baik tindakan konservatif ataupun invasif boleh dilakukan bila tak ada kontraindikasi
Kelas IIa
Tindakan invasif dini pada pasien dengan serangan SKA berulang walaupun telah mendapat terapi yang optimal dan tanpa tanda iskemia yang menetap atau tanda risiko lainnya
Kelas III
1. Angiografi koroner pada pasien dengan penyakit peserta yang luas,misalnya penyakit hati, gagal paru atau adanya keganasan,dimana risiko revaskularisasi tidak lebih besar dari keuntungan yang didapat.
2. Angiografi koroner pada pasien degan nyeri dada yang akut dan kemungkinan SKA kecil (level of evidece).
3. Angiografi koroner pada pasien yang tidak bersedia dilakukan tindakan revaskularisasi (level of evidence).
4. Rekomendasi untuk pemberian terapi waktu keluar dari rumah sakit.
Kelas I
1. Sebelum keluar dari rumah sakit harus diberikan dengan nasihat tentang obat-obat yang diperlukan,dosisnya,lamanya dan kemungkinan efek samping yang dapat timbul.
2. Obat-obat yang diberikan di rumah sakit terutama mereka yang tidak mengalami tindakan revaskularisasi, pasien yang tidak berhasil dilakukan revaskularisasi, atau pasien yang keluhan masih timbul walaupun telah dilakukan revaskularisasi (level of evidence:C).
3. Sebelum keluar dari rumah sakit, pasien sebaiknya diberi tahu mengenai keluhan bila mendapatserangan infark jantung akut dan bila dapat serangan supaya segera kembali ke rumah sakit. (level of evidence: C).
4. Semua pasien sebaiknya diberi obat nitrogliserin, untuk dipakai bila mendapat serangan angina (level of evidence:C).
5. Keluhan angina yang berlangsung lebih dari 2-3 menit pasien dianjurkan untuk menghentikan aktivitasnya dan diberi nitrogliserin, bila tidak berkurang dapat diulang beberapa kali, bila sakit dada lebih dari 20 menit sebaiknya dibawa ke rumah sakit.
6. Bila nyeri angina berubah misalnya nyeri dada lebih sering dan lebih berat nyerinya, timbul pada aktivitas yang ringan atau timbul nyeri pada waktu istirahat, paien harus segera menghubungi dokternya, untuk memastikan apakah perlu ada tambahan terapi atau pemeriksaan tambahan lain (level of evidence : C).
Terapi Medikamentosa Jangka Panjang
Rekomendasi
Kelas I
1. AS 75-325 mg/ hari bila tak ada kontraindikasi. (level ofevidence: A).
2. Klopidogrel 75 mg/hari pada pasien yang tidak dapat menerima ASA. (level of evidence: B).
3. Penyekat beta bila tak ada kontraindikasi (level of evidence: B).
4. Obat penurun lemak dan diet pada pasien pasca SKA termasuk pasen pasca tindakan revaskularisasi dengan LDL-C setelah diet lebih dari 100 mg%. (level of evidence: C).
5. Penghambat ACE untuk pasien dengan gagal jantung, faal ventrikel kiri terganggu (EFE< 40%), hipertensi, atau diabetes. (level of evidence : A).
Modifikasi Faktor Risiko
Rekomendasi
Kelas I
1. Instruksi untuk hal-al seperti tersebut di bawah ini:
a. Menghentkan kebiasaan merokok dan menjaga berat badan, exercise dan diet.
b. HMG-CoA reductase inhibitor untuk LDL kolesterol di atas 130 mg% (A)
c. Obat penurun lemak bila setelah diet LDL masih di atas 100mg % (B)
d. Fibrat dan niasin bila HDL-C lebih rendah dari 40 mg% (A)
e. Kontrol hipertensi sampai kurang dari 130/85 mm Hg f. Kontrol hiperglikemia pada diabetes (B)
2. Pertimbangan untuk mengirim pasien dengan kebiasaan merokok ke klinik rehabilitasi
Kelas IIa
1. HMG-Coa reductase inhibitor dan diet untuk LDL lebih dari 100 mg% dimulai
24-96 jam setelah pasien masuk rumah sakit dan dilanjutkan sampai pasien keluar dari rumah sakit (B)
2. Gemfibrozil atau niasin untuk pasiendengan HDL kolesterol kurang dari 40 mg% dan trigliserida lebih dari 200 mg% (B).
BAB VII DAFTAR PUSTAKA
(1) Bertrand ME Simoons ML Fox KAA Wallentin LC et al . Management Of Acute Coronary Syndrome In Patiens Presenting Without Persistent St Segmen Elevation . European Heart Journal 2002; 23: 1406 – 1432, 1809-
1840
(2) Braunwald E Antman EM Heasky JW et al. ACC/AHA Guidelline Update For The Management Of Patiens With Unstable Angina And Non St Segmen Elevation Myocardial Infarction 2002, Summary Article : A Report Of The American Heart Association Task Force On Practice Guidelines ( Committee On The Management Of Patiens With Unstable Angina ). Circulation 2002; 106: 1893-1900, 1193 – 1209
(3) Cipolle RJ, Strand LM, and Mooorley PC. Pharmaceutical Care Practice, McGraw-Hill, 1998, p. 82-83
(4) Circulation: www.circulationaha.org
(5) Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2001: Menuju
Indonesia Sehat 2010. Jakarta, 2002.
(6) Falk E, Shah PK, Fuster V. Coronary Plaque Disruption. Circulation
1995;92: 657-671
(7) Freek W A Verheugt. Acute Coronary Syndromes: Drug Treatments. Lancet
1999;353 (suppl II): 20-23
(8) HOPE (The Outcomes Prevention Evaluation) Study Investigator-Effects Of An Angiotensin-Converting-Enzyme Inhibitor, Ramipril On Cardiovascular Event In High-Risk Patien. N Engl J Med 2000; 342: 145-153
(9) ISIS-2 (Second International Study of Infarct Survival) Collaborative Group.
Randomized Trial Of Intravenous Streptokinase, Oral Aspirin, Both, Or Neither Among 17.187 Case Of Suspected Acute Myocardial Infarction: ISSI-2. Lancet 1998; 2: 349-360
(10) John P. Rover, Jay D. Currie, et al. A Practical Guide to Pharmaceutical
Care. AphA Washinton, D.C. 1998.
(11) Kaul S, and Shah PK. Low Molecular Weight Heparin In Acute Coronary Syndrome: Evidence For Superior Or Equivalent Efficacy Compared With Unfractionated Heparin. J Am Coll Cardiol 2000; 35: 1699-1712
(12) Klootwijk P, Hamm C. Acute Coronary Syndromes: diagnosis. Lancet 1999;
353 (suppl II): 10-15
(13) Libby P, Ridker PM, Maseri An Inflammation and Atherosclerosis.
Circulation 2002; 101 :135-143
(14) Libby, P. Current Concepts Of The Pathogenesis Of The Acute Coronary
Syndromes. Circulation 2001;104:365-372.
(15) Libby P. Molecular Basis Of The Acute Coronary Syndromes. Circulation
1995 ; 91 : 2844-2850
(16) Maarten L Simoons, Eric Boersma, Coen van der Zwan, Jaap W Deckers.
The Challenge Of Acute Coronary Syndromes. Lancet 1999; 353 (suppl
II):1-4.
(17) Maron DJ. Fazio S, and Linton MR. Current Perspectives On Statins.
Circulation 2000; 101: 207-213
(18) MIMS Cardiovascular Guide. Indonesia 2003/2004. MediMedia Asia Pte Ltd
2003. World Health Organization. World Health Report 2002: Reducing
Risk, Promoting Healthy Life. Geneva, 2002
(19) Mismetti P, Laporte S. Et al. Meta-Analysis Of Low Molecular Weight Heparin In The Prevention Of Venous Tromboembolism In General Surgery. British Journal of Surgery 2001; 88: 913-930World Health Organization. Cardiovascular Diseases: Prevention And Control. Geneva, 2001.
(20) Mourad ES. Role Of Low-Molecular-Weight Heparin In The Management Of Patients With Unstable Angina Pectoris And Non Q-Wave Acute Myocardial Infarction. Am J Ccardiol 2000; 85: 2C-9C
(21) Opie LH, and White HD. Nitrates, In: Drugs For The Heart. Editor: Opie Lh, And Gersh Bj, Fifth Edition, WB Saunders, Philadelphia. 2001. p.33-52
(22) Pierre Theroux, James T. Willerson, and Paul W. Amstrong. Progress In The Treatment Of Acute Coronary Syndromes: A 50-Year Perspective (1950-2000). Circulation 2000; 102 (suppl IV): IV-14 – IV-23
(23) Ridker PM. Role of Inflammation In The Development Of Atherosclerosis.
Implications For Clinical Medicine. Eur Heart J 2000;2 (suppl D): D57- D59World Health Organization. Global Strategy On Diet, Physical Activity And Health: Cardiovascular disease (CVD). Geneva, 2003
(24) Russel Ross. Arherosclerosis-An inflammatory disease. N Engl J Med 1999;
340: 115-126
(25) Scandinavian Simvastatin Survival Study Group : Randomized Trial Of Cholesterol Lowering In 4444 Patients With Coronary Heart Disease: The Scandinavian Simvastatin Survival Study (4S). Lancet 1994; 344: 1383-
1389.
(26) Tata Laksana Sindrom Koroner Akut Tanpa ST-Elevasi. Pedoman
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2004
(27) Turpie AGG, Antman EM. Low-Molecular-Weight Heparin In The Treatment
Of Acute Coronary Syndrome. Arch Intern Med 2001; 101: 1484-1490
(28) World Health Organization. Reduction of Cardiovascular Burden Through Cost-Effective Inegrated Management Of Comprehensive Cardiovascular Risk. Geneva, 2002
(29) Yeghiazarians Y, Braunstein BJ, Askari A, et al. Unstable angina pectoris. N Engl J Med 2000; 342:101-114
No comments:
Post a Comment