Search This Blog

Monday 27 June 2011

PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER : FOKUS SINDROM KORONER AKUT


PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER : FOKUS SINDROM KORONER AKUT

BAB I

PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang

Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini merupakan salah satu penyebab utama dan pertama kematian di negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia. Pada tahun 2010, secara global penyakit ini akan  menjadi  penyebab  kematian  pertama  di  negara  berkembang, menggantikan kematian akibat infeksi. Diperkirakan bahwa diseluruh dunia, PJK pada tahun 2020 menjadi pembunuh pertama tersering yakni sebesar 36% dari seluruh  kematian,  angka  ini  dua  kali  lebih  tinggi  dari  angka  kematian  akibat kanker.  Di  Indonesia  dilaporkan  PJK  (yang  dikelompokkan  menjadi  penyakit sistem   sirkulasi)   merupakan   penyebab   utama   dan   pertama   dari   seluruh kematian, yakni sebesar 26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang disebabkan oleh kanker (6%). Dengan kata lain, lebih kurang satu diantara empat orang yang meninggal di Indonesia adalah akibat PJK. Berbagai faktor   risiko   mempunyai   peran   penting   timbulnya   PJK   mulai   dari   aspek metabolik,  hemostasis,  imunologi,  infeksi,  dan  banyak  faktor  lain  yang  saling terkait.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan satu dari tiga orang di seluruh dunia pada tahun 2001, meninggal karena penyakit kardiovaskular. Sementara, sepertiga  dari seluruh populasi  dunia saat ini berisiko tinggi untuk mengalami major cardiovascular events. Pada tahun yang sama, WHO mencatat sekitar 17 juta orang meninggal karena penyakit ini dan melaporkan bahwa sekitar 32 juta orang  mengalami  serangan  jantung  dan  stroke  setiap  tahunnya.  Diperkirakan pada tahun 2001 di seluruh dunia terjadi satu serangan jantung setiap 4 detik dan  satu  stroke  setiap  5  detik.  Dilaporkan  juga,  pada  tahun  2001  tercatat penyakit kardiovaskular lebih banyak menyerang wanita dibanding pria, yang sebelumnya penyakit kardiovaskular lebih banyak menyerang para pria.
Perkembangan  terkini  memperlihatkan,  penyakit  kardiovaskular  telah  menjadi suatu epidemi global yang tidak membedakan  pria maupun wanita, serta tidak mengenal batas geografis dan sosio-ekonomis.

Sindrom  Koroner  Akut  (SKA)  adalah  salah  satu  manifestasi  klinis  Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang  utama dan paling sering mengakibatkan kematian. SKA  menyebabkan  angka  perawatan  rumah  sakit  yang  sangat  besar  dalam tahun 2003 di Pusat Jantung Nasional dan merupakan masalah utama saat ini.

SKA, merupakan  PJK yang progresif dan pada perjalanan penyakitnya,  sering terjadi  perubahan  secara  tiba-tiba  dari  keadaan  stabil  menjadi  keadaan  tidak stabil  atau  akut.  Mekanisme  terjadinya  SKA  adalah  disebabkan  oleh  karena proses  pengurangan  pasokan  oksigen  akut  atau  subakut  dari  miokard,  yang dipicu  oleh adanya  robekan  plak aterosklerotik  dan berkaitan  dengan  adanya proses  inflamasi,  trombosis,  vasokonstriksi  dan  mikroembolisasi.  Manifestasi klinis SKA dapat berupa angina pektoris tidak stabil/APTS, Non-ST elevation myocardial infarction / NSTEMI, atau ST elevation myocardial infarction / STEMI. SKA merupakan suatu keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis berupa keluhan perasaan tidak enak atau nyeri di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard. Pasien APTS dan NSTEMI harus istirahat  di ICCU dengan pemantauan EKG kontinu untuk mendeteksi iskemia dan aritmia.

Paradigma pengobatan  atau strategi terapi medis penderita SKA berubah dan mengalami kemajuan pesat dengan adanya hasil-hasil penelitian mengenai patogenesis SKA dan petunjuk-petunjuk penatalaksanaan baru. Kemajuan pesat dalam terapi medis tersebut mencakup terapi untuk mengendalikan faktor risiko (terpenting  statin  untuk  dislipidemia,  obat  antihipertensi  terutama  obat  ACE-I, obat penghambat reseptor A-II), obat-obat baru antitrombotik, gagal jantung, dan aritmia.

Berbagai  pedoman  dan  standar  terapi  telah  dibuat  untuk  penatalaksanaan penderita SKA. Agar   standar dan strategi pengobatan  serta penatalaksanaan pasien SKA berlangsung secara optimal, efektif dan efisien sesuai dengan pedoman atau standar terapi yang telah ditetapkan, maka perlu adanya suatu
sistem   dan/atau   mekanisme   yang   secara   terus   menerus   memonitor   dan memantau terapi obat yang diterima pasien.

Hal tersebut di atas menunjukkan, penatalaksanaan PJK memerlukan suatu pendekatan yang holistik, baik dalam upaya pencegahan maupun pengobatan. Serta  pelayanan   yang  terpadu  dan  berkelanjutan   antara  sistem  dan  atau subsistem pelayan yang terdapat disuatu rumah sakit seperti aspek Pelayanan Medik (Medical Care), Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care), dan Asuhan Keperawatan  (Nursing  Care).  Untuk  itulah  perlu  adanya  bekal  pengetahuan praktis  yang  cukup  bagi  apoteker  untuk  dapat  berperan  dalam  menangani pasien-pasien PJK dengan baik dari sisi kefarmasian bersama-sama dengan tim kesehatan  lainnya.  Pengetahuan  praktis  seperti  itu  perlu  diperbaharui  secara terus menerus sesuai dengan perkembangan ilmu kefarmasian dan kedokteran.

Pelaksanaan secara optimal Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) dalam penatalaksanaan  pasien  PJK, yang meliputi  manajemen  DRPs  adalah  pilihan yang tepat dan strategis. Dalam upaya menunjang klinisi bekerjasama untuk mencapai   dan   menjamin   proses   terapi   medis   yang   optimal   atau   proses pengobatan  berjalan  sesuai  dengan  standar  pelayanan  profesi  dan  kode  etik yang telah ditetapkan.

Manajemen DRPs adalah suatu proses yang meliputi semua fungsi yang perlu untuk  menjamin  terapi  obat kepada  pasien  yang  aman,  afektif  dan ekonomis yang dilaksanakan  secara terus menerus. Manajemen  DRPs terdiri dari fungsi utamanya  adalah:  mengidentifikasi  masalah-masalah  yang  berkaitan  dengan DRPs baik yang potensial maupun aktual, mengatasi DRPs yang aktual dan mencegah  terjadinya  DRPs  yang  potensial.  Implikasi  dari  manajemen  DRPs terjadi optimalisasi peran apoteker dalam proses sakit dan sehatnya seorang pasien. Terjalin atau terciptanya komunikasi antara apoteker dengan penderita serta dengan anggota tim perawatan  kesehatan  pasien, yang kesemuanya  ini adalah semata-mata bagi kepentingan vital pasien. Penekanan kepentingan ini direfleksikan dalam komunikasi bersama.
1.2. Tujuan

1.2.1. Umum

Meningkatkan mutu atau kualitas pelayanan pengobatan atau kesehatan pasien penyakit jantung koroner umumnya dan SKA khususnya dalam rangka meningkatkan  kepuasan pasien sebagai penerima jasa pelayanan pengobatan atau kesehatan yang dilaksanakan secara profesional.

1.2.2. Khusus

1.  Tersedianya  buku  Pedoman  Asuhan  Kefarmasian  bagi  pasien  PJK

khususnya pasien SKA secara lengkap dan praktis .

2.  Panduan  apoteker  dalam  melakukan/melaksanakan  kegiatan  Asuhan

Kefarmasian (Pharmaceutical Care) pada pasien SKA

3.  Memastikan   proses   penatalaksanaan   pasien   SKA   berjalan   sesuai seperti pedoman yang telah ditetapkan dan disepakati.
4. Melaksanakan manajemen DRPs terhadap pasien SKA yang sedang dirawat.
5. Memberi pengetahuan dan atau penyuluhan pada pasien tentang mekanisme dasar PJK dan rasionalitas pengobatannya.
6.  Untuk   mendukung   dan   mempertahankan   pola   hidup   sehat   dan mendorong pasien untuk memodifikasi faktor risiko serta memiliki rasa percaya diri dan optimisme.

1.3. Sasaran

Apoteker yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan
BAB II

SINDROM KORONER AKUT

2.1. Definisi

Sindrom   Koroner   Akut   (SKA)   adalah   suatu   istilah   atau   terminologi   yang digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA), infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST   elevation   myocardial    infarction/    NSTEMI),    dan   infark   miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardial infarction/STEMI) (Gambar 1). APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui petanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T,  atau  CK-MB)  maka  diagnosis  adalah  NSTEMI;  sedangkan  bila  petanda biokimia ini tidak meninggi, maka diagnosis adalah APTS.

Pada APTS dan NSTEMI pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total/ oklusi tidak total (patency), sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, trombosis dan vasokonstriksi. Penentuan troponin I/T ciri paling sensitif dan spesifik untuk nekrose miosit dan penentuan patogenesis dan alur pengobatannya.  Sedang kebutuhan  miokard  tetap dipengaruhi  obat-obat  yang bekerja terhadap kerja jantung, beban akhir, status inotropik, beban awal untuk mengurangi  konsumsi  O2  miokard.  APTS dan NSTEMI  merupakan  SKA yang ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard. Penyebab utama adalah stenosis koroner akibat trombus non-oklusif yang terjadi pada plak aterosklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau ruptur.

Sindrom Koroner Akut





Tanpa elevasi segmen ST                             Elevasi segment ST




NSTEMI                                               STEMI





APTS


IMAnQ                                IMAQ


INFARK MIOKARD



Gambar 1. Spektrum Sindrom Koroner Akut




Ketiga jenis kejadian koroner itu sesungguhnya merupakan suatu proses berjenjang:  dari fenomena  yang ringan sampai  yang terberat.  Dan jenjang  itu terutama dipengaruhi oleh kolateralisasi, tingkat oklusinya, akut tidaknya dan lamanya iskemia miokard berlangsung. Pada panduan ini pembahasan lebih difokuskan  pada  permasalahan  tentang  2  bagian  dari  sindrom  ini:  Angina pektoris tidak stabil (APTS) dan NSTEMI.
2.2. PATOGENESIS SKA

SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari PJK akibat utama dari proses  aterotrombosis  selain  stroke  iskemik  serta  peripheral  arterial  disease (PAD).  Aterotrombosis  merupakan  suatu penyakit  kronik  dengan  proses  yang sangat komplek dan multifaktor serta saling terkait.


Aterotrombosis  terdiri  dari  aterosklerosis  dan  trombosis.  Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak (plak aterosklerotik) akibat akumulasi beberapa   bahan   seperti   lipid-filled    macrophages    (foam   cells),   massive extracellular lipid dan plak fibrous yang mengandung sel otot polos dan kolagen. Perkembangan terkini menjelaskan aterosklerosis adalah suatu proses inflamasi/infeksi, dimana awalnya ditandai dengan adanya kelainan dini pada lapisan endotel, pembentukan  sel busa dan fatty streks, pembentukan  fibrous cups dan lesi lebih lanjut, dan proses pecahnya plak aterosklerotik  yang tidak stabil.


Banyak   sekali   penelitian   yang   membuktikan   bahwa   inflamasi   memegang peranan penting dalam proses terjadinya aterosklerosis. Pada penyakit jantung koroner inflamasi dimulai dari pembentukan awal plak hingga terjadinya ketidakstabilan plak yang akhirnya mengakibatkan terjadinya ruptur plak dan trombosis pada SKA.


Perjalanan proses aterosklerosis (initiation, progression dan complication pada plak aterosklerotik), secara bertahap berjalan dari sejak usia muda bahkan dikatakan juga sejak usia anak-anak sudah terbentuk bercak-bercak garis lemak (fatty streaks) pada permukaan lapis dalam pembuluh darah, dan lambat-laun pada usia tua dapat berkembang menjadi bercak sklerosis (plak atau kerak pada pembuluh darah) sehingga terjadinya penyempitan dan/atau penyumbatan pembuluh   darah.   Kalau   plak   tadi   pecah,   robek   atau   terjadi   perdarahan subendotel, mulailah proses trombogenik, yang menyumbat sebagian atau keseluruhan   suatu   pembuluh   koroner.   Pada   saat  inilah   muncul   berbagai presentasi  klinik  seperti  angina  atau infark miokard.  Proses  aterosklerosis  ini dapat  stabil,  tetapi  dapat  juga  tidak  stabil  atau  progresif.  Konsekuensi  yang
dapat menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis yang bersifat tidak

stabil /progresif yang dikenal juga dengan SKA (Gambar 2 ).




Gambar 2. Perjalanan Proses Aterosklerosis (Initiation, Progression dan
Complication) Pada Plak Aterosklerosis



Sedangkan trombosis merupakan proses pembentukan atau adanya darah beku yang terdapat di dalam pembuluh darah atau kavitas jantung. Ada dua macam trombosis, yaitu trombosis arterial (trombus putih) yang ditemukan pada arteri, dimana pada trombus tersebut ditemukan lebih banyak platelet, dan trombosis vena (trombus merah) yang ditemukan pada pembuluh darah vena dan mengandung lebih banyak sel darah merah dan lebih sedikit platelet. Komponen- komponen  yang  berperan  dalam  proses  trombosis  adalah  dinding  pembuluh darah, aliran darah dan darah sendiri yang mencakup platelet, sistem koagulasi, sistem fibrinolitik, dan antikoagulan alamiah.


Patogenesis terkini SKA menjelaskan, SKA disebabkan oleh obstruksi dan oklusi trombotik  pembuluh  darah  koroner,  yang  disebabkan  oleh  plak  aterosklerosis yang vulnerable mengalami erosi, fisur, atau ruptur. Penyebab utama SKA yang dipicu  oleh  erosi,   fisur,  atau  rupturnya   plak  aterosklerotik   adalah   karena terdapatnya  kondisi  plak  aterosklerotik  yang  tidak  stabil  (vulnerable atherosclerotic plaques) dengan karakteristik; lipid core besar, fibrous cups tipis, dan bahu plak (shoulder  region of the plague) penuh dengan aktivitas sel-sel inflamasi  seperti  sel limfosit  T dan  lain-lain  (Gambar  3).  Tebalnya  plak  yang
dapat dilihat dengan persentase  penyempitan  pembuluh koroner pada pemeriksaan  angiografi  koroner  tidak  berarti  apa-apa  selama  plak  tersebut dalam keadaan stabil. Dengan kata lain, risiko terjadinya ruptur pada plak aterosklerosis bukan ditentukan oleh besarnya plak (derajat penyempitan) tetapi
oleh kerentanan (vulnerability) plak.


Gambar 3. Karakteristik plak yang rentan/tidak stabil (vulnerable)


Erosi, fisur, atau ruptur plak aterosklerosis (yang sudah ada dalam dinding arteri koronaria) mengeluarkan  zat vasoaktif (kolagen, inti lipid, makrofag dan tissue factor) ke dalam aliran darah, merangsang agregasi dan adhesi trombosit serta pembentukan fibrin, membentuk trombus atau proses trombosis. Trombus yang terbentuk dapat menyebabkan oklusi koroner total atau subtotal. Oklusi koroner berat yang terjadi akibat erosi atau ruptur pada plak aterosklerosis yang relatif kecil   akan   menyebabkan   angina   pektoris   tidak   stabil   dan   tidak   sampai menimbulkan  kematian  jaringan.  Trombus  biasanya  transien/labil  dan menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 10–20 menit (Tabel 1).


Bila oklusi menyebabkan  kematian  jaringan  tetapi dapat diatasi  oleh kolateral atau  lisis  trombus  yang  cepat  (spontan  atau  oleh  tindakan  trombolisis)  maka akan timbul  NSTEMI  (tidak merusak  seluruh  lapisan  miokard).  Trombus  yang terjadi  lebih  persisten  dan  berlangsung  sampai  lebih  dari  1  jam.  Bila  oklusi menetap   dan  tidak  dikompesasi   oleh  kolateral   maka  keseluruhan   lapisan miokard  mengalami  nekrosis  (Q-wave  infarction),  atau  dikenal  juga  dengan STEMI. Trombus yang terbentuk bersifat fixed dan persisten yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung lebih dari 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural.
NO          MANIFESTASI KLINIK  SKA                        PATOGENESIS

1       ANGINA PEKTORIS TIDAK STABIL
 Pada  angina  pektoris  tidak  stabil terjadi erosi atau fisur pada plak aterosklerosis   yang   relatif   kecil dan menimbulkan oklusi trombus yang transien. Trombus biasanya labil dan menyebabkan oklusi sementara      yang     berlangsung
antara 10-20 menit

2       NSTEMI

(Non-ST      Elevation       Myocardial Pada NSTEMI
Infarction)
 Pada NSTEMI kerusakan pada plak lebih berat dan menimbulkan oklusi yang lebih persisten dan berlangsung sampai lebih dari 1 jam. Pada kurang lebih ¼ pasien NSTEMI, terjadi oklusi trombus yang berlangsung lebih dari 1 jam, tetapi distal dari penyumbatan terdapat koleteral. Trombolisis spontan, resolusi vasikonstriksi dan koleteral memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya STEMI

3       STEMI

(ST Elevation Myocardial Infarction)

Pada STEMI   disrupsi plak terjadi pada daerah yang lebih besar dan menyebabkan  terbentuknya trombus yang fixed dan persisten yang  menyebabkan  perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang   berlangsung   lebih   dari   1 (satu)    jam    dan    menyebabkan
nekrosis miokard transmural


Tabel 1 . Patogenesis Pada Berbagai Manifestasi Klinik SKA
Sekarang  semakin  diyakini  dan  lebih  jelas  bahwa  trombosis  adalah  sebagai dasar mekanisme terjadinya SKA, trombosis pada pembuluh koroner terutama disebabkan  oleh  pecahnya  vulnerable  plak  aterosklerotik  akibat  fibrous  cups yang tadinya bersifat protektif menjadi tipis, retak dan pecah. Fibrous cups bukan merupakan  lapisan  yang  statik,  tetapi  selalu  mengalami  remodeling  akibat aktivitas-aktivitas metabolik, disfungsi endotel, peran sel-sel inflamasi, gangguan matriks  ekstraselular  atau  extra-cellular  matrix  (ECM)  akibat  aktivitas  matrix metallo  proteinases  (MMPs)  yang  menghambat   pembentukan   kolagen  dan aktivitas inflammatory cytokines.


Perkembangan terkini menjelaskan dan menetapkan bahwa proses inflamasi memegang peran yang sangat menentukan dalam proses poto-biologis SKA, dimana  vulnerabilitas  plak  sangat  ditentukan  oleh  proses  inflamasi.  Inflamasi dapat bersifat lokal (pada plak itu sendiri) dan dapat bersifat sistemik. Inflamasi juga dapat  mengganggu  keseimbangan  homeostatik.  Pada  keadaan  inflamasi terdapat peninggian konsentrasi fibrinogen dan inhibitor aktivator plasminogen di dalam sirkulasi. Inflamasi juga dapat menyebabkan vasospasme pada pembuluh darah karena tergganggunya aliran darah.


Vasokonstriksi  pembuluh  darah  koroner  juga  ikut  berperan  pada  patogenesis SKA.  Vasokonstriksi  terjadi  sebagai  respon  terhadap  disfungsi  endotel  ringan dekat lesi atau sebagai respon terhadap disrupsi plak dari lesi itu sendiri. Endotel berfungsi mengatur tonus vaskular dengan mengeluarkan faktor relaksasi yaitu nitrit oksida  (NO)  yang  dikenal  sebagai  Endothelium  Derived  Relaxing  Factor (EDRF),  prostasiklin,  dan faktor kontraksi  seperti  endotelin-1,  tromboksan  A2, prostaglandin  H2. Pada  disfungsi  endotel,  faktor  kontraksi  lebih dominan  dari pada  faktor  relaksasi.  Pada  plak  yang  mengalami  disrupsi  terjadi  platelet dependent vasocontriction yang diperantarai oleh serotonin dan tromboksan A2, dan thrombin dependent vasoconstriction diduga akibat interaksi langsung antara zat tersebut dengan sel otot polos pembuluh darah.


Perhimpunan   Dokter   Spesialis   Kardiovaskular   Indonesia   dalam   Pedoman tentang Tata Laksana Sindrom Koroner Akut Tanpa ST-ELEVASI (2004) menjelaskan  tentang patogenesis SKA, secara garis besar ada lima penyebab
yang  tidak  terpisah  satu  sama  lain  (Tabel  2).  Dengan  kata  lain  penyebab- penyebab tersebut tidak berdiri sendiri, beberapa pasien mempunyai lebih dari dua penyebab.
NO   PENYEBAB APST/NSTEMI

1.    Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada

2.    Obstruksi dinamik (spasme koroner atau vasokonstriksi)

3.    Obstruksi mekanik yang progresif

4.    Inflamasi dan atau infeksi

5.    Faktor atau keadaan pencetus


Tabel 2. Penyebab APTS/NSTEMI


Dalam empat penyebab  pertama,  ketidakseimbangan  oksigen terjadi terutama oleh  karena  suplai  oksigen  ke  miokard  yang  berkurang,  sedangkan  pada penyebab ke lima adalah ketidakseimbangan terutama akibat meningkatnya kebutuhan oksigen miokard, biasanya disertai adanya keadaan kekurangan pasokan oksigen yang menetap.


2.2.1. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada

Penyebab  paling  sering  SKA  adalah  penurunan  perfusi  miokard  oleh karena penyempitan arteri koroner sebagai akibat dari trombus yang  ada pada plak aterosklerosis yang robek/pecah dan biasanya tidak sampai menyumbat.  Mikroemboli  (emboli  kecil)  dari agregasi  trombosit  beserta komponennya  dari plak yang ruptur, yang mengakibatkan  infark kecil di distal, merupakan penyebab keluarnya petanda kerusakan miokard pada banyak pasien.


2.2.2. Obstruksi dinamik

Penyebab yang agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang mungkin diakibatkan  oleh spasme fokal yang terus menerus pada segmen arteri koroner epikardium (angina prinzmetal). Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot polos pembuluh darah dan/atau akibat disfungsi endotel. Obstruksi dinamik koroner dapat juga diakibatkan oleh konstriksi abnormal pada pembuluh darah yang lebih kecil.
2.2.3. Obstruksi mekanik yang progresif

Penyebab  ke  tiga  SKA  adalah  penyempitan  yang  hebat  namun  bukan karena spasme atau trombus. Hal ini terjadi pada sejumlah pasien dengan aterosklerosis progresif atau dengan stenosis ulang setelah intervensi koroner perkutan (PCI).


2.2.4.  Inflamasi dan/atau infeksi

Penyebab ke empat adalah inflamasi, disebabkan oleh/yang berhubungan dengan infeksi, yang mungkin menyebabkan penyempitan arteri, destabilisasi  plak, ruptur dan trombogenesis.  Makrofag dan limfosit-T di dinding plak meningkatkan ekspresi enzim seperti metaloproteinase, yang dapat  mengakibatkan  penipisan  dan  ruptur  plak,  sehingga  selanjutnya dapat mengakibatkan SKA.


2.2.5. Faktor atau keadaan pencetus

Penyebab  ke  lima  adalah  SKA  yang  merupakan  akibat  sekunder  dari kondisi  pencetus  diluar  arteri  koroner.  Pada  pasien  ini  ada  penyebab berupa  penyempitan   arteri  koroner  yang  mengakibatkan   terbatasnya perfusi  miokard,  dan  mereka  biasanya  menderita  angina  stabil  yang kronik. SKA jenis ini antara lain karena :
•     Peningkatan  kebutuhan  oksigen  miokard,  seperti  demam,  takikardi dan tirotoksikosis
•     Berkurangnya aliran darah koroner

•     Berkurangnya  pasokan  oksigen miokard,  seperti pada anemia dan hipoksemia.
Kelima  penyebab  SKA  di  atas  tidak  sepenuhnya  berdiri  sendiri  dan banyak terjadi tumpang tindih. Dengan kata lain tiap penderita mempunyai lebih dari satu penyebab dan saling terkait.
2.3.     DIAGNOSIS

2.3.1.  Riwayat/ Anamnesis

Diagnosa adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat dan tepat dan didasarkan pada tiga kriteria, yaitu; gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran EKG (elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari enzim jantung.


Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien SKA. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada  merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan SKA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan  dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien SKA.

Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut :

•   Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial

•   Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
•   Penjalaran      ke      :      leher,      lengan      kiri,      mandibula,      gigi, punggung/interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.
•   Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat

•   Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan
•   Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan lemas.


Berat     ringannya  nyeri  bervariasi.  Sulit  untuk  membedakan   antara  gejala

APTS/NSTEMI dan STEMI.


Pada  beberapa  pasien  dapat  ditemukan  tanda-tanda  gagal ventrikel  kiri akut. Gejala yang tidak tipikal seperti rasa lelah yang tidak jelas, nafas pendek, rasa tidak nyaman di epigastrium atau mual dan muntah dapat terjadi, terutama pada wanita, penderita diabetes dan pasien lanjut usia. Kecurigaan harus lebih besar pada  pasien  dengan  faktor  risiko  kardiovaskular  multipel  dengan  tujuan  agar tidak terjadi kesalahan diagnosis.

NO          PATOGENESIS                               PENAMPILAN KLINIS UMUM

Angina saat istirahat      Angina terjadi saat istirahat dan terus menerus, biasanya
1
lebih dari 20 menit

2       Angina pertama kali      Angina yang pertama kali terjadi, setidaknya CCS Kelas III*

Angina yang
3
meningkat
Angina semakin lama makin sering, semakin lama waktunya atau lebih mudah tercetus


Tabel 3. Tiga Penampilan Klinis Umum


* Klasifikasi AP dari CCS classification



2.3.2. Pemeriksaan Fisik

Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari APTS/NSTEMI.  Hipertensi tak terkontrol, anemia, tirotoksikosis, stenosis aorta berat, kardiomiopati hipertropik dan kondisi lain, seperti penyakit paru.

Keadaan  disfungsi  ventrikel  kiri (hipotensi,  ronki dan gallop  S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan   bahwa  pasien  memiliki  kemungkinan  juga  penderita  penyakit jantung koroner (PJK).


2.3.3.  Elektrokardiografi

EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis. Rekaman yang dilakukan saat  sedang  nyeri  dada  sangat  bermanfaat.  Gambaran  diagnosis  dari  EKG adalah :
1.  Depresi segmen ST > 0,05 mV

2.  Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inversi gelombang T yang simetris di sandapan prekordial
Perubahan  EKG  lainnya  termasuk  bundle  branch  block  (BBB)  dan  aritmia jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan adanya perubahan segmen ST. Namun EKG yang normal pun tidak menyingkirkan diagnosis APTS/NSTEMI
Pemeriksaaan   EKG  12  sadapan   pada  pasien  SKA  dapat  mengambarkan kelainan yang terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk evaluasi lebih lanjut, dengan berbagai ciri dan katagori:
•   Angina pektoris  tidak stabil: depresi segmen  ST dengan atau tanpa inversi  gelombang  T,  kadang-kadang  elevasi  segmen  ST  sewaktu nyeri, tidak dijumpai gelombang Q.
•   Infark miokard  non-Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam

...............................



2.3.4.  Petanda Biokimia Jantung

Petanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dari pada CKMB. Troponin C, TnI dan TnT berkaitan dengan konstraksi dari sel miokrad. Susunan asam amino dari Troponin C sama dengan sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada TnI dan TnT berbeda. Nilai prognostik dari TnI atau TnT untuk memprediksi risiko kematian, infark miokard dan kebutuhan  revaskularisasi  dalam 30 hari, adalah sama. Kemampuan  dan nilai dari masing-masing petanda jantung dapat dilihat pada Tabel 4.

Kadar serum creatinine kinase (CK) dan fraksi MB merupakan indikator penting dari nekrosis miokard. Keterbatasan utama dari kedua petanda tersebut adalah relative rendahnya spesifikasi dan sensitivitas saat awal (<6 jam) setelah onset serangan. Risiko   yang lebih buruk pada pasien tnpa segment ST elevasi lebih besar pada pasien dengan peningkatan nilai CKMB.




PETANDA LABORATORIUM

Troponin Jantung
 KEUNGGULAN
9 Modalitas    yang    kuat    untuk stratifikasi risiko
9 Sensitivitas dan spesitifitas yang lebih baik dari CKMB
9 Deteksi serangan infark miokard sampai dengan 2 minggu setelah terjadi
9 Bermanfaat       untuk       seleksi pengobatan
9 Deteksi reperfusi
  KEKURANGAN
9 Kurang sensitif pada awal terjadinya serangan (onset <6 jam) dan membutuhkan penilaian ulang pada 6-12 jam, jika hasil negatif.
9 Kemampuan    yang terbatas untuk mendeteksi infark ulangan yang terlambat

REKOMENDASI KLINIK

Tes yang bermanfaat      untuk mendiagnosis kerusakan  miokard, dimana klinisi harus membiasakan     diri dengan
keterbatasan penggunaan     pada laboratorium RS nya masing-masing

CK-MB              
 KEUNGGULAN
9 Cepat, efisiensi biaya dan tepat

9 Dapat mendeteksi awal infark
 KEKURANGAN
9 Kehilangan

spesifitas pada penyakit  otot jantung dan kerusakan otot miokard akibat bedah
9 Kehilangan     sensi- tifitas saat awal infark  miokard akut (onset < 6 jam) atau sesudahnya setelah onset (36 jam) dan untuk  kerusakan otot jantung minor (terdeteksi dengan troponin)

REKOMENDASI KLINIK

Standar  yang berlaku dan masih dapat diterima sebagai tes diagnostik pada sebagaian besar kondisi




Mioglobin        
 KEUNGGULAN
 9 Sensitifitas tinggi

9 Bermanfaat  untuk  deteksi  awal infark miokard
9 Deteksi reperfusi

9 Sangat      bermanfaat      dalam menilai infark miokard
 KEKURANGAN
9 Spesifitas          yang rendah  dalam menilai kerusakan dan penyakit otot rangka
9 Penurunan        yang cepat  ke  nilai normal,   sensitif untuk kejadian yang terlambat (normal kembali    dalam    6
jam)

REKOMENDASI KLINIK

Tidak digunakan sebagai satu- satunya petanda diagnostik karena kelemahan pada spesifitas jantung


Tabel 4. Petanda Biokimia Jantung Untuk Evaluasi dan Tatalaksana SKA tanpa Elevasi Segmen ST





Meskipun  mioglobin  tidak  spesifikasi  untuk  jantung,  tapi  memiliki    sensitifitas yang tinggi. Dapat terdeteksi secara dini 2 jam setelah onset nyeri. Tes negatif dari mioglobin dalam 4-8 jam sangat berguna dalam menetukan adanya nekrosis miokard.  Meskipun  demikian  mioglobin  tak  dapat  digunakan  sebagai  satu- satunya petanda jantung untuk mengidentifikasi pasien dengan NSTEMI.


Peningkatan kadar CKMB sangat erat berkaitan dengan kematian pasien dengan SKA tanpa elevasi segmen ST, dan naiknya risiko dimulai dengan meningkatnya kadar CKMB diatas normal. Meskipun demikian nilai normal CKMB tidak menyingkirkan  adanya kerusakan  ringan miokard dan adanya risiko terjadinya perburukan penderita.


Troponin khusus jantung merupakan petanda biokimia primer untuk SKA. Sudah diketahui bahwa kadar troponin negatif saat < 6 jam harus diulang saat 6-12 jam setelah  onset  nyeri  dada.  Pemeriksaan  troponin  jantung  dapat  dilakukan  di
laboratorium kimia atau dengan peralatan sederhana / bediside. Jika dilakukan di laboratorium, hasilnya harus dapat diketahui dalam waktu 60 menit.


Jenis                      Nyeri Dada                                    EKG                        Enzim Jantung

APTS
  Nyeri Dada Angina   pada   waktu istirahat/aktivitas ringan (CCS III-IV). Cresendo angina. Hilang dengan nitrat , EKG Depresi segmen T Inversi gelombang T Tidak ada gelombang Q, Enzim Jantung Tidak meningkat
NSTEMI
 Nyeri Dada Lebih berat dan lama (> 30 menit). Tidak hilang dengan nitrat, perlu opiuM,   EKG  Depresi segmen ST Inversi gelombang T,  Enzim jantung Meningkat minimal 2 kali nilai batas atas normal
STEMI  
  Lebih  berat  dan  lama  (>  30 menit)   tidak   hilang   dengan nitrat, perlu opium, EKG Hiperakut T Elevasi segmen T Gelombang Q Inversi gelombang T,  Enzim jantung  Meningkat minimal 2 kali nilai batas atas normal

Tabel  5.  Spektrum  Klinis  Sindrom  Koroner












Gambar 4. EKG dari pasien SKA (NSTEMI)
2.4.  Stratifikasi Risiko

2.4.1.  Penilaian Risiko

Penilaian   risiko   harus   dimulai   dengan   penilaian   terhadap   kecenderungan penyakit jantung koroner (PJK). Lima faktor terpenting yang dimulai dari riwayat klinis yang berhubungan dengan kecenderungan adanya PJK, diurutkan berdasarkan kepentingannya adalah,
1.  Adanya gejala angina

2.  Riwayat PJK sebelumnya

3.  Jenis kelamin

4.  Usia

5.  Diabetes, faktor risiko tradisonal lainnya

Saat diagnosis  APTS/NSTEMI  sudah  dipastikan,  maka  kencenderungan  akan terjadinya perubahan klinis dapat diramalkan berdasarkan usia, riwayat PJK sebelumnya, pemeriksaan klinis, EKG dan pengukuran petanda jantung.


2.4.2.  Rasionalisasi Stratifikasi Risiko

Pasien dengan APTS/NSTEMI  memiliki peningkatan  terhadap  risiko kematian, infark berulang, iskemia berulang dengan simptom, aritmia berbahaya, gagal jantung   dan   stroke.   Penilaian   prognosis    tidak   hanya   menolong   untuk penanganan   kegawatan   awal   dan   pengobatannya,   tetapi   juga   membantu penentuan pemakaian fasilitas seperti:
1.  Seleksi ruang perawatan (CVCU, intermediate ward, atau rawat jalan) dan

2.  Seleksi pengobatan yang tepat, seperti antagonis GP IIb/ IIIa dan intervensi koroner



Rekomendasi

1.  Penentuan adanya kecenderungan iskemia akut karena PJK harus dilakukan pada semua pasien dengan keluhan tidak enak di dada
2.  Pasien   dengan   APTS/NSTEMI   harus   dilakukan   stratifikasi   risiko   yang terfokus pada gejala angina, penemuan pemeriksaan  fisik, penemuan EKG dan petanda biokimia akan kerusakan jantung
3.  EKG  12  sadapan  harus  dilakukan  segera  (dalam  10  menit)  pada  pasien dengan keluhan nyeri dada terus menerus dan segera mungkin pada pasien dengan  riwayat  iskemia  akut  yang  menetap  namun  menghilang   dalam evaluasi selanjutnya.
4.  Petanda  biokimia  dari kerusakan  jantung harus dinilai pada semua  pasien yang  datang  dengan  nyeri  dada  karena  APTS/NSTEMI.  Troponin  khusus jantung merupakan petanda pilihan, dan jika mungkin, harus dilakukan pada semua  pasien.  Pemeriksaan  CKMB  dapat  juga  dilakukan.  Pada  pasien dengan  hasil  negatif  saat  pengukuran  < 6 jam,  harus  dilakukan  penilaian ulang pada saat 6-12 jam.

Kriteria untuk risiko tinggi dan rendah terhadap kematian atau Infark Miokard Akut (IMA ) Risiko tinggi
• Pasien dengan gejala berat

1.Iskemia berulang (dengan gejala iskemik yang semakin sering dalam 48 jam atau terus menerus (20 menit) nyeri saat istirahat
2.Pasien dengan angina saat istirahat yang tidak hilang dengan nitrat

3.Pasien dengan infark baru sebelumnya

4.Pasien dengan riwayat revaskularisasi sebelumnya (PCI,CABG)

5.Pasien dengan riwayat pengobatan ASA kurang dari 7 hari

• Pasien dengan hemodinamika tak stabil selama periode observasi

1.   Edema paru

2.   Regurgitasi mitral baru atau perburukan

3.   Hipotensi, bradikardi atau takikardi

• Pasien dengan kelainan EKG

1.   Perubahan segmen ST yang dinamik > 0.05 mV, terutama deperesi segment ST

2.   Elevasi segment ST yang transient

3.   Inverse gelombang T > 0.2 mV

4.   Gelombang Q patologis

5.   Budle branch block, baru atau diperkirakan baru

6.   Sustained ventricular tachycardia

•    Pasien dengan peningkatan kadar Troponin

•    Pasien   dengan   disfungsi   ventrikel   dan   fraksi   ejeksi   yang   menurun   (dengan ekokardiografi) < 40%
Risiko Rendah

•    Pasien tanpa keluhan nyeri dada berulang dalam periode observasi

*    Pasien tanpa depresi atau elevasi segment ST tetapi menunjukan sedikit gelombang T

negatif, gel T mendatar/ flat atau normal EKG

•   Pasien tanpa peningkatan kadar troponin atau petanda lain dari kerusakan jantung

Tabel 6. Kriteria Risiko Tinggi dan Rendah Terhadap Kematian atau Infark Miokard Akut (IMA)




2.5.  Triase

Nyeri dada merupakan keluhan yang paling sering dijumpai pada sebagian besar fasilitas kesehatan. Dengan banyaknya variasi penyebab nyeri dada, yang bervariasi dari keluhan yang mengacam jiwa sampai dengan nyeri karena otot, dokter di fasilitas kesehatan harus dapat mentriase pasien nyeri dada dengan akurat sehingga jika ditemukan kecurigaan SKA dapat dievaluasi dengan cepat dan pengobatan definitif segera dilakukan.


Pada sebagian besar pasien tanpa riwayat PJK sebelumnya, nyeri dada bukan merupakan suatu kegawatan. Oleh sebab itu, triase yang efektif dapat dilakukan dengan  anamnesa  sesuai  target  untuk  menyingkirkan  gejala  yang  berkaitan dengan SKA.


Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan seperti berikut ini :

• Apakah ada riwayat PJKA sebelumnya?

• Singkirkan   faktor   risiko   komorbid,   seperti   merokok,   diabetes,   hipertensi, dislipidemia atau riwayat PJK di keluarga
• Apakah nyeri dada dirasakan seperti menusuk atau menekan  (curiga angina) ?

• Apakah nyeri (kearah angina) menjalar ke bagian tubuh lain?

• Adakah nyeri saat istirahat dan apakah terus menerus (> 20 menit)?

• Pada   pasien   PJK,   apakah   nyeri   menghilang   dengan   pemakian   nitrat sublingual?


Berdasarkan  jawaban terhadap pertanyaan  ini, jika dicurigai adanya diagnosis

SKA, harus dilakukan pemeriksaan EKG 12 sadapan dalam waktu 10 menit. Jika
belum ada fasilitasnya  maka pasien harus segera dirujuk ke fasilitas terdekat yang memungkinkan.


EKG 12 sadapan merupakan hal utama dalam triase pasien dengan menentukan stratifikasinya pada salah satu dari kelompok di bawah ini:
•   Elevasi segment ST atau onset baru LBBB Spesifitas tinggi terhadap adanya STEMI
•   Depresi segment ST

Indikasi kuat adanya iskemia

•   Non diagnostik atau EKG normal



Pada  pasien  dengan  faktor  risiko  positif,  penilaian  ulang  EKG  dan  petanda biokimia merupakan indikasi. Petanda jantung saat ini merupakan suatu hal yang sangat penting dalam elevasi dan stratifikasi pasien dengan APTS/NSTEMI. Pemilihan petanda biokimia tersebut tergantung pada onset dan lamanya nyeri dada.


Penyelenggara  kesehatan harus merujuk setiap pasiennya yang dicurigai SKA dengan  keluhan  dada  tidak  enak  dan  petanda  biokimia  positif  ke  fasilitas kesehatan lainnya dimana terapi definitif dapat segera dimulai.






Gambar 5. Algoritma Untuk Triase Dan Tata Laksana SKA




















BAB III PENATALAKSANAAN

3.1.  Tata Laksana Secara Umum

Prinsip  penatalaksanaan   SKA  adalah  mengembalikan   aliran  darah  koroner dengan  trombolitik/  PTCA  primer  untuk  menyelamatkan   jantung  dari  infark miokard,   membatasi   luasnya   infark   miokard,   dan  mempertahankan   fungsi jantung. Penderita SKA perlu penanganan segera mulai sejak di luar rumah sakit sampai di rumah sakit. Pengenalan SKA dalam keadaan dini merupakan kemampuan yang harus dimiliki dokter/tenaga medis karena akan memperbaiki prognosis pasien. Tenggang waktu antara mulai keluhan-diagnosis  dini sampai dengan mulai terapi reperfusi akan sangat mempengaruhi prognosis. Terapi IMA harus dimulai sedini mungkin, reperfusi/rekanalisasi sudah harus terlaksana sebelum 4-6 jam.


Pasien yang telah ditetapkan sebagai penderita APTS/NSTEMI harus istirahat di ICCU dengan pemantauan EKG kontiniu untuk mendeteksi iskemia dan aritmia. Oksigen diberikan pada pasien dengan sianosis atau distres pernapasan. Perlu dilakukan pemasangan oksimetri jari   (finger pulse oximetry) atau evaluasi gas darah  berkala  untuk  menetapkan  apakah  oksigenisasi  kurang  (SaO2   <90%). Morfin sulfat diberikan bila keluhan pasien tidak segera hilang dengan nitrat, bila terjadi endema paru dan atau bila pasien gelisah. Penghambat  ACE diberikan bila  hipertensi  menetap  walaupun  telah  diberikan  nitrat  dan  penyekat-β  pada pasien dengan disfungsi sistolik faal ventrikel kiri atau gagal jantung dan pada pasien   dengan   diabetes.   Dapat   diperlukan   intra-aortic   ballon   pump   bila ditemukan iskemia berat yang menetap atau berulang walaupun telah diberikan terapi medik atau bila terdapat instabilitas hemodinamik berat.












3. 2. Tata Laksana Sebelum Ke Rumah Sakit (RS)
Prinsip penatalaksanaan adalah membuat diagnosis yang cepat dan tepat, menentukan apakah ada indikasi reperfusi segera dengan trombolitik dan teknis transportasi pasien ke rumah sakit yang dirujuk.


Pasien dengan nyeri dada dapat diduga menderita infark miokard atau angina pektoris  tak  stabil  dari  anamnesis  nyeri  dada  yang  teliti.  Dalam  menghadapi pasien-pasien nyeri dada dengan kemungkinan penyebabnya kelainan jantung, langkah yang diambil atau tingkatan dari tata laksana   pasien sebelum masuk rumah sakit tergantung ketepatan diagnosis, kemampuan dan fasilitas pelayanan kesehatan maupun ambulan yang ada.


Berdasarkan triase dari pasien dengan kemungkinan SKA, langkah yang diambil pada prinsipnya sebagai berikut :
a.  Jika riwayat dan anamnesa curiga adanya SKA

9   Berikan asetil salisilat (ASA) 300 mg dikunyah

9   Berikan nitrat sublingual

9   Rekam EKG 12 sadapan atau kirim ke fasilitas yang memungkinkan

9   Jika mungkin periksa petanda biokimia

b.  Jika EKG dan petanda biokimia curiga adanya SKA

Kirim pasien ke fasilitas kesehatan terdekat dimana terapi defenitif dapat diberikan
c.  Jika EKG dan petanda biokimia tidak pasti akan SKA

9   Pasien risiko rendah ; dapat dirujuk ke fasilitas rawat jalan

9   Pasien risiko tinggi : pasien harus dirawat



Semua  pasien  dengan  kecurigaan  atau  diagnosis  pasti  SKA  harus  dikirim dengan ambulan dan fasilitas monitoring dari tanda vital. Pasien harus diberikan penghilang  rasa sakit, nitrat dan oksigen nasal. Pasien harus ditandu dengan posisi yang menyenangkan, dianjurkan elevasi kepala 40 derajat dan harus terpasang akses intravena. Sebaiknya digunakan ambulan/ambulan khusus.




3.3. Tata Laksana di Rumah Sakit
3.3.1. Instalasi Gawat Darurat

Pasien-pasien  yang tiba di UGD, harus segera dievaluasi karena kita berpacu dengan waktu dan bila makin cepat tindakan reperfusi dilakukan hasilnya akan lebih baik. Tujuannya adalah mencegah terjadinya infark miokard ataupun membatasi  luasnya  infark  dan  mempertahankan  fungsi  jantung.  Manajemen yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Dalam 10 menit pertama harus selesai dilaksanakan adalah: a.  pemeriksaan klinis dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan, b.  periksa enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT,
c.  berikan segera: 02, infus NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%, d.  pasang monitoring EKG secara kontiniu,
e.  pemberian obat:

f.   nitrat  sublingual/transdermal/nitrogliserin   intravena  titrasi  (kontraindikasi bila TD sistolik < 90 mmHg), bradikardia (< 50 kali/menit), takikardia,
g.  aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak responsif diganti dengan dipiridamol, tiklopidin atau klopidogrel, dan
h.  mengatasi nyeri: morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5 menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg intravena.


2. Hasil penilaian EKG, bila:

a.  Elevasi  segmen  ST  > 0,1  mV  pada  2 atau  lebih  sadapan  ekstremitas berdampingan  atau > 0,2 mV pada dua atau lebih  sadapan  prekordial berdampingan  atau blok berkas (BBB) dan anamnesis  dicurigai adanya IMA maka sikap yang diambil adalah dilakukan reperfusi dengan :
-   terapi trombolitik bila waktu mulai nyeri dada sampai terapi < 12 jam, usia < 75 tahun dan tidak ada kontraindikasi.
- angioplasti koroner (PTCA) primer bila fasilitas alat dan tenaga memungkinkan. PTCA primer sebagai terapi alternatif trombolitik atau bila syok kardiogenik atau bila ada kontraindikasi terapi trombolitik
b.  Bila sangat mencurigai ada iskemia (depresi segmen ST, insersi T), diberi terapi anti-iskemia, maka segera dirawat di ICCU; dan
c.  EKG normal atau nondiagnostik, maka pemantauan dilanjutkan di UGD.

Perhatikan monitoring EKG dan ulang secara serial dalam pemantauan 12 jam  pemeriksaan  enzim  jantung  dari  mulai  nyeri  dada  dan  bila  pada evaluasi selama 12 jam, bila:
-  EKG  normal  dan  enzim  jantung  normal,  pasien  berobat  jalan  untuk evaluasi stress test atau rawat inap di ruangan (bukan di ICCU), dan
- EKG ada perubahan bermakna atau enzim jantung meningkat, pasien di rawat di ICCU.
3.4.  TATALAKSANA PASIEN NSTEMI


Diagnosa Risiko:
Berdasarkan diagnosa  dari  UA  atau  NSTEMI,  level  risiko  akan  kematian  dan iskemia kardiak non fatal harus dipertimbangkan / didiagnosa.
Pengobatan dilakukan berdasarkan level risiko ini.
Diagnosa suatu risiko itu multivariable, berikut ini adalah prosedur / tahapan garis besarnya.
Pasien disadari memiliki risiko tinggi
Jika satu atau lebih dari hal-hal di bawah ini terjadi pada pasien, hal-hal tersebut diantaranya adalah:
Iskemia  berulang.  Dapat  muncul  baik  itu  berupa  sakit  dada  berulang  atau
perubahan segmen  ST  yang  dinamik  yang  terlihat  pada  profil  EKG.  (Depresi segmen ST  atau  penaikan segment ST  sementara),terjadinya sakit  dada  saat istirahat > 20 menit, peningkatan level marker cardiac (CK-MB, Troponim T atau I, Protein reactive  C), pengembangan ketidakstabilan hemodinamik dalam perioda observasi, Aritmia mayor (fibrilasi ventricular, keberulangan tachycardia ventrikular) atau disfungsi ventricular kiri, Angina tak stabil post-infarction dini, thrombus pada angiografi
Pasien risiko rendah
Tidak ada sakit dada berulang saat perioda observasi, tidak ada tanda angina saat istirahat, tidak ada peningkatan troponin atau marker biokimia lain,
EKG normal atau tidak ada perubahan selama episode ketidaknyamanan dada.




Terlihat peningkatan segmen ST pada EKG
Terdiagnosa terjadinya sindrom koroner akut (SKA)
Tidak ada peningkatan segmen ST pada EKG



Mengacu pada : penatalaksanaan rencana pengobatan MI

Pasien Risiko Rendah                         Pasien Risiko Tinggi


Obat yang digunakan :
9  Aspirin & Klopidogrel
Jika aspirin intoleransi dan klopidogrel tidak dapat digunakan, gunakan :
9  Ticlopidine
9  Nitrat
9  Tablet sublingual atau spray atau IV
(kontraindikasi pada pasien yang menerima sildenafil dalam 24 jam ke belakang. Gunakan dengan perhatian pada pasien dengan gagal RV)
9  Î²-bloker oral (jika tidak kontra indikasi)
9  antagonis kalsium non-dihidropiridin jika sukar untuk meneruskan pengobatan yang terdahulu.
9  Senyawa penurun lipid
¾    Inhibitor HMG-CoA reduktase & diet LDL-c> 2.6 mmol/L (100 mg/dL) dimulai dalam 24-96 jam setelah masuk RS.Dilanjutkan pada saat keluar RS
¾    Fibrat atau niasin jika HDL-c < 1 mmol/L (40 mg/dL) muncul sendiri atau
dalam kombinasi dengan obnormalitas lipid lain
9  Heparin
(tidak dilanjutkan jika diagnosa enzim kardiak sekunder normal)
test stress direkomendasikan meskipun selama berada di RS atau dalam 72 jam




Perjanjian follow-up dalam 2-6 minggu
Pengobatan Untuk Pasien Berisiko Tinggi
•    Istirahat di kasur dengan monitoring EKG yang tetap berlangsung
•    Suplemen oksigen untuk mempertahankan kejenuhan O2 > 90%.
Pengobatan sakit Iskemia
Nitrat
•    Tablet sublingual atau spray (max 3 dosis)
•    Jika sakit tidak berkurang, lanjutkan dengan pemakaian IV
•    Nitrogliserin IV lazimnya diganti dengan nitrat oral dalam 24 jam periode bebas sakit
•    Regimen   dosis   oral   seharusnya   memiliki   interval   bebas   nitrat   untuk   mencegah berkembangnya toleransi
•    Kontraindikasi pada pasien yang menerima sildenafil dalam 24 jam yang lalu
•    Gunakan dengan perhatian pada pasien dengan gagal RV
β-bloker
•    Direkomendasikan jika tidak ada kontraindikasi
•    Jika saki dada berlanjut, gunakan dosis pertama IV yang diikuti dengan tablet oral
•    Semua  Î²-bloker  itu  keefektifannya  sama,  tetapi  Î²-bloker  tanpa  aktivitas  simpatomimetik intrinsik lebih disukai
Morfin sulfat
•    Direkomendasikan jika sakit tidak kurang dengan terapi anti iskemia yang cukup dan jika terdapat kongesti pulmonary atau agitasi parah
•    Dapat digunakan dengan nitrat selama tekanan darah dimonitor
•    1-5 mg IV setiap 5-30 menit jika diperlukan
•    Perlu diberikan juga obat anti muntah
•    Penggunaan disertai perhatian jika terjadi hipotensi pada penggunaan awal nitrat

Pilihan Pengobatan Lain Untuk Iskemia :

Antagonis Kalsium
•    Dapat digunakan ketika β-bloker kontra indikasi (verapamil & diltiazem lebih disukai)
•    Antagonis kalsium dihidropiridin dapat  digunakan pada pasien yang sulit  sembuh hanya setelah gagal menggunakan nitrat dan β-bloker

Inhibitor ACE
•    Diindikasikan pada hipertensi yang tetap (walaupun sedang menjalani pengobatan dengan nitrat dan β-bloker), disfungsi sistolik LV,CHF.

Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan
•    Esensial  untuk  memodifikasi proses  penyakit  &  kemungkinan perkembangannya menuju kematian, MI atau MI berulang.

Aspirin dan Klopidogrel
•    Sebaiknya diinisiasi dengan baik
Untuk pasien intoleransi aspirin & ketika klopidogrel tidak dapat digunakan:
Heparin
•    Heparin bobot molekul rendah (LMWH = low molecular weight heparin) secara subkutan atau heparin tidak terfraksinasi (UFH = unfractioned heparin) secara IV dapat ditambahkan sebagai terapi antiplatelet.
Antagonis GP IIb/IIIa
•    Penggunaannya direkomendasikan sebagai tambahan aspirin & UFH pada pasien dengan iskemia berlanjut atau dengan risiko tinggi lainnya & untuk pasien yang intervensi koroner percutaneous direncanakan
Modifikasi risiko : Senyawa menurun lipid
-    Inhibitor HMG-CoA reduktase & diet untuk LDL-c> 2,6 mmol/L (100mg/dL) dimulai dengan 24-
96 jam setelah masuk RS Diteruskan saat keluar RS
-    Fibrat atau niasin jika HDL-c < 1 mmol/L (40 mg/dL) muncul sendiri atau kombinasi dengan abnormalitas lipid lain.

Pengobatan Untuk Pasien Berisiko Tinggi

Prosedur invasive
•    Intra-aortic balloon counterpulsation (IABP) disediakan untuk pasien yang sulit mencapai terapi obat secara maksimal & mereka yang menggunakan catheterisasi kardiak
•    Percutaneous coronary intervention (PCI) atau coronary artery bypass graft (CABG) dapat dibuat untuk menyembuhkan iskemia berlanjut atau berulang & untuk membantu mencegah perkembangan manjadi MI atau kematian.
•   Indikasi & metode yang disukai adalah berada diluar posedur ini, biasanya berdasarkan atas hasil dari suatu angiografi.






Terapi saat “hospital discharge”

Melanjutkan senyawa anti iskemia oral jika:

•    Cardiovascular revascularization tidak dibuat

•    Revacularization yang tidak berhasil

•    Munculnya gejala lagi walaupun sudah dilakukan revaskularisasi

Nitrat

•    Nitrat sublingual dapat diberikan kepada seluruh pasien ketika dibutuhkan untuk angina

Aspirin dilanjutkan tanpa batas klopidogrel dilanjutkan untuk 1 bulan- 1 tahun Untuk pasien intoleransi aspirin dan yang klopidogrel tidak dapat digunakan: Ticlopidin
β-bloker oral jika tidak ada kontraindikasi

Inhibitor ACE

Pada pasien dengan CHF, disfungsi LV atau diabetes

Tindakan Pencegahan Sekunder:

Perubahan pola hidup

Senyawa penurun lipid

Inhibitor HMG-CoA reduktase & diet untuk LDL-c > 2,6 mmol/L (100mg/Dl)

Fibtar atau niasin jika HDL-c < 1 mmol/L (40 mg/dL) muncul sendiri atau dalam kombinasi





Follow up:

Revascularization pasien dapat kembali dalam 2-6 minggu

Pasien risiko tinggi dapat kembali dalam 1-2 minggu
Nitrat

Gliseril trinitrate (nitrogliserin) :     tablet 500 mcg atau spray 0,4 mg SL setiap 3-5 menit sampai sakit berhenti atau jika efek samping « supervene » (maksimal 3 dosis)
Isosorbid dinitrat spray            :   1-3 spray dari 1,25 mg ke dalam lubang buccal ada interval 30 detik  ketika menahan nafas.
Isosorbid dinitrat                      :   5-10 mg tablet SL setiap 5-10 menit sampai rasa sakit hilang. (Max 3 dosis dalam 15-30 menit).
Gliseril trinitrate (nitrogliserin)  :    awal 5mcg/ menit infusan IV. Bertambah iv menjadi 5 mcg / menit, meningkat 10 mcg/min setiap 3-5 menit (max 200mcg/ menit). Isosorbid dinitrate IV infusan 2-10 mg/jam IV.

Direkomendasikan berubah ke dosis dalam 24 jam selama gejala dikontrol sesuai kebutuhan dalam rangka untuk mencegah toleransi.

Oral & topical

Isosorbid dinitrate

Pelepasan cepat      :      10-40 mg per oral bid-qid

Pelepasan lambat    :      20 mg per oral bid-tid atau 40 mg per oral sehari sekali-bid

Isosorbid mononitrat

Pelepasan sedang   :     20-40 mg per oral bid

Pelepasan lambat    :     40-120 mg per oral sekali sehari

Nitroglycerin capsul               :    2,5-7,5 mg per oral bid-tid

Nitroglycerin transdermal patch : 5-20 mg/24 jam patch digunakan tropical sekali sehari periode patch-on dari 12-16 jam & periode patch-off dari 8-12 jam.


Semua terapi nitroglycerin harus termasuk periode bebas nitrat (8-2 jam/hari) untuk mencegah toleransi. Penggunaan sildenfil kontraindikasi pada pasien yang mengkonsumsi nitrat. Gunakan
dengan perhatian bagi pasien dengan kegagalan RV.

β-bloker IV

Atenolol    :      5 mg IV diatas 5 menit & diulang 1x dosis 5-10 menit kemudian. Diikuti dengan oral 50-100mg PO sekali sehari dimulai 1-2 jam setelah dosis IV (senyawa aksi panjang hanya direkomendasikan untuk pasien yang dapat toleransi )

β-bloker oral

Target kecepatan jantung istirahat adalah 50-60 detak/ menit.

Acebutolol        :           20mg peroral 2x sehari pada awal. (max 1200mg/ hari) Alprenolol         :           50-100 mg peroral 4x sehari

Terapi Antiplatelet Oral

Aspirin

Dosis awal         :    162-325 mg peroral sebagai dosis tunggal (dapat dikunyah pada pasien yang belum mendapat aspirin untuk kadar darah aspirin cepat)
Dosis harian      :    75-160 mg peroral 1x sehari

Klopidogrel

Dosis awal        :     30 mg peroral sebagai dosis tunggal

Dosis harian     :     75 mg peroral 1 kali sehari

Ticlopidin          :     250 mg peroral 2 kali sehari (kontrol jumlah platelet &sel darah putih selama pengobatan)

Heparin

Heparin bobot molekul rendah

Dalteparin : 120 iu/kg subkutan setiap 12 jam (max 10,000 iu setiap 12 jam) untuk lebih dari 6 hari Enoxaparin : 1 mg/kg sub kutan setiap 12 jam (dapat digunakan sebagai bolus 30 mg) sampai pasien stabil Nadroparin 88 : anti-xa iu/kg subkutan setiap 12 jam untuk lebih dari 6 hari
Heparin tak terfraksinasi 60-70u/kg bolus IV (max 5000 u) diikuti dengan 12-15 iu/kg/hari IV (max 1000 u/hari)
Dosis diatur untuk mecapai PTT 1,5-2,5 kontrol waktu. PTT dapat diukur 6 jam setelah perubahan dosis apapun.
LMWH sama efektifnya dengan UFH. LMWH berguna oleh karena ketidakperluan monitoring. Kemudahan rute pemberian subkutan, peningkatan ketersediaan hayati, waktu paruh plasma lebih lama & efek antikoagulan yang terprediksi. Dua penelitian klinik telah menyediakan data keuntungan LMWH (enoxaparin)
di atas UFH ketika digunakan sebagai regimen akut.

Antagonis Reseptor Platelet GP IIb/IIIa

Abciximab  :     Gunakan hanya dalam pasien yang menerima PCI dalam 24 jam 250 mcg/kg IV bolus diikuti oleh 10mcg/menit infusan IV untuk 18-24 jam termasuk 1 jam setelah PCI.
Eptifibatide:      180 mcg/kg bolus IV diatas 1-2 menit diikuti oleh 2mcg/kg/menit infusan IV untuk

72 jam sampai keluar RS atau dibuat CABG. Jika pasien mengalami PCI, secara standar kurangi kecepatan infusnya menjadi 5 mcg/kg/menit pada saat prosedur. Lanjutkan untuk 20-24 jam setelah prosedur (di atas 96 jam).
Tirofiban     :      0,4 mcg/kg/menit infusan IV untuk 30 menit diikuti oleh 0.1 smcg/kg/menit untuk

48-96 jam.

3.5. TATA LAKSANA PASIEN STEMI
Pasien dari IGD/UGD dengan SKA dikirim ke ICCU/CVC untuk penatalaksanaan selanjutnya   yaitu  sebagaimana   penatalaksanaan   STEMI/IMA   yakni  sebagai berikut:

3.5.1 Umum

1) Pasang infus intravena: dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.


2) Pantau  tanda  vital: setiap  ½ jam sampai  stabil, kemudian  tiap 4 jam atau sesuai dengan kebutuhan, catat jika frekuensi jantung < 60 kali/mnt atau >
110 kali/mnt; tekanan darah < 90 mmHg atau > 150 mmHg; frekuensi nafas <

8 kali/mnt atau > 22 kali/mnt.


3) Aktifitas istirahat di tempat tidur dengan kursi commode di samping tempat tidur dan mobilisasi sesuai toleransi setelah 12 jam.

4)  Diet: puasa sampai bebas nyeri, kemudian diet cair. Selanjutnya diet jantung (kompleks karbohidrat 50-55% dari kalori, monounsaturated dan unsaturated fats < 30% dari kalori), termasuk makanan tinggi kalium (sayur, buah), magnesium  (sayuran  hijau,  makanan  laut)  dan  serat  (buah  segar,  sayur, sereal).

5). Medika mentosa :

•    Oksigen  nasal  mulai  2  l/mnt:  dalam  2-3  jam  pertama;  dilanjutkan  jika saturasi oksigen arteri rendah (< 90%)
•    Mengatasi rasa nyeri: Morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap lima menit sampai dosis total 20 mg, atau Petidin 25-50 mg intravena, atau Tramadol 25-50 mg intravena. Nitrat sublingual/patch, intravena jika nyeri berulang dan berkepanjangan.

6). Terapi reperfusi (trombolitik) streptokinase atau tPa:

•    Tujuan: door to needle time < 30 menit, door to dilatation < 60 mnt.

•    Rekomendasi:


9   Elevasi  ST > 0,1  mV  pada  dua  atau  lebih  sadapan  ekstremitas berdampingan   atau  >  0,2  mV  pada  dua  atau  lebih  sadapan
prekordial berdampingan, waktu mulai nyeri dada sampai terapi <

12 jam, usia < 75 tahun; Blok cabang berkas (BBB) dan anamnesis dicurigai infark miokard akut.
9   Dosis obat-obat trombolitik:

Streptokinase:  1,5  juta  UI  dalam  1  jam;  Aktivator  plasminogen jaringan (tPA): bolus 15 mg, dilanjutkan 0,75 mg/kgBB (maksimal
50 mg) dalam jam pertama dan 0,5 mg/kgBB  (maksimal  35 mg)

dalam 60 menit.


7). Antitrombotik :

•    Aspirin (160-325 mg hisap atau telan)

•    Heparin direkomendasi pada:

9 Pasien yang menjalani terapi revaskularisasi perkutan atau bedah.

9 Diberikan   intravena   pada  pasien  yang  menjalani   terapi  reperfusi dengan  alteplase:  dosis  yang  direkomendasikan  70  UI/kgBB  bolus pada saat mulai infus alteplase, dilanjutkan lebih dari 48 jam terbatas hanya pada pasien dengan risiko tinggi terjadi tromboemboli sistemik atau vena.
9 Diberikan intravena pada infark non-Q.

9 Diberikan  subkutan  (SK) 2 x 7500 UI (heparin intravena  merupakan trombolitik yang tidak ada kontraindikasi heparin). Pada pasien fibrilasi atrial, riwayat emboli, atau diketahui ada trombus di ventrikel kiri.
9 Diberikan  intravena  pada  pasien  yang  mendapat  terapi  obat-obat trombolitik non-selektif (streptokinase, anisreplase, urokinase) yang merupakan risiko tinggi terjadinya emboli sistemik seperti di atas. Keterangan:  heparin  direkomendasikan  ditunda  sampai  4  jam  dan pada saat itu diperiksa aPTT. Heparin mulai diberikan jika aPTT < 2 kali kontrol (sekitar 70 detik), kemudian  infus dipertahankan  dengan target aPTT 1,5-2 kali kontrol (infus awal sekitar 1000 UI/jam). Setelah
48 jam dapat dipertimbangkan diganti heparin subkutan, warfarin, atau aspirin saja.

8). Mengatasi rasa takut dan cemas: diazepam 3 x 2-5 mg oral atau intravena.
9). Obat pelunak tinja: laktulosa (laksadin) 2 x 15 ml.


10).Terapi tambahan: Penyekat beta; jika tidak ada kontraindikasi. Penghambat ACE terutama pada: IMA luas atau anterior, gagal jantung tanpa hipotensi, riwayat infark miokard. Antagonis kalsium: diltiazem pada IMA non-Q.

Rekomendasi ACC/AHA yang baru tahun 2002, menganjurkan untuk memberikan klopidogrel bersama aspirin pada semua pasien SKA di samping terapi standar. Juga dianjurkan pemberian LMWH untuk mengantikan peran heparin pada semua pasien SKA baik untuk pasien yang dirawat konservatif maupun mereka yang akan dilakukan tindakan invasif. Pada SKA yang risiko tinggi perlu dipertimbangkan tindakan invasif dini. Dari beberapa penelitian menganjurkan, pasien IMA  yang  diberi  terapi  fibrinolitik  juga  diberi  tambahan  LMWH  enoksaparin bersama-sama aspirin.

3.5.2.  Penyulit dan Penatalaksanaan


1). Aritmia dan Cardiac Arrest

Fibrilasi Atrium

•    Kardioversi  elektrik  untuk pasien  dengan  gangguan  hemodinamik  berat atau iskemia intraktabel
•    Digitalisasi   cepat   untuk   menurunkan    respon   ventrikel   cepat   dan memperbaiki fungsi ventrikel kiri
•    Penyekat beta intravena untuk menurunkan respon ventrikel cepat pada pasien tanpa disfungsi ventrikel kiri secara klinis, penyakit bronkospasme, atau blok AV
•    Diltiazem  atau verapamil  intravena  untuk menurunkan  respons ventrikel cepat jika penyekat beta merupakan kontraindikasi atau tidak efektif
•    Harus diberikan heparin


Fibrilasi Ventrikel

DC shock unsynchronized dengan energi awal 200 J jika tidak berhasil harus diberikan shock kedua 200 sampai 300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J.

Takikardia Ventrikel (VT)
•    VT polimorfik yang menetap (lebih dari 30 detik atau menyebabkan kolaps hemodinamik) harus diterapi dengan DC shock unsynchronized menggunakan energi awal 200 J; jika gagal harus diberikan shock kedua
200-300 J, dan jika perlu shock ketiga 360 J.

•    VT monomorfik,  menetap yang diikuti dengan angina, edema paru atau hipotensi (tekanan darah < 90 mmHg) harus diterapi dengan DC shock synchronized energi awal 100 J. Energi dapat ditingkatkan jika dosis awal gagal.
•    VT  monomorfik  yang  tidak  disertai  dengan  angina,  edema  paru,  atau hipotensi (tekanan darah <90 mmHg) diterapi dengan salah satu regimen berikut :

1.  Lidokain: bolus 1-1,5 mg/kg. Bolus tambahan 0,5-0,75 mg/kg tiap 5-10 menit sampai dosis loading total maksimal 3 mg/kg. Kemudian loading dosis dilanjutkan dengan infus 2-4 mg/menit (30-50 ug/kg/menit).
2. Disopiramid: bolus 1-2 mg/kg dalam 5-10 menit, dilanjutkan dosis pemeliharaan 1 mg/kg/jam.
3.  Amiodaron: 150 mg infus selama 10-20 menit atau 5 ml/kgBB 20-60 menit,dilanjutkan  infus tetap 1 mg/menit selama 6 jam dan kemudian infus pemeliharaan 0,5 mg/menit.
4. Kardiovaksi  elektrik synchronized  dimulai dosis 50 J (anastesi sebelumnya).

Bradiaritmia dan Blok

• Bradikardia   sinus   simtomatik   (frekuensi   jantung   <  50  kali/menit   disertai hipotensi, iskemia aritmia ventrikel escape)
• Asistol ventrikel

• Blok  AV  simtomatik  terjadi  pada  tingkat  nodus  AV  (derajat  dua  tipe  I atau derajat tiga dengan ritme escape kelompok sempit).

Pengobatan dengan sulfas atropin dosis 0,5-2 mg.

Isoproterenol  (Isuprel):  0,5-4  ug/menit  bila  terapi  atropin  gagal,  sementara menunggu pacu jantung sementara.
2). Gagal Jantung/Edema Paru Akut

Gagal Jantung

•    Diuretik (furosemid intravena)

•    Nitrogliserin   (mengurangi   preload   dan   afterload):   5  ug/menit,   dosis demikian bertahap sampai tekanan arteri sistolik turun 10-15% tapi tidak kurang dari 90 mmHg
•    Penghambat ACE

•    Digitalis bila ada fibrilasi atrial


Edema Paru Akut

• Terapi O2: oksigen diberikan sampai dengan 8 liter/menit, untuk mempertahankan  Pa O2  kalau perlu dengan masker. Jika kondisi pasien makin   memburuk,   timbul   sianosis,   makin   sesak,   takipnea,   bronki bertambah, Pa O2 tidak bisa dipertahankan > 60 mmHg dengan terapi O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2 , hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat, maka perlu dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan penggunaan ventilator.
•    Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin diberikan peroral 0,4-

0,6  mg  tiap  5-10  menit.  Jika  tekanan  darah  sistolik  cukup  baik  (>  95 mmHg), nitrogliserin intravena dapat diberikan mulai dosis 0,3-0,5 mg/kg BB.
•    Morfin sulfat: diberikan 2,5 mg (2-4 mg) intravena dapat diulang tiap 5-10 menit sampai dosis total 20 mg biasanya cukup efektif.
•    Diuretik: furosemid  40-80 mg bolus intravena,  dapat diulang atau dosis dapat  ditingkatkan  setelah  4 jam,  atau dilanjutkan  dengan  drip  kontinu sampai mencapai produksi urin 1 ml/kgBB/jam.
•    Obat untuk menstabilkan keadaan klinis dan hemodinamik :


1.  Nitroprusit  intravena:  dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit,  diberikan  jika tidak ada respons yang baik dengan terapi nitrat, atau pasien dengan regurgitasi  mitral, regurgitasi  aorta, hipertensi  berat. Dosis dinaikkan sampai dapat perbaikan klinis dan hemodinamik, atau sampai tekanan darah sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang sebelumnya mempunyai
tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
2.  Dopamin 2,5ug/kgBB/menit atau dobutamin 2-10 ug/kgBB/menit. Dosis dapat  ditingkatkan   sesuai  respon  klinis  dan  kedua  obat  ini  jika diperlukan dapat diberikan bersama-sama.
3.  Digitalis bila ada fibrilasi atrium atau kardiomegali.

4.  Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis, atau tidak berhasil dengan terapi oksigen.
5.  Obat trombolitik atau revaskularisasi (PTCA/CABG)

6.  Terapi terhadap aritmia atau gangguan konduksi

7.  Koreksi   defenitif,   misalnya   pengantian   katup   atau   repair   pada regurgitasi mitral berat bila ada indikasi dan keadaan klinis memungkinkan.

3). Syok Kardiogenik

•    Terapi O2

•  Norepinefrin intravena 8-12 ug/menit sampai tekanan arteri sistolik meningkat sekurang-kurangnya 80 mmHg
•    Selanjutnya dapat diberikan dopamine 5-15 ug/kgBB/menit

•    Jika tekanan arteri sistolik mencapai  90 mmHg dobutamin  intravena dapat diberikan bersamaan untuk mengurangi dosis dopamine
•    Revaskularisasi arteri koroner segera, jika sarana tersedia

•    Pompa balon intra-aortik (IABP) bila sarana tersedia


4). Komplikasi Mekanik

•    Ruptur  muskulus  papilaris,  ruptur  septum  ventrikel,  ruptur  dinding ventrikel.
•    Penatalaksanaan: operasi


5). Perikarditis

•    Aspirin (160-325 mg/hari): merupakan pengobatan terpilih

•    Indometasin, ibuprofen

•    Kortikosteroid
3.5.3.  Terapi Infark/Iskemia Ventrikel Kanan

1) Pertahankan preload ventrikel kanan :

•    Loading volume (infus NaCl 0,9%): 1-2 liter cairan jam I selanjutnya

200 ml/jam (target kanan atrium kanan > 10 mmHg (13,6 cm H2O).

•    Hindari penggunaan nitrat dan diuretik

•    Pertahankan  sinkroni  A-V:  Pacu  jantung  sekuensial  A-V  pada  blok jantung derajat tinggi simtomatik yang tidak respons dengan atropin.
•    Kardioversi  segera pada SVT dengan  gangguan  hemodinamik  yang nyata.

2) Berikan inotropik:

Dobutamin jika curah jantung gagal meningkat setelah loading volume.


3). Kurangi afterload ventrikel kanan sesuai dengan disfungsi ventrikel kiri

•    Pompa balon intra-aortik

•    Vasodilator arteri (nitroprusit, hidralazin) dan Penghambat ACE.


4). Reperfusi

•    Obat trombolitik

•    Angioplasti koroner perkutan (PTCA) primer

•    Operasi pintas koroner (CABG) (pada pasien tertentu dengan penyakit multivesel.

Penatalaksanaan  pasien  IMA gelombang  Q dan non-Q pada dasarnya  sama, hanya terapi trombolitik belum direkomendasikan untuk IMA non-Q.

3.5.4.  Terapi Angina Pektoris Tak Stabil


1). Pasang infus intravena : dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.


2). Aktivitas: istirahat di tempat tidur dengan kursi commode di samping tempat tidur dan mobilisasi sesuai toleransi setelah 12 jam.

3). Diet: puasa sampai nyeri hilang, kemudian diet cair. Selanjutnya diet jantung

(rendah lemak tinggi serat).
4). Medikamentosa:

•    Oksigen   nasal   2   l/mnt;   terutama   pada   pasien   sianosis,   distress pernafasan atau risiko tinggi.
•    Mengatasi  rasa  nyeri:  nitrat  sublingual  atau  patch.  Jika  angina  tidak membaik  setelah  pemberian  nitrogliserin  sublingual  3 kali  berturut-turut atau setelah terapi anti-iskemik adekuat angina berulang diberikan: nitrogliserin  drip  atau  morfin  2,5  mg  intravena,  dapat  diulang  tiap  lima menit  sampai  dosis  total  20 mg  atau  petidin  25-50  mg  intravena  atau tramadol 25-50 mg intravena.
•    Aspirin 80 –325 mg  hisap atau telan, tiklopidin 2 x 250 mg jika terdapat hipersensitivitas atau kontraindikasi terhadap aspirin.
•    Heparin intravena sesuai protokol. Target aPTT 1,5-2,5 kontrol. Biasanya diberikan 3-5 hari tergantung respon klinis.
•    Nitrat oral atau topikal kerja panjang setelah nitrogliserin sublingual

•    Penghambat beta:

1.  Propranolol: 0,5-1 mgIV, dilanjutkan 3 x 10-40 mg oral.

2.  Metoprolol:  5  mg  intravena  (diberikan  perlahan  dalam  1-2  menit) diulang  tiap  5  menit  sampai  dosis  awal  total  15  mg,  dilanjutkan metoprolol oral 2 x 25-50 mg.
3.  Atenolol:  5  mgIV,  dilanjutkan  5  menit  kemudian  5  mg  intravena, kemudian 1 x 50-100 mg oral.
4.  Esmolol:   mulai   dengan   dosis   pemeliharaan   0,1   mg/kgBB/menit, dititrasi  dengan  menaikkan  dosis  0,05  mg/kgBB/menit,  tiap  10-15 menit yang masih dapat ditoleransi sampai respon terapi yang diharapkan,   atau  telah  tercapai   dosis  0,2  mg/kgBB/menit.   Dosis loading pilihan lain untuk onset kerja yang lebih cepat adalah 0,5 mg/kgBB/menit   diberikan   intravena   perlahan   (2-5   menit).   Target frekuensi jantung 50-60/menit.

•    Mengatasi rasa takut dan cemas: diazepam 3 x 2-5 mg oral atau IV.

•    Obat pelunak tinja, laktulosa (laksadin) 2 x 15 ml.

•    Pertimbangkan  antagonis  kalsium  terutama  deltiazem  bila  ditemukan:

hipertensi, iskemia refrakter, angina varian.
Kateterisasi jantung segera dilakukan pada pasien dengan episode iskemia berat

> 1 kali dan berkepanjangan (> 20 menit), terutama yang disertai dengan: edema paru akut, regurgitasi  mitral baru atau perburukan,  hipotensi,  perubahan  ST-T baru.
BAB IV

FARMAKOTERAPI


4.1.  Terapi Farmakologi


Farmakoterapi  SKA didasarkan pada pengetahuan  tentang mekanisme, manifestasi   klinis,  perjalanan  alamiah  dan  patologis  baik  dari  sisi  selular, anatomis dan fisiologis dari kasus SKA yang hendak diobati dan pengertian yang mendalam,   luas   serta   profesional   tentang   farmakologi   obat   yang   akan digunakan.


Pada prinsipnya  terapi pada kasus SKA (Tabel 6), ditujukan  untuk mengatasi nyeri angina dengan cepat, intensif dan mencegah  berlanjutnya  iskemia serta terjadinya  infark  miokard  akut  atau  kematian  mendadak.  Oleh  karena  setiap kasus berbeda  derajat keparahan  atau riwayat penyakitnya,  maka cara terapi terbaik adalah individualisasi dan bertahap, dimulai dengan masuk rumah sakit
(ICCU) dan istirahat total (bed rest).



1. Mengatasi nyeri angina dengan cepat dan intensif
2. Mencegah berlanjutnya iskemia serta terjadinya infark miokard
3. Mencegah kematian mendadak


Tabel 7. Prinsip terapi pada pasien SKA


The American Heart Association in Collaboration  With the International Liaison Committe on Resuscitation  (ILCOR), dalam pedomannya  tentang SKA menjelaskan,  tujuan utama/primer  terapi pada pasien SKA adalah mengurangi nekrosis   myokardial   pada   pasien   dengan   berlanjutnya   infark,   mencegah kejadian-kejadian penting dari efek yang merugikan penyakit jantung (kematian, nonfatal infark miokardial, dan kebutuhan untuk revaskularisasi), dan segera defibrilisasi bila terdapat ventricular fibrillattion (VF).


Adapun  kelompok  obat yang sering  digunakan  pada pengobatan  kasus SKA, secara   optimal   adalah;   anti-iskemik,   antitrombin/antikoagulan,    antiplatelet,
trombolitik/fibrinolitik serta obat tambahan yakni ACE-Inhibitor dan obat-obat penekan lemak.
ACC/AHA dalam pedoman merekomendasikan, terapi awal untuk SKA ialah pemberian aspirin, klopidogrel, dan heparin atau low molecular weight heparin, penyekat beta dan nitrat. Lalu dilakukan penilaian risiko dengan melihat keadaan klinis, EKG dan laboratorium. Untuk pasien dengan risiko tinggi seperti perhubungan  segmen  ST,  troponin  positif,  TIMI  risk  score  lebih  dari  3, perlu diberikan obat GP IIb/IIIa inhibitor. Dianjurkan strategi invasif untuk pasien yang mempunyai  risiko  tinggi  dan  strategi  konservatif  untuk  pasien  dengan  risiko rendah.  Untuk  penderita  IMA  direkomendasikan  penggunaan fibrinolitik/trombolitik  disamping  pemakaian  obat-obat  sebagaimana  pada penderita APTS/ NTEMI. Sedangkan penggunaan jangka panjang digunakan formula terapi berupa aspirin, penyekat beta, ACE-Inhibitor, dan Statin.


4.1.1.  Terapi Anti-Iskemik


Tujuan terapi adalah untuk mengurangi iskemia dan mencegah terjadinya kemungkinan  yang  lebih  buruk,  seperti  infark  miokard  atau  kematian.  Pada keadaan ini, obat-obat anti iskemik mulai diberikan bersamaan sambil merencanakan   strategi   pengobatan   difinitif.   Terapi   anti   iskemik   termasuk; penderita   dirawat dengan  tirah baring dengan monitoring  EKG kontinu untuk iskemik  yang  masih  berlanjut  dan  direksi  aritmia  bagi  pasien-pasien  dengan risiko  tinggi.  Oksigen  harus  diberikan  pada  semua  pasien  untuk mempertahankan saturasi O2 > 90%.

4.1.1.1.  Nitrat

Nitrat mengurangi kebutuhan oksigen dan menigkatkan suplai oksigen. Nitrat I.V harus  diberikan  pada  pasien  :  yang  masih  mengalami  nyeri  dada  setelah pemberian 3 tablet nitrat sublingual (bila tidak ada kontraindikasi seperti penggunaan sildenafil dalam 24 jam terakhir) EKG menunjukan iskemia miokard (menderita gagal jantung).

Pada  pasien  dengan  normotensi,  tekanan  darah  sisitolik  tidak  boleh  turun dibawah 110 mmHg, sedangkan pada pasien hipertensi, tekanan darah rerata
tidak boleh turun > 25%. Nitrat oral dapat diberikan setelah 12-24 jam periode bebas   nyeri.   Rebound   angina   dapat   terjadi   bila   nitrat   dihentikan   secara mendadak.
Nitrat umumnya  dipakai pada SKA, walaupun  tidak terdapat  cukup data yang membuktikan   bahwa   obat   ini  mencegah   infark   jantung   atau   menurunkan mortalitas. Nitrat mempunyai efek anti-iskemik melalui berbagai mekanisme :


1.  Menurut   kebutuhan   oksigen   miokard   karena   penurunan   preload   dan afterload,
2.   Efek vasodilatasi sedang,

3.  Meningkatkan aliran darah kolateral,

4.  Menurunkan kecendrungan vasospasme, serta

5.  Potensial dapat menghambat agregasi trombosit.



Pada APTS, preparat intravena disarankan dipakai lebih dulu karena penggunaannya dan titrasi dosisnya mudah serta bila diinginkan efeknya segera hilang bila infus dihentikan. Pemberian intravena dilaksanakan dengan titrasi ke atas (dosis lebih besar) sampai keluhan terkendali atau sampai timbul efek samping   (terutama   nyeri   kepala   atau   hipotensi).   Preparat   oral   kurang disarankan   pada   terapi   pemula   karena   pengaturan   dosisnya   lebih   sulit. Keberatan terapi intravena adalah karena penggunaan  terus menerus mudah menyebabkan toleransi setelah 24 jam. Belum jelas mengapa toleransi mudah timbul, tatapi hal ini diperkirakan disebabkan karena produksi superoksida dan endotelin dari pembuluh darah yang berlebihan. Bila takifilaksis terjadi, hal ini dapat diatasi dengan menaikkan dosis, atau mengubah cara pemberiannya menjadi oral dan mengadakan masa bebas nitrat 6 sampai 8 jam. Penambahan obat  antioksidan,  khususnya  vitamin  C,  dilaporkan  juga  mencegah  toleransi nitrat. Alternatif lain nitrat adalah nitrate like drugs, seperti sydnonimines atau K- channel agonists.
Dosis yang direkomendasikan

Obat                           Rute                                   Dosis                           Onset

Nitrogliserin, gliseril

Intravena                          5-200 if/ menit                                      1 menit

trinitrat
Sublingual                         0.3-0.6 mg, dapat diulangi s/d 5 kali, tiap 5 menit

2 menit


Isosorbid dinitrat

Patch transdermal            5 -10 mg selama 24 jam                      1-2 menit

Intravena                          1.25-5 mg/jam                                     1 menit

Sublingual                         2.5-10 mg/jam                                     3-4 menit
Isosorbid mononitrat       Oral                                   20-30 mg,2-3 kali/hari s/d 120mg dalam dosis terbagi

30-60 menit


Tabel 8. Rekomendasi Dosis Golongan Nitrat




4.1.1.2.  Penyekat-β

Penyekat-β   jelas  sudah  terbukti  menurunkan  angka  kematian  pasien  infark jantung dan hal ini terutama karena penyekat-β menurunkan kebutuhan oksigen miokard.  Data  yang  mendukung  penggunaan  Penyekat-β   pada  APTS  tidak banyak. Pada metanalisis 4700 pasien APTS oleh Yusuf dkk, Penyekat-β menurunkan  risiko infark miokard  sebesar  13% (p<0.04).  Karena  patogenesis APTS dan infark miokard amat mirip, penyekat-β  disarankan  untuk digunakan pula pada APTS.


Penyekat-β   secara  kompetitif  menghambat  efek  katekolamin  pada  reseptor beta.  Penyekat  beta  mengurangi  konsumsi  oksigen  miokard  melalui pengurangan  kontraktilitas  miokard,  denyut  jantung  (laju sinus), konduksi  AV dan tekanan darah sistolik. Bila tidak ada kontraindikasi,  pemberian penyekat beta harus dimulai segera. Penyekat beta tanpa aktivitas simpatomimetik lebih disukai, seperti metoprolol, atenolol, esmolol atau bisoprolol. Kontraindikasi penyekat beta adalah blok AV derajat 2 atau 3, asma, gagal jantung yang dalam keadaan dekompensasi dan penyakit arteri perifer yang berat.
Dosis yang

dirokemendasikan
Target denyut jantung saat istirahat

adalah 50 - 60 kali/ menit

Metoprolol                  25 - 50 mg oral 2 kali /hari

Propranolol                20 - 80 mg oral perhari dalam dosis terbagi

Atenolol                      25 - 100 mg oral sehari


Tabel 9. Rekomendasi Dosis Golongan Penyekat-β


Tidak ada perbedaan bermakna dalam memanfaatkan klinis dari berbagai jenis Penyekat-β  (oral atau intravena, bekerja jangka pendek atau jangka panjang). Penggunaan penyekat-β harus berhati-hati terhadap kemungkinan adanya kontraindikasi dan bila ada kemungkinan ini maka harus dipilih obat penyekat-β dengan masa kerja pendek. Terapi oral ditujukan untuk mencapai target denyut jantung 50-60/ menit.




4.1.1.3.  Antagonis Kalsium

Antagonis kalsium mengurangi influks kalsium yang melalui membrane sel. Obat ini menghambat kontraksi miokard dan otot polos pembuluh darah, melambatkan konduksi AV dan depresi nodus SA. Efek vasodilatasi, inotoropik, blok AV dan depresi nodus SA. Efek vasodilatasi, inotoropik, blok AV dan depresiasi nodus SA bervariasi pada antagonis kalsium yang berbeda. Penggunaan dihidropiridin yang lepas cepat dan kerja singkat (seperti nifedipine) berkaitan dengan peningkatan  risiko  pada  pasien  tanpa  penghambatan  beta  yang  adekuat  dan harus dihindari.


Indikasi :

•   Pada  pasien-pasien  dengan  agina  berulang  atau  berkelanjutan  walaupun telah mendapatkan  nitrat & penghambat  beta dengan  dosis adekuat,  atau pasien-pasien yang tidak dapat bertoleransi terhadap nitrat dan penghambat beta dengan dosis yang adekuat.
•   Angina prinzmetal (angina varian).

Dosis yang direkomendasikan

Nama Obat                                     Dosis                                           Lama Kerja

Dilitazem                 Lepas cepat : 30-120 mg 3x/hari                   Singkat

Verapamil               Lepas lambat : 100-360 mg 1 kali /hari

Lepas cepat : 40-160mg 3x/ hari

Lepas lambat : 120-480 mg ax/hari

Lama

Singkat

Lama

Antagonis kalsium lain belum pernah dilakukan uji dalam konteks APTS/NSTEMI

Tabel 10 Rekomendasi Dosis Golongan Antagonis Kalsium


Meta-analisis penyelidikan terapi dengan antagonis kalsium pada APTS menunjukkan  bahwa obat ini tidak menurunkan  kekerapan  infark jantung atau mortalitas. Pada pasien yang sebelumnya tidak mendapat obat penyekat-β dibandingkan  dengan  plasebo,  pemberian  nifedipin  konvensional  menaikkan risiko   infark   jantung   atau   angina   berulang   16%   ;   sedangkan   kombinasi metoprolol dan nifedipin menurunkan  risiko ini 20% (keduanya tidak mencapai kemaknaan  statistik).  Penjelasan  mengapa  penggunaan  monoterapi  nifedipin dapat  menaikkan  mortalitas  adalah  karena  obat  ini  menyebabkan  takikardi refleks dan menaikkan kebutuhan oksigen miokard. Berbagai obat golongan dihidropiridin selektif lebih baru telah diperkenalkan, tetapi efeknya pada APTS masih belum jelas.


Berbeda dengan monoterapi nifedipin, terapi diltiazem dan verapamil dapat menurunkan  mortalitas  dan  reinfark  pada  pasien  SKA  dengan  fraksi  ejeksi normal  dan bila disertai  adanya  bendungan  paru pada  foto dada  (penurunan mortalitas dan reinfark 30% pada pasien yang mendapat diltiazem dibandingkan plasebo selama masa pemantauan 25 bulan). Penjelasan hal ini memungkinkan karena pada pasien dengan faal sistolik normal, obat ini menurunkan frekuensi jantung, menurunkan kontaktilitas jantung, serta menurunkan afterload.


Antagonis kalsium, khususnya non dihidropiridin, harus dibatasi penggunaannya pada  pasien  di  mana  terdapat  kontraindikasi  penggunaan  penyekat-β   atau keluhan menetap walaupun telah diberi terapi agresif dengan aspirin, nitrat dan
penyekat-β.  Nifedipin  atau  dihidropiridin  lain  tidak  disarankan  dipakai  pada pasien yang tidak mendapat penyekat-β

4.1.1.4   Morfin


Morfin adalah analgetik dan anxiolitik poten yang mempunyai efek hemodinamik. Diperlukan monitoring tekanan darah yang seksama. Obat ini direkomendasikan pada pasien dengan keluhan menetap atau berulang setelah pemberian terapi anti-iskemik.



Dosis yang direkomendasikan

Bolus IV                                              2-5 mg

Dosis ulang                                        Dapat diberikan

Harus hati-hati bila diatas 10mg IV obat anti emetic IV diberikan bersamaan


Tabel 11 Rekomendasi Dosis Morfin


Efek samping seperti hipotensi terutama pada pasien dengan kekurangan cairan, mual, muntah dan depresi pernafasan kadang-kadang terjadi. Naloxone (0.4 - 2 mg IV) dapat diberikan sebagai antidotum bila terjadi overdosis morfin dengan depresi pernafasan dan/ atau sirkulasi.


4.1.2.  Terapi Antitrombotik

Terapi antitrombotik  sangat penting dalam memperbaiki hasil dan menurunkan risiko   kematian,   IMA   atau   IMA   berulang.   Saat   ini   kombinasi   dari   ASA, klopidogrel,  unfractionated  heparin (UFH) atau Low Molecular  Weight Heparin (LMWH) dan antagonis reseptor GP IIb/IIIa merupakan terapi yang paling efektif. Intensitas pengobatan tergantung dari risiko pengobatan seperti terangkum pada gambar dibawah ini (Gambar 6):

Pasien APTS/NSTEMI
dgn risiko rendah

Pasien APTS/NSTEMI dgn risiko tinggi

ASA  +
ASA  +


Klopidogrel  +
Klopidogrel*  +


LMWH SK atau UFH IV
LMWH SK atau UFH IV  +


Antagonis GP IIb/IIIa IV


* Jika klopidogrel tidak memungkinkan, direkomendasikan pemakaian ticlopidin

250 mg bid


Gambar 6. Terapi Antitrombotik



4.1.2.1.  Obat Antitrombotik Oral

Terapi antitrombotik merupakan terapi yang penting untuk memodifikasi proses dan progresifitas dari penyakit.


4.1.2.1.1.  Obat Penghambat Siklo-Oksigenase (COX) Aspirin/Asam Asetil Salisilat (ASA)
Aspirin  bekerja  dengan  cara  menekan  pembentukan  tromboksan  A2  dengan cara menghambat siklooksigenase di dalam platelet (trombosit) melalui asetilasi yang  ireversibel.  Kejadian  ini  menghambat  agregasi  trombosit  melalui  jalur tersebut dan bukan yang lainnya. Sebagian dari keuntungan ASA dapat terjadi karena kemampuan anti inflamasinya, yang dapat mengurangi ruptur plak. Dosis awal 160 mg, lalu dilanjutkan dengan dosis 80 mg sampai 325 mg untuk seterusnya. Dosis yang lebih tinggi lebih sering menyebabkan efek samping gastrointestinal.  Aspirin tidak menyebabkan  hambatan  total agregasi  trombosit karena aspirin tidak sempurna menghambat aktivitas trombosit yang dirangsang oleh ADP, kolagen, serta trombin dalam konsentrasi  rendah dan aspirin tidak menghambat adhesi trombosit.
Dari   studi   ISIS-2,   dosis   160   mg   ASA   digunakan   dimana   secara   jelas menunjukkan  efikasi ASA pada pasien dengan dugaan IMA. Karenanya  dosis minimum ASA sebesar 160 mg direkomendasikan pada pasien APTS/NSTEMI.


Dari percobaan lain yang sama dan terandomisasi dari terapi antitrombotik, didapatkan   penurunan yang bermakna dari kematian, IMA dan stroke dengan penggunaan jangka panjang anti trombotik pada pasien yang berbeda-beda kategori.


Pada  penelitian  dengan  dosis  yang  berbeda  dari  ASA  dengan  penggunaan jangka  panjang  pada  pasien  dengan  PJK  menunjukkan   hasil  yang  sama efikasinya untuk dosis perhari antara 75 – 325 mg. Pada pasien yang datang dengan  dugaan  SKA  dan  belum  menggunakan  ASA,  dosis  pertama  yang digunakan atau diberikan adalah ASA yang sudah dihancurkan/dikunyah  untuk mencapai kadar yang cukup di darah. Penyelidikan Veterans Administrarion Cooperative  Study,  Canadian  Multicenter  Trial,  dan  Montreal  Heart  Institute Study  membuktikan   bahwa  aspirin  menekan   risiko  kematian   kardial  serta menekan kejadian infark miokard fatal dan non fatal sebanyak 51 - 72% pada pasien APTS.


Kontraindikasi  aspirin  sangat  sedikit,  termasuk  alergi  (biasanya  timbul  gejala asma), ulkus peptikum aktif, dan diatesis perdarahan. Aspirin disarankan untuk semua pasien dengan dugaan SKA, bila tidak ditemui  kontraindikasi pemberiannya.


4.1.2.1.2. Antagonis Reseptor Adenosin Diphospat

Obat ini bekerja  berbeda  dari jalur ASA-tromboksan  A2 dengan  menghambat adenosin diphospat (ADP), menghasilkan penghambatan agregasi trombosit. Ticlopidin dan Klopidogrel dua obat dari jenis Thienopyridines  telah diakui dan disetujui sebagai antitrombotik oral.
Tiklopidin

Tiklopidin merupakan derivat tienopiridin merupakan obat pilihan lain dalam pengobatan SKA selain aspirin. Obat ini bekerja dengan menghambat ADP sehingga karenanya agregasi trombosit dan perubahan reseptor fibrinogen trombosit   menjadi   bentuk   yang   mempunyai   afinitas   kuat   juga   dihambat. Tiklopidin dapat dipakai pada pasien yang mempunyai hipersensitivitas atau gangguan gastrointestinal akibat aspirin. Efek samping terpenting adalah trombositopenia dan granulositopenia sebesar 2.4% umumnya reversibel setelah pemberian obat dihentikan.


Pada   penelitian   secara   samar   terbuka,   pasien   dengan   APTS   dilakukan randomisasi dengan menerima 250 mg tiklopidin dua kali per hari dibandingkan dengan terapi standar. Pada pengamatan 6 bulan, tiklopidin menunjukkan pengurangan kejadian IMA fatal dan non fatal sebesar 46%. Karenanya tiklopidin dapat   dipertimbangkan   sebagai   pengobatan   alternatif   untuk   jangka   waktu panjang apabila pasien tidak toleran terhadap ASA. Pemakaian tiklopidin berhubungan   dengan   netropenia   pada   2.4%   pasien.   Sangat   dianjurkan pemakaian obat ini harus hati-hati. Pengamatan terhadap nilai lekosit dan jumlah trombosit  harus  dilakukan  saat  awal  pengobatan,  setiap  2  minggu  selama  3 bulan  pertama  pengobatan  dan  dalam  15 hari  saat  pengobatan  berhenti  jika terjadi selama masa pengobatan 3 bulan pertama. Jika terjadi netropenia (<1500
netrophil/mm3) atau trombositopenia (<100.000 trombosit/mm3), tiklopidin harus

dihentikan  dan  pemeriksaan  darah  harus  dimonitor  sampai  kembali  ke  nilai normal. Pasien harus dilaporkan segera jika terjadi demam, tenggorokan gatal atau luka di mulut (yang berkaitan dengan netropenia).


Klopidogrel

Obat  ini juga  merupakan  derivat  tienopiridin  yang  lebih  baru  bekerja  dengan menekan aktivitas kompleks glikoprotein IIb/IIIa oleh ADP dan menghambat agregasi  trombosit  secara  efektif.  Klopidogrel  mempunyai  efek  samping  lebih sedikit dari tiklopidin.
Dari studi CAPRIE, pasien secara acak dipilih untuk menerima 325 mg/hari ASA atau  75  mg/  klopidogrel.  Ditemukan  penurunan  risiko  relatif  dan  kejadian iskemia, IMA atau kematian akibat vaskular sebanyak 8,7% untuk yang menggunakan klopidogrel. Pada studi CURE, pasien yang datang 24 jam setelah SKA secara acak menerima klopidogrel (segera 300 mg, diikuti 75 mg tiap hari) atau  plasebo  ditambahkan  selain  ASA  selama  periode  3  sampai  12  bulan. Hasilnya menunjukkan  penurunan  yang bermakna  dari angka kematian  akibat penyebab kardiovaskular, IMA non fatal atau stroke pada kelompok yang mendapatkan pengobatan (9.3% dibandingkan 11.4% kelompok plasebo).


Klopidogrel  dapat  dipakai  pada  pasien  yang  tidak  tahan  dengan  aspirin  dan dalam jangka pendek dapat dikombinasi   dengan aspirin untuk pasien yang menjalani pemasangan stent.


Dosis yang direkomendasikan

Dosis awal                                     ASA 300 mg, dan Klopidogrel 300mg* Dosis pemeliharaan                      ASA 75 – 150 mg seumur hidup, dan
Klopidogrel 75 mg selama 1 tahun*


*    Bagi  yang  intoleran  dengan  ASA  dan  klopidogrel  tak  dapat  disediakan, ticlopidin 250 mg bid direkomendasikan.


4.1.2.2.  Obat antitrombotik lainnya

Sulfinpyrazon,  dipiridamol,  prostacylin,  analog  prostacyclin  dan  antagonis  GP IIb/IIIa  oral belum  jelas  keuntungannya  pada  APTS/NSTEMI,  karena  itu tidak direkomendasikan.


4.1.3.  Terapi Antikoagulan

4.1.3.1.  Unftactionated Heparin

Unftactionated Heparin (selanjutnya disingkat sebagai UFH) merupakan glikosaminoglikan  yang terbentuk dari rantai polisakarida dengan berat molekul antara 3000-30.000. rantai polisakarida ini akan mengikat antitrombin III dan mempercepat  proses hambatan antitrombin II terhadap trombin dan faktor Xa. UFH diberikan untuk mencapai nilai APTT 1.5 sampai 2.5 kali kontrol.
Walaupun    UFH  banyak  dipakai  untuk  pengobatan  SKA  terdapat  variabilitas besar  dalam  efek  terapeutiknya  (dose-response  curve).  Hal  ini  disebabkan karena  UFH  juga  mengikat  protein  plasma  lain  selain  antitrombin.  UFH  tak berefek  terhadap  trombin  yang sudah  terikat dengan  bekuan  darah dan UFH sensitif   terhadap   faktor   4   trombosit   (platelet   faktor   4).   Kesemuanya   ini menurunkan efek antibiotik UFH. Selain itu UFH dapat pula menyebabkan indiosinkrasi dan trombositopenia


Meta-analisis  6  penyelidikan  efek  heparin  ditambahkan  kepada  terapi  aspirin pada ATS tidak membuktikan bahwa kombinasi ini betul lebih bermanfaat. Tetapi harus  disadari   bahwa   penyelidikan   skala  besar  belum  dilakukan.   Sampai sekarang dalam pedoman baru penatalaksanaan SKA terapi kombinasi UFH dan aspirin masih disarankan.


4.1.3.2.  Heparin dengan berat molekul rendah (LMWH)

Berbeda dengan UFH, LMWH mempunyai efek farmakokinetik yang lebih dapat diramalkan, bioavaliabilitasnya lebih baik, waktu paruhnya lebih lama, serta pemberian lebih mudah.


Dibandingkan  dengan  UFH,  LMWH  mempunyai  efek antifaktor  Xa yang lebih tinggi dibandingkan efek antifaktor IIa (antitrombin). Selain itu LMH kurang peka terhadap faktor 4 trombosit. LMWH lebih jarang menyebabkan trombositopenia. Berbagai jenis LMWH dengan rantai fragmen berikatan pendek (<18 sakarida) telah  diformulasikan,  dan  masing-masing  mempunyai  efek  berbeda  terhadap rasio  antifaktor  Xa antifaktor  IIa. Rasio  antifaktor  Xa antifaktor  IIa yang  lebih tinggi menunjukan efek inhibisi pembentukan trombin yang lebih besar dan efek hambatan terhadap aktivitas trombin juga lebih besar.


Berbagai penyelidikan membuktikan bahwa efek LMWH pada APTS tidak sama, tergantung pada preparat yang dipakai. Hal ini antara lain disebabkan oleh perbedaan  rasio  antifaktor  Xa  antifaktor  IIa.  Makin  tinggi  rasio,  makin  baik efeknya sedangkan rasio rendah akan memberikan  efek samping seperti UFH biasa.
No                                                     Keunggulan

1.      Mengurangi ikatan pada protein pengikat heparin

2.      Efek yang dapat diprediksi lebih baik

3.      Tidak membutuhkan pengukuran APTT

4.      Pemakaian subkutan, menghindari kesulitan dalam pemakaian secara IV

5.      Risiko perdarahan kecil

6.      Risiko yang berkaitan dengan HIT (heparin induced trombocytopenia)

7.      Secara ekonomis lebih hemat

Tabel 12 Keunggulan Low Molecular Weight Heparin (LMWH)


Penyelidikan FRISC dengan dalteparin menunjukan bahwa dengan terapi dasar aspirin, LMWH lebih baik dari plasebo  dan obat ini dapat diberi dalam waktu lama.  Pada  penyelidikan   FRIC  dalteparin   dibandingkan   dengan  UFH  dan ternyata tidak dijumpai perbedaan bermakna. Pada penyelidkan FRISC II dibandingkan manfaat pemberian LMWH dalteparin jangka pendek (5 hari) dan jangka panjang (3 bulan). Ternyata tidak ditemui perbedaan  primary end-point kematian dan infark jantung dalam waktu 9 hari. Analisis sekunder pada 30 hari masih memperlihatkan  kelebihan LMWH dibandingkan UFH, akan tetapi hal ini menghilang setelah kurun waktu 90 hari. Penyelidikan the efficacy and safety of subcutaneous enoxaparin in non-Q Wave coronary events (ESSENCE) membandingkan  enoksaparin dan UFH. Terapi diberikan 2-8 hari (rata-rata 2.6 hari). Penyelidikan ini membuktikan bahwa end point gabungan kematian, infark jantung  atau  angina  berulang  lebih  sedikit  dengan  enoksaparin  dibandingkan UFH pada hari ke-14 (kekerapan 16.6% vs 19.8%; p = 0.016) dan pada hari ke-
30 (19.8% vs 23.3%;p=0.016) manfaat baik ini ternyata masih dijumpai setelah kurun waktu 1 tahun, dimana kekerapan tersebut lebih rendah 3.7/100 pasein
(p=0.22)

LMWH           Berat Molekul      Rasio anti Xa:antilla

Ardeparin                    6000                            1.9

Dalteparin                   6000                            2.7

Nadroparin                  4500                            3.6

Tinzaparin                   4500                            1.9

Enoxaparin                 4200                            3.8

Reviparin                    4000                            3.5

Tabel 13 Low Molecular Weight Heparin (LMWH) dan
Rasio Antifaktor Xa:Antifaktor IIa
Pada  penyelidikan   Thrombolysis   In  Myocardial   Infarction   (TIMI)  11B  juga dilakukan  pembandingan  enoksaparin  dan  UFH;  tetapi  selain  itu  juga  diuji menfaat terapi 72 jam dibandingkan terapi 43 hari. Hasil sampai hari ke-14 sama dengan ESSENCE, dimana enoksaparin terbukti lebih baik daripada UFH dalam menurunkan   primary   end  point  (16.6%   (heparin)   vs  14.2%   (enoksaparin) (p=0.049).


Analisa gabungan  ESSENCE  dan TIMI-11B  menunjukan  perbedaan  absolut 3 per 100 pasien untuk end-point gabungan, rasio risiko 0.79 (CL 0.65-0.96) untuk kematian dan infark jantung. Secara keseluruhan enoksaparin menurunkan end- point kardial 3 per 100 tanpa disertai risiko perdarahan berarti.


Pada penyelidikan FARAXIS fraksiparin dibandingkan dengan UFH dan tidak ditemui perbedaan pada hari ke-6,14 dan 43.


Jadi hasil penyelidikan tersebut, pada pasien yang mendapatkan aspirin, LMWH jelas lebih baik daripada plasebo. Dua penyelidikan membuktikan bahwa LMWH (enoksapirin) lebih baik daripada UFH bila diberikan dalam jangka waktu pendek. Data  masih  belum  cukup  untuk  membuktikan  apakah  terapi  jangka  panjang dapat disarankan pula.


4.1.3.3. Komplikasi dari UFH/LMWH

Pendarahan minor biasanya dapat diatasi dengan penghentian pengobatan. Perdarahan besar seperti hematemesis, melena atau perdarahan intrakranial membutuhkan  penggunaan  antagonis  heparin  dengan  risiko  baru  fenomena reboun   trombotik.   Antikoagulan    dan   efek   perdarahan   dari   UFH   dapat dikendalikan  dengan  konsentrasi  molar  yang  sama  dari protamin  sulfat,  yang menetralisir  aktifitas  anti  faktor  IIa  dan  hasilnya  hanya  dalam  menetralisasi sebagai anti faktor Xa. Namun berdasarkan petunjuk dari ACC/AHA (American College of Cardiology/American  Heart Association) maupun ESC ( European of Society  of Cardiology),  enoxaparine  lebih dipilih sebagai  antikoagulan dibandingkan dengan UFH pada pasien dengan APTS/NSTEMI, kecuali pasien direncanakan CABG dalam 24 jam (Class IIa ACC/AHA), dan enoxaparine lebih
unggul      dibandingkan      UFH      untuk      kombinasi      end      point      berupa kematian/IMA/angina berulang.


Dosis yang direkomendasikan

UFH       Bolus IV              60 – 70 U/kg (maksimum 5000 u)

infus 12 U/kg/jam (maksimum 1000 U/ jam

Target APTT       1,5 – 2,0 kali atau tepatnya 60 - 80 detik

Harus dalam monitoring dan pengukuran

LMWH     Enoxaparin         1 mg/kg, SC, bid

(Lavenox)

Nadroparin          0,1 ml/10 kg, SC, bid

(Fraxiparine)


Tabel 14 Rekomendasi Dosis UFH / LMWH




4.1.3.4. Antitrombin Direk

Berbeda dengan obat antitrombin indirek (seperti UFH atau LMWH) yang bekerja dengan cara menghambat  faktor IIa dan faktor Xa, antitrombin direk langsung menghambat pembentukan trombin tanpa berpengaruh terhadap aktivitas antitrombin   III   dan   terutama   menekan   aktivitas   trombin.Termasuk   dalam golongan ini misalnya hirudin, hirulog, argatroban, efegatran dan inogatran.


Pada  saat  ini  belum  ada  keseragaman  pendapat  apakah  obat  antitrombin langsung aman dan bermanfaat untuk dipakai pada SKA. Pada penyelidikan Organization To Assess Strategies For Ischemic Syndromes, tetapi hirudin pada SKA  tanpa  elevasi  ST  memberikan  hasil  lebih  baik  daripada  UFH  dalam menekan  kematian,  infark jantung,  dan angina  refrakter,  tetapi hal ini disertai risiko pendarahan besar. Analisis gabungan OASIS-1 pilot studies, OASIS-2 dan GUSTO  IIb  menunjukkan  bahwa  hirudin  menurunkan  risiko  kematian kardiovaskuler dan infark jantung 22% pada 72 jam, 17% pada 7 hari, dan 10% pada 35 hari. Derajat penurunan ini mencapai kemaknaan statistik pada 72 jam dan 7 hari, serta berada dalam batas kemaknaan statistik (p = 0.057) pada 35 hari.  Terapi  inogatran  tidak  secara  bermakna  menekan  end  point  gabungan
kematian,  infark  jantung,  atau  angina  refrakter  dibandingkan  dengan  UFH. Hirudin dapat dipakai pada pasien dengan trombositopenia akibat heparin


4.1.3.5.  Antikoagulan Oral

Terapi  antikoagulan  oral  monoterapi  (misalnya  warfarin)  pasca-infark  jantung paling tidak sama efektifnya  dengan aspirin dalam mencegah  serangan  infark jantung  berulang  dan  kematian.  Akan  tetapi  apakah  kombinasi  warfarin  dan aspirin dapat memperbaiki prognosis pada SKA masih belum jelas.


Pada penyelidikan Antithrombotic Therapy In Acute Coronary Syndromes terapi kombinasi aspirin dan antikoagulan (heparin diikuti oleh warfarin, dengan target INR 2.0-3.0 selama 12 minggu) dijumpai penurunan primary end points angina berulang dengan perubahan EKG, infark jantung, kematian atau ketiganya dalam
14  hari,  dibandingkan  dengan  terapi  aspirin  saja.  Setelah  3  bulan  kejadian iskemik  turun 50% dan kecenderungan  pendarahan  hanya  sedikit  lebih tinggi pada terapi  kombinasi  dibandingkan  dengan  terapi  aspirin  tunggal.  Walaupun demikian  pada penyelidikan  coumadin  aspirin reinfarction  study tidak dijumpai manfaat lebih besar terapi kombinasi aspirin dan warfarin dengan dosis tetap (1 atau 3 mg, tanpa disesuaikan dengan INR) dibandingkan  dengan aspirin saja. Pada penyelidikan lain, terapi kombinasi dengan target INR 2.0-2.5 selama 10 minggu  setelah  terjadinya  APTS  memberikan  hasil  baik  secara  klinik  dan angiografik dibandingkan monoterapi aspirin tanpa disertai kecenderungan pendarahan yang meningkat.


Penyelidikan Organization To Assess Strategies For Ischemeic Syndromes Pilot Study  menunjukkan  bahwa  terapi  aspirin  dan  warfarin  dosis  sedang  untuk mencapai target INR 2.0-2.5 dalam 3 bulan merendahkan angka kematian infark jantung, dan strok dibandingkan aspirin tunggal; akan tetapi hasil baik ini dicapai dengan risiko pendarahan  yang meningkat pada pasien yang mendapat terapi kombinasi


Pada semua pedoman baru terapi antikoagulan  oral, baik sebagai monoterapi atau  dalam  kombinasi  dengan  aspirin  tidak  disebut  atau  disarankan  untuk dipakai pada SKA.
4.1.4.  Terapi Inhibitor Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa

Reseptor glikoprotein (GP) IIb/IIIa adalah reseptor penting pada proses akhir agregasi trombosit, yang akan berikatan dengan fibrinogen plasma atau faktor Von  Willebrand.   Ikatan  ini  akan  menjadi  “jembatan“   antar  trombosit  yang berdekatan untuk saling berikatan, dan seterusnya berikatan satu sama lain sedemikian  rupa sehingga akhirnya terbentuk  “sumbat“ hemostatik.  Trombosis dapat  dihambat  secara  efektif  dengan  penghambatan  reseptor  ini. Penghambatan   “jalur  akhir“  agregasi  trombosit  oleh  glikoprotein   IIb/IIIa  ini terbukti menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien dengan APTS/NSTEMI.


Reseptor  glikoprotein  IIb/IIIa yang diaktivasi  akan berikatan  dengan fibrinogen dan membentuk rantai dengan trombosit yang diaktivitasi dan dengan demikian terjadilah  trombus.  Jadi  berbeda  dengan  obat  anti-trombosit  lain  yang  hanya bekerja  pada  sebagian  dari  berbagai  tahapan  terjadinya  agregasi  trombosit, inhibitor glikoprotein IIb/IIIa bekerja pada tahapan akhir adhesi, aktivitas, dan agregasi trombosit. Tiga kelompok terpenting obat golongan ini adalah murine- human  chimeric  antibiodies  (misalnya  abxicimab),  peptida  sintetik  (misalnya eptifibatide), dan nonpeptida sintetik (misalnya trifiban dan lamifiban).


Abxicimab merupakan inhibiditor nonsepesifik dengan daya ikatan reseptor kuat dan seversibilitas hambatan trombosit lambat pulih walaupun terapi sudah dihentikan.   Eptifibatide   merupakan   peptida  siklik  yang  merupakan   inhibitor reseptor  glikoprotein  IIb/IIIa  selektif.  Masa  kerjanya  pendek  dan  hambatan trombosit hilang 2-4 jam setelah terapi dihentikan. Tirofiban merupakan inhibitor nonpeptida, bekerja cepat (5 menit), selektif dan cepat reversibel (4-6 jam). Lamifiban merupakan inhibitor nonpeptida sintetik dengan masa kerja 4 jam.


Penyelidikan PRISM, PRISM-PLUS, PURSUIT, PARAGON-A, PARAGON-B dan CAPTURE  membuktikan  bahwa  risiko  terjadinya  infark  jantung  dan  kematian turun bermakna dalam beberapa hari dan manfaat ini tetap diperoleh dalam pemantauan  sampai 30 hari. Walaupun demikian, harus diingat bahwa desain penyelidikan-penyelidikan di atas tidak sama. Pada sebagian penyelidikan dilakukan  pula  tindakan  PCI (15%  pada  PURSUIT,  35%  pada  PRISM-PLUS,
hampir semuanya pada CAPTURE), sedangkan pada PRISM angiografi dan PCI

ditunda sampai obat dihentikan setelah 48 jam.



Pada PURSUIT, PARAGON-B,  PRISM-PLUS  pada subgrup pasien yang tidak menjalani  tindakan  revaskularisasi  dini,  manfaat  inhibitor  glikoprotein  IIb/IIIa sedikit  atau  tidak  ada.  Manfaat  inhibitor  glikoprotein  IIb/IIIa  lebih  besar  pada pasien yang mengalami peningkatan kadar troponin T atau troponin I. Pada penyeledikan GUSTO IV-ACS, inhibitor glikoprotein   IIb/IIIa abxicimab diberikan
24 atau 48 jam ternyata tidak menurunkan kematian atau infark jantung. Hal ini menunjukkan bahwa abciximab tidak bermanfaat sebagai terapi pilihan pertama pada APTS/NSTEMI, kecuali bila merupakan bagian dari strategi revaskularisasi awal, sebagaimana dianjurkan oleh trial CAPTURE.    Penelitian-penelitian   acak lainnya juga menunjukkan  bahwa penggunaan  antagonis  reseptor  GP II b/IIIa selama face awal terapi farmakologis sebelum PCI ( penggunaan „upstream“ ) , ternyata   menurunkan   risiko  kematian   atau  infark  miocard.Lebih   jauh  lagi, penurunan  angka  kematian  yang  bermakna  pada  saat  PCI.  Terlihat  bahwa manfaat yang paling jelas dari antagonis reseptor GP IIb /IIIa adalah pada pasien yang  menjalani  PCI  awal,  saat  obat  ini  masih  diinfuskan,  sehingga  inhibisi trombosit dipertahankan dengan baik. Manfaat antagonis reseptor GP IIb/IIIa terutama juga pada pasien dengan iskemia yang masih berlangsung atau keadaan–keadaan berisiko tinggi lainnya seperti peningkatan TnT atau Tnl saat awal masuk. Penggunaan  antagonis  reseptor  GP II b/IIIa oral jangka  panjang pada pasien dengan APTS/ NSTEMI atau pasca PCI tidak terbukti bermanfaat.


ACC/AHA   dalam   pedomannya   merekomendasikan   penggunaan   antagonis reseptor GP IIb/IIIa dengan berbagai alasan dan pertimbangan antara lain; Berdasarkan data klinis terkini, tirofiban dan eptifibatide harus dipertimbangkan sebagai tambahan dari aspirin, klopidogrel dan UFH / LMWH, untuk penggunaan upstream pada pasien APTS/NSTEMI dengan iskemi yang berkepanjangan atau kondisi risiko tinggi lainnya.


Walaupun penggunaan  upstream abciximab untuk stabilisasi plak pada pasien

APTS/NSTEMI    yang    tidak    menjalani    angiografi    koroner    segera    tidak
direkomendasikan,  obat  ini  dapat  digunakan  selama  18-24  jam  pada  pasien

APTS/NSTEMI yang direncanakan PCI dalam 24 jam berikutnya.



Abciximab  dan eptifibatide  tetap merupakan  pilihan  pertama  dan kedua  pada pasien   APTS/NSTEMI.    Yang   menjalani   angioplasti   atau   stenting,   yang
sebelumnya tidak  mendapat antagonis reseptor GP IIb /IIIa.

Dosis yang direkomendasi

1. Abciximab ( reopro )

 Upstream use dan PCI elektif
Regimen dosis untuk fase awal terapi farmakologis sebelum dan selama PCI (upstream use) sebagai berikut :

9  Bolus IV 0,25 mg/kg selama 18-24 jam sebelum prosedur

9  Diikuti dengan infus 0,125mcg/kg permenit
(maksimum 10 mcg/mnt selama 12 jam)


PCI                     
 9  Bolus IV 0,25mcg/kg selama 10-60 menit sebelum PCI
dimulai.

9  Diikuti dengan infus 0,125 mcg/ kg permenit
(maksimum 10 mcg/mnt selama 12 jam)


2 . Eptifibatide(Integrillin )


Upstream            
 9  Bolus IV 180 mcg/kg

9  Diikuti dengan infus 2 mcg/kg permenit selama 72 jam atau sampai dipulangkan dari RS

9  Bila dilakukan PCI, infuse harus diteruskan sampai 96 jam

PCI                      
9  Bolus IV 180 mcg/kg

9  Segera diikuti infus 2 mcg/kg permenit

9  Dan 180 mcg/kg bolus kedua 10 menit kemudian

9  Infus harus diteruskan sampai pasien dipulangkan sampai dengan 18-24 jam.

3 . Tirofiban (Aggrastat )

Upstream             9  Bolus IV 0,4 mcg/kg permenit selama 30 menit

9  Diikuti infus 0,1 mcg/kg/mnt selama 48 jam-108 jam

9  Bila dilakukan PCI, infuse harus diteruskan sampai 12-
24 jam sesudah PCI

PCI                          
Bolus IV 10 mcg/kg selama 3 menit. Diikuti infuse 0.15 mcg/kg/mnt selama 36 jam


Tabel 15. Terapi Inhibitor Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa
4.1.5. Terapi Fibrinolitik

Terapi  fibrinolitik  (dulu  dinamakan  trombolitik)  bermanfaat  pada  STEMI,  akan tetapi  secara  umum  terapi  ini tidak  disarankan  pada  APTS/NSTEMI.  Dengan kata lain, penatalaksanaan  pasien NSTEMI dan STEMI pada dasarnya  sama, hanya terapi trombolitik belum direkomendasikan untuk NSTEMI. Berbagai penyelidikan terapi fibrinolitik dengan steptokinase, APSAC,t-Pa, atau urokinase dilaporkan  peningkatan  angka kematian,  infark jantung, serta pendarahan  bila diberikan pada pasien APTS atau NSTEMI.
Uji  klinik  yang  besar  dengan  pemakaian  obat  fibrinolitik  menunjukkan  obat seperti streptokinase  dan tissu plasminogen  activator  (tPA) dapat mengurangi kematian   dan   kejadian   kardiovaskular   pada   IMA,   tetapi   juga   masih   ada kekurangan pada terapi fibrinolitik.


Pemeriksaan  angiografi  menunjukkan  terapi  fibrinolitik  kadang-kadang   tidak berhasil menghilangkan trombus dengan sempurna sehingga aliran darah masih tetap kurang dan kematian masih tetap tinggi bila pemberiannya terlambat. Tertutupnya  kembali  pembuluh  darah  koroner  yang  semula  sudah  berhasil terbuka setelah pemberian terapi juga merupakan salah satu masalah pemberian trombolitik.  Salah  satu  studi  di  tahun  1990  yang  menyelidiki     pemakaian trombolitik pada 800 pasien menunjukkan terjadinya reoklusi sampai 12.4% dan hal ini menyebabkan bertambahnya kematian 2 kali lebih banyak dibandingkan yang tidak terjadi reoklusi. Reoklusi mungkin tidak memberikan keluhan (silent) kadang-kadang    menyebabkan    keluhan   angina   dan   dapat   menyebabkan terjadinya   infark  kembali   (reinfarction).   Data  dari  GUSTO   I  dan  III  yang menyelidiki sampai 56.000 pasien menunjukkan angka reinfarction sampai 4,3% yang dapat menyebabkan kenaikan angka kematian sampai 3 kali dalam 30 hari.


Terapi  fibrinolitik  juga  dapat  menyebabkan  terjadinya  paradoxical hypercoagulable state dengan menambah produksi trombin dengan aktivitasnya. Hal ini dapat menyebabkan  terjadinya  kejadian  iskemia yang baru dan hanya sebagian  dapat  ditolong  dengan  pemberian  heparin.  Reperfusi  di  pembuluh darah besar tidak selalu disertai reperfusi di tingkat sirkulasi mikrovaskular.
Untuk mengatasi  kelemahan  terapi fibrinolitik  di atas maka telah dicoba obat- obat  lain  untuk  terapi  tambahan   pada  IMA.  Obat-obat   baru  seperti  obat antiplatelet yang kuat dan LMWH dapat membantu kecepatan dan kelengkapan reperfusi dan mengurangi kemungkinan terjadinya reoklusi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada IMA, pemberian fibrinolitik sebaiknya ditambah antiplatelet, aspirin, dan LMWH.


4.1.6. Terapi Jangka Panjang

Kejadian koroner sering terjadi dalam beberapa bulan setelah SKA. Dicapainya stabilisasi klinik pasien tidaklah berarti bahwa proses patofisiologi yang mendasarinya juga sudah tenang. Beberapa penyelidikan menemukan masih adanya  kecenderungan  pembentukan  trombin  sampai  6  bulan  setelah  APTS atau infark jantung. Pada beberapa penyelidikan  terapi kombinasi heparin dan aspirin   dilaporkan   terjadinya   peningkatan   kejadian   klinik   setelah   heparin dihentikan. Pada pasien dengan iskemia berulang atau dalam risiko tinggi mengalami infark jantung di mana tindakan revaskularisasi tidak memungkinkan, maka terapi LMWH harus diberikan.


Penyekat-β  disarankan diteruskan setelah SKA karena memperbaiki prognosis. Obat penghambat ACE juga harus dipertimbangkan dipakai. Penyelidikan SAVE dan SOLVD membuktikan manfaat obat  penghambat ACE pada pasien penyakit jantung koroner dengan faal ventrikel menurun.


Penyelidikan Heart Outcome Prevention Evaluation (HOPE) membuktikan bahwa pada pasien berisiko tinggi tanpa kemunduran faal ventrikel atau gagal jantung, ramipril menurunkan kematian kardiovaskuler 25% dan infark jantung 20% dalam masa pemantauan 4-6 tahun.


Modifikasi faktor risiko diperlukan karena penyakit jantung koroner dan komplikasinya  selalu multifaktorial.  Merokok  harus dihentikan  dan dislipidemia harus segera  dikendalikan.  Perbaikan  klinis dengan  terapi  statin  dapat terjadi bukan hanya akibat regresi aterosklerosis atau hambatan progresi aterosklerosis tetapi dapat pula karena perbaikan fungsi endotel, pasivasi proses peradangan
plak, atau penurunan faktor-faktor  protrombolik.  ACC/AHA dalam pedomannya tahun  2002,  merekomendasikan  penggunaan  aspirin,  beta-bloker,  ACE-I,  dan statin untuk terapi jangka panjang pada pasien SKA.


Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (ACE-I)

Angiotensin   bekerja  sebagai  hormon  sistemik,  hormon  lokal  jaringan,  dan sebagai neurohormonal susunan saraf pusat. Penghambat ACE (ACE-I) bekerja dengan  cara  menghambat  enzym  ACE  secara  kompetitif  melalui  ikatan  pada active   catalytic   enzym   tersebut,   dengan   demikian   akan   terjadi   hambatan perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II. Hambatan tersebut selain terjadi pada sirkulasi sistemik juga terjadi pada ACE jaringan yang dihasilkan oleh sel- sel endotel  jantung,  ginjal,  otak dan kelenjar  adrenal.  Penghambat  ACE  juga berperan dalam menghambat degradasi bradikinin, yang merupakan vasodilator.


Secara garis besar obat penghambat ACE mempunyai efek kardioprotektif dan vaskuloprotektif  terhadap  Jantung  dan Vaskular.  Pada  jantung  ACE-I  efeknya dapat   menurunkan afterload dan preload, menurunkan massa ventrikel kiri, menurunkan  stimulasi  simpatis,  serta  menyeimbangkan  kebutuhan  dan suplai oksigen. Pada vaskular ACE-I dapat berefek antihipertensi, memperbaiki dan kelenturan arterial, memperbaiki fungsi endotel, antitrombogenik langsung, antimigrasi dan antiproliferatif terhadap sel otot polos, neutrophil dan sel mononuclear, antitrombosit, dan meningkatkan fibrinolisis endogen.


Perkembangan  terkini melaporkan  bahwa ACE-I mempunyai  efek mengurangi cardiac event-nya sangat bermakna. Selama ini ada angapan ACE-I tidak mempunyai peran pada SKA, karena tertutupi oleh peran LMWH yang memang sangat  terbukti  keampuhannya   pada  SKA.  Pada  saat  ini  pandangan  atau pendapat tersebut telah berubah, karena dari suatu penelitian dibuktikan, pada lesi-lesi aterisklerotik yang vulnerable atau unstable atherosclerotic plaque yang mudah rupture atau disruption yang dikenal sebagai culprit lessions yang menyebabkan  terjadinya  SKA ditemukan  aktivitas  ACE.  Dengan  menghambat aksi  ACE  pada  cuprit  lesions,  ACE-I  mampu  atau  dapat  mengurangi  dan mencegah terjadinya cardiac events pada SKA, secara lebih bermakna.
Studi  HOPE  (Heart  Outcomes  Prevention  Evaluation)  melaporkan  penurunan angka  kematian  dan  kejadian  vaskuler  jangka  panjang  setelah  penggunaan ACE-I pada pasien-pasien PJK risiko sedang, dan kebanyakan dari mereka mempunyai  fungsi  ventrikel  kiri yang  baik.  Studi  EUROPA  juga  membuktikan manfaat ACEI pada penderita PJK dengan fungsi ventrikel kiri normal.


Pada   pasien   –   pasien   dengan   disfungsi   ventrikel   kiri   yang   tidak   dapat bertoleransi dengan ACEI, maka dapat dipertimbangkan pemberian ARB. Rekomendasi  di  atas  dibuat  berdasarkan  potensi  mereka  terhadap  manfaat jangka  panjang.  Untuk  mengontrol  gejala  iskemia,  dapat  digunakan  preparat nitrat, penyekat beta dan antagonis kalsium.


Statin

Statin telah menujukkan efek yang menguntungkan pada pasien-pasien dengan APTS/NSTEMI, terutama terhadap kadar lipid serum. Sebaiknya statin diberikan segera setelah onset APTS/NSTEMI. Saat ini obat golongan ini mengalami kemajuan   yang   sangat   menakjubkan    dalam   terapi   hipolipidemia   dalam mengurangi   kejadian  kardiovaskular,   karena  relatif  efektif  dan  sedikit  efek samping serta merupakan obat pilihan pertama. Obat golongan ini dikenal juga dengan  obat  penghambat  HMGCoA  reduktase.  HMGCoA  reduktase  adalah suatu enzym yang dapat mengontrol biosintesis kolesterol. Dengan dihambatnya sintesis kolesterol di hati dan hal ini akan menurunkan kadar LDL dan kolesterol total serta meningkatkan HDL plasma.


Penelitian-penelitian yang telah dipublikasikan mengkonfirmasikan, adanya hubungan  antara  dislipidemia  atau  tingginya  kolesterol  darah  dan  penyakit jantung koroner. Terdapat banyak bukti bahwa terapi penurunan kolesterol pada pasien-pasien  dengan  kadar  kolesterol  rata-rata  atau  tinggi  setelah  IMA  atau APTS akan menurunkan kejadian-kejadian vaskular dan kematian.


Dan penelitian juga membuktikan penurunan kadar lemak atau kolesterol secara agresif oleh obat golongan statin sangat bermanfaat dalam menekan atau mengurangi  kejadian-kejadian  koroner akut. Dilaporkan  juga, pemberian  statin sesudah  serangan  SKA  ternyata  dapat  mengurangi  lesi  aterosklerosis  telah
diteliti secara quantitative coronary angiography, disamping perbaikan gejala klinisnya. Diperkirakan dengan pemberian statin secara dini sesudah serangan jantung dapat mengurangi kemungkinan pembentukan lesi baru, mengurangi kemungkinan progresi menjadi oklusi. Studi MIRACL juga membuktikan manfaat pemberian dini atorvastatin 80 mg pada pasien SKA, dapat mencegah rekurensi serangan iskemik.


Statin   juga   ternyata   dapat   memperbaiki    fungsi   endotel   (RICIFE   trial), menstabilkan  plak,  mengurangi  pembentukan  trombus,  bersifat  anti-inflamasi, dan mengurangi oksidasi lipid (pleotrophic effect). Sekarang ini pemberian obat hipolipidemik atau golongan statin merupakan salah satu strategi yang sedang berkembang pada pengobatan SKA secara optimal.


Pemberian statin sebaiknya dimulai lebih awal sebelum pulang dari rumah sakit. Pasien dengan kadar LDL normal (kolesterol LDL 100 mg/dl)  tetapi kadar HDL rendah, lebih baik diterapi dengan fibrat. Statin sebaiknya diteruskan untuk mendapatkan keuntungan terhadap kelangsungan hidup jangka panjang.


4.2. Terapi Non-Farmakologi

4.2.1. Tindakan Revaskularisasi

Termasuk di sini yaitu operasi pintas koroner (coronary artery bypass grafting, CABG) dan PCI (angioplasti  koroner atau percutaneous  transluminal  coronary angioplasty  / PTCA)  dan tindakan  terkait seperti  misalnya  pemasangan  stent, aterektomi rotablasi, dan aterektomi direksional)


Pada era sebelum diperkenalkan  penggunaan stent dan antagonis glikoprotein IIb/IIIa, CABG disarankan pada pasien dengan anatomi koroner berisiko tinggi, seperti obstruksi ≥ 50% pembuluh kiri atau penyakit 3-pembuluh  (triple vessel disease)  terutama  bila  fraksi  ejeksi  rendah  (<  50%)  atau  ditemui  diabetes mellitus. Pada pasien dengan penyakit 2-pembuluh (double vessel disease) atau penyakit 3- pembuluh di mana kelainannya masih baik untuk PCI maka tindakan CABG atau PCI harus dipertimbangkan  secara individual. Meta-analisis  CABG dibandingkan PTCA konvensional (sebelum era stent) menujukan tidak adanya
perbedaan  antara  kedua  jenis  strategi  pengobatan  ini,  tetapi  pasien  yang menjalani  PTCA lebih sering harus menjalani  tindakan  ulang dan lebih sering mengalami angina berulang. Dengan adanya stent. maka angina berulang dan kebutuhan  tindakan revaskularisasi  ulangan juga menurun.  Stent juga menurunkan risiko tindakan pada pasien dengan APTS, termasuk menurunkan risiko oklusi akut, infark jantung, kebutuhan CABG darurat dan mengurangi restenosis jangka panjang. Dengan adanya obat anti-trombosit baru seperti tiklopidin  dan  klopidogrel,  maka  trombosis  akut  dan  sub  akut  dapat  ditekan sekitar <1 %. Hasil jangka pendek dan jangka panjang juga menjadi lebih baik secara bermakna dengan adanya inhibitor glikoprotein IIb/IIIa.


Kadang-kadang ditemui pasien dengan penyakit banyak pembuluh (multivessel disease) dimana tindakan revaskularissi total tidak memungkinkan dengan PCI, akan tetapi CABG mengandung risiko tinggi. Pada keadaan ini dapat diterapkan strategi hanya memperbaiki lesi yang menyebabkan SKA (culprit lesion).


Demikian pula pasien yang mempunyai komorbiditas berat yang menyebabkan risiko CABG menjadi tinggi dapat dipertimbangkan untuk menjalani tindakan PCI bertahap. Pasien left main disease disertai komorbiditas berat dapat dipertimbangkan menjalani PCI dengan pemasangan stent.


Indikasi tindakan revaskularisasi spesifik (CABG, PCI konvensional, stent, aterektomi) banyak tergantung kepada anatomi koroner, faal ventrikel kiri, pengalaman   dokter   (kardiolog   intervensional   atau   dokter   bedah),   adanya penyakit penyerta dan pilihan pasien sendiri.


4.2.2. Rehabilitasi medik

Bagi  penderita   yang  sedang   mengalami   serangan   jantung   tindakan   yang dilakukan   memang   bersifat   darurat  dan  dikerjakan   dengan   cepat.  Seperti melakukan  rangsangan  menggunakan  listrik bertegangan  tinggi ketika jantung berhenti berdenyut. Pada kondisi penanganan jantung seperti ini, tindakan yang cepat merupakan prioritas utama.
Pasien yang mengalami  serangan  jantung dan pasca operasi pada umumnya mengalami gangguan pada fungsi-fungsi organ tubuhnya. Karena itu untuk meningkatkan kemampuan organ itu paling tidak mendekati kondisi semula dilakukan rehabilitasi medik dengan maksud untuk mengoptimalkan fisik, fisiologi dan  sosial  pada  pasien-pasien  yang  sebelumnya  menderita  kejadian kardiovaskular.


Di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dilaksanakan rehabilitasi   medis   dengan   konsep   terpadu.   Jenis   pelayanan   rehabilitasi mencakup:
1.  Tes evaluasi, dengan treadmill atau Esrocycle test

2.  Pelaksanaan fisioterapi

3.  Pelaksanaan monitoring telemetri

4.  Program Rehabilitasi Fase II dan III

5.  Rehabilitasi Pasca MCI atau Pasca Operasi di ruang rawat

6.  Treadmill analyser/Ergocycle analyzer

7.  Holter

8.  Lead Potensial

9.  Vektor



Tujuan :

− Untuk  mempersiapkan  penyesuaian  terhadap  kejadian  akut  dan menurunkan stres psikologi pada pasien dan keluarga. Untuk mendukung dan mempertahankan gaya hidup sehat dan untuk mendorong pasien memodifikasi faktor risiko.
−   Untuk membantu pasien secara bertahap kembali pada tingkat aktivitas sebelumnya.
−   Untuk memastikan kepatuhan pada terapi medis.

−   Untuk   memberikan   pengetahuan   tentang   PJK   kepada   pasien   dan keluarga.
4.2.3. Modifikasi faktor risiko

• Berhenti merokok

Pasien yang berhenti merokok akan menurunkan angka kematian dan infark dalam 1 tahun pertama.
• Berat badan

Untuk mencapai dan /atau mempertahankan berat badan optimal.

• Latihan

melakukan  aktivitas  sedang  selama  30-60  menit  3-4x/minggu  (jalan, bersepeda, berenang atau aktivitas aerobic yang sesuai)
• Diet  mengkonsumsi  makanan  dengan  kadar  kolesterol  rendah  atau lemak dengan saturasi rendah
• Kolesterol mengkonsumsi obat-obatan penurun kolesterol. Target primer kolesterol LDL < 100mg/dl.
• Hipertensi target tekanan darah <130/80 mmHg.

• DM kontrol optimal hiperglikemia pada DM
BAB V

RENCANA ASUHAN KEFARMASIAN



Rencana  asuhan  kefarmasian   bagi  pasien  SKA  secara  garis  besar  pada prinsipnya adalah terdiri dari empat  komponen  yakni melaksanakan manajemen DRPs,  menjaga  dan  berupaya  agar  pedoman  penatalaksanaan  pasien  SKA berjalan sebagaimana  telah disepakati  berdasarkan  standar pelayanan  profesi dan  kode  etik  yang  telah  ditetapkan,    melaksanakan  pemberdayaan  pasien dalam hal penggunaan obat secara cerdas serta bijak dan pengetahuan tentang penyakit jantung, dan penelitian (tabel 7). Dengan tujuan untuk  kepuasan pasien dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan serta sebagai bentuk pemenuhan hak dasar sebagai pasien.


No    Empat Prinsip Dasar Tujuan Dari Rencana Pharmaceutical Care

1       Melaksanakan manajemen DRPs

2       Terapi berjalan sesuai Guidelines penatalaksanaan SKA

3       Pendidikan dan informasi

4       Penelitian


Tabel 16. Empat Prinsip Dasar Tujuan dari Rencana Pharmaceutical Care



Pada  umumnya  penderita  SKA  yang  dirawat  di  rumah  sakit  dengan  kondisi multiple disease serta mendapat terapi lebih dari satu macam obat (multiple drug therapy).   Kondisi   tersebut   dapat   menjadi   berisiko   tinggi   atau   cenderung mengalami masalah-masalah yang berkaitan dengan obat atau drug-related problems (DRPs) yang akan mempengaruhi outcome dari penggunaan obat tersebut. Karena biasanya penderita yang menggunakan banyak obat dan mengalami   multiple   disease,   merupakan   faktor   yang   dapat   meningkatkan terjadinya  drug  induced  disease,  interaksi,  efek  samping  obat  dan  kurang efisiennya proses pengobatan.


Pelaksanaan asuhan kefarmasian, apoteker dapat berperan dari awal atau bisa dilaksanakan sebelum penderita kerumah sakit, di rumah sakit dan/atau setelah keluar dari rumah sakit/komunitas.
5.1. Sebelum kerumah sakit.

Pada prinsipnya  pelaksanaan  Pharmaceutical  Care sebelum  ke rumah  sakit / komunitas  adalah seorang apoteker harus dapat mengenali  bahwa seseorang telah terkena PJK atau SKA dari gejala dan keluhan yang dirasakan dan dikeluhkannya.


Berdasarkan gejala dan keluhan yang spesifik dari pasien dengan kemungkinan

SKA, maka:

1. Berikan asetil salisilat 300 mg dikunyah

2. Berikan Nitrat sublingual

3. Kirim kefasilitas yang memungkinkan



5.2. Di Rumah Sakit



5.2.1. IGD/UGD

Rencana  Pharmaceutical  Care  yang  dibuat  harus  mencakup  dan  mempunyai tujuan dalam hal menjamin dan memastikan ketersediaan dan distribusi barang- barang kefarmasian untuk terlaksananya terapi/penatalaksanaan pasien SKA secara optimal.


5.2.2.  Rawat Inap, ICCU/CVC



Rencana asuhan kefarmasian yang dibuat untuk penderita SKA harus mempunyai tujuan untuk mengatasi masalah gejala yang muncul dan meningkatkan kesempatan bertahan untuk jangka waktu lama dengan kondisi bebas dari terapi.


Hal-hal penting yang diperlukan harus mencakup:

1. Pengoptimasian regimen obat antiangina penderita SKA untuk menjamin kerasionalannya   apakah  penambahan   terapinya  sampai  tercapai  kontrol gejala yang baik.
2.  Memonitor  setiap  penambahan  dan/atau  penggantian  regimen  obat  pada pasien SKA untuk melihat keberhasilan dan kemampuan toleransinya dengan melakukan pengukuran hasil pengobatan melalui analisa frekuensi serangan angina yang terjadi pada pasien
3.  Memberikan konsultasi pada pasien untuk memastikan bahwa dia mengerti tujuan dari pengobatan  dan menggunakan  obatnya dengan tepat sehingga tercapai efek maksimum terapi dan minimalisasi efek samping. Menjelaskan kepada pasien, alasan pemberian setiap obat yang digunakannya serta hubungannya dengan gejala dan keluhan yang dirasakannya.
4.  Memberikan  konsultasi  pada  pasien  perihal  pola  hidupnya  (seperti  diet, merokok dll) untuk memastikan bahwa dia tidak mengkompromikan pengobatannya dalam cara apapun.
5.  Memastikan bahwa pasien mendapatkan saran dan obat yang kontinu ketika keluar   dari   rumah   sakit.   Sebelum   pulang   ke   rumah,   pasien   harus mendapatkan petunjuk yang detail mengenai pengobatannya termasuk penjelasan bagaimana mendapat obat selanjutnya dan apa yang harus dilakukan jika gejala yang muncul tidak terkontrol atau jika dia terkena efek samping dari pengobatannya.
6. Memastikan prinsip-prinsip dari manajemen DRPs sudah berjalan dengan optimal.


Rencana asuhan kefarmasian dari pengobatan pasien SKA selama di rumah sakit adalah mengurangi kemungkinan berkembangnya iskemia menjadi IMA dan kematian.


Rencana asuhan kefarmasian dapat mencakup beberapa faktor penting antara lain:
1.  Memastikan bahwa IV heparin dan GTN digunakan secepat mungkin untuk meningkatkan   suplai  oksigen   ke  jantung   pasien,   mengurangi   frekuensi serangan angina, mengurangi iskemia jantung sehingga mencegah berkembangnya iskemia menjadi IMA
2.  Memonitor keberhasilan / ketepatan dari infus yang diberikan dengan melihat pada  pengurangan  rasa  sakit  dan  resolusi  pada  depresi  ST  pada  EKG pasien, dan yakinkan/pastikan  bahwa dosis dititrasi dengan benar sehingga pasien tidak mengalami/terkena efek samping dari infus.
3. Jelaskan pada pasien kenapa pengobatan selanjutnya tidak mengontrol gejalanya dan memberikan jaminan kepada pasien bahwa akan ada tindakan ke depannya yang dapat dilakukan untuk mengontrol sakit dadanya.
4.  Menjelaskan   kepada   pasien   untuk   mencoba   dan/atau   melaksanakan relaksasi   sebisa   mungkin   kapanpun   dengan   tujuan   untuk   mencegah terjadinya peningkatan kebutuhan suplai oksigen kejantung.


Poin-poin pokok untuk dipertimbangkan pada Asuhan Kefarmasian penderita SKA dengan disertai penyulit / komplikasi, antara lain yakni:


1. Aritmia dan Cardiac Arrest

a. Fibrilasi atrium

-     Menjamin   ketepatan   pemberian   terapi  obat  untuk  mengontrol   AF

penderita

- Menjamin  ketepatan  penggunaan  digoksin  dan pemeliharaan  pemilihan regimen obat
- Monitoring kondisi umum penderita secara bertahap, khususnya kreatinin plasma dan  kalium
- Melakukan  konseling  kepada  penderita  dan  memberikan  masukan  lain sebagai tenaga profesional kesehatan terhadap tanda dan atau gejala dari toksisitas digoksin.
2. Oedema pada gagal jantung

-  Menjamin ketepatan pemberian terapi diuretik

- Monitor kondisi umum penderita dan efek samping obat khususnya kadar kalium plasma dan kreatinin.


Untuk pasien-pasien paska operasi, hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam rencana asuhan kefarmasian meliputi:


1.  Menjelaskan  kepada pasien alasan mengenai  penghentian  obat antiangina tapi penting meneruskan aspirin, beta bloker, ACE-I, dan simvastatin.
2. Pasien diberikan konsul untuk menyakinkan bahwa dia mengerti tujuan dari semua  pengobatannya,  pasien  tahu  kapan  harus  mengkonsumsi  obatnya agar tercapai efek maksimal dan minimal efek samping obat dan untuk apa/sampai kapan dia meneruskan kosumsi obatnya.
3.  Memberi tahu pasien bagaimana cara mengurangi rasa sakit ketika dia telah keluar rumah sakit, terutama mengunakan sediaan OTC apa yang bisa digunakan dan tidak boleh digunakan.
4.  Pasien diberi penjelasan atau konsultasi mengenai perubahan pola hidupnya, seperti diet, mempertahankan asupan alkohol, tidak merokok dan melakukan olahraga sedang secara teratur dan terukur.


Untuk pasien-pasien ketika sudah keluar RS, hal-hal penting yang akan di cover selama konseling dengan pasien mengenai pengobatannya oleh seorang apoteker antara lain:


I.  Tentang Obat-obatan

1. Tablet  GTN sublingual

Untuk   obat   golongan   nitrat,   sebelum   keluar   dari   rumah   sakit,   pasien sebaiknya diberikan informasi atau penjelasan tentang obat-obat yang digunakan dan cara penggunaan yang benar. Apabila terdapat angina yang terjadi lebih dari 2-3 menit, pasien dianjurkan untuk memakai satu dosis nitrat sublingual. Hal ini dapat diulang dengan interval 5 menit sampai dengan 3 dosis  total.  Jika  gejala  masih  tetap  sampai  setelah  15  menit,  pasien dianjurkan untuk segera berobat ke rumah sakit terdekat.
a. Tablet GTN adalah untuk membantu mengurangi sakit dada yang dirasakan/alami di RS
b.   Tablet  diletakan  dibawah  lidah  dan  dibiarkan  melarut.  Rasa  terbakar dalam  mulut  merupakan   hal  yang  biasa  setelah   penggunaan   GTN sublingual. Tablet tidak boleh dibelah atau dihancurkan sebelum menggunakannya.
c.  Awalnya  digunakan  1 tablet,  tetapi  jika  tidak  terjadi  pengurangan  rasa sakit tablet ke-dua dan ke-tiga bisa dikonsumsi dengan interval 5 menit. Jika  setelah  penggunaan   3  tablet  rasa  sakit  tidak  juga  berkurang, penderita harus mencari tim medis.
d.  Sebaiknya ketika mengkonsumsi tablet, pasien dalam posisi duduk, hal ini akan membantu mengurangi rasa sakit dan juga mencegah hipotensi postural (perasaan pusing pada perubahan posisi).
e.  Tablet GTN bisa menimbulkan rasa sakit kepala dan atau rasa panas dan merah di muka. Jika muncul sakit kepala yang bertahan setelah tercapai
pengurangan  rasa  sakit  di  dada,  tablet  yang  tersisa  di  bawah  lidah bisa/harus diludahkan atau ditelan.
f.   Tablet GTN tidak menyebabkan  kecanduan dan tidak ada batas berapa banyak bisa digunakan perhari. Tetapi penderita harus konsultasi dengan dokternya jika dia perlu mengunakan obat lebih dari biasanya.
g.  Penyimpanan yang benar dari tablet GTN penting sekali. Obat ini harus disimpan di tempat sejuk dalam botol baru dan tidak boleh dipindahkan ke wadah lain. Tidak ada sumbat kapas katun atau tablet/kapsul  lain yang harus ditambahkan ke dalam botol. Tablet harus tetap handy setiap saat.
h.  Tanggal pada botol tablet pada saat pembukaan botol pertama kali harus dicatat dan diperhatikan dan tablet harus dipindahkan/ditempatkan  ulang dalam 8 minggu dari tanggal tersebut.
i.   Tablet tidak boleh digunakan bersamaan dengan obat golongan Sildenafil

(Viagra), atau obat-obat yang digunakan untuk mengatasi disfungsi ereksi. j.   Sebaiknya  penderita  diberitahu  bahwa  tablet GTN bisa dibeli di apotek
komunitas (apotek) tanpa resep.



2. Isosorbid mononitrat

Tablet ini digunakan untuk mencegah sakit dada. Jika digunakan berkala obat ini  dapat  mengurangi  sejumlah  kondisi  yang  memerlukan  penggunaan  tablet GTN  sublingual.  Interval  penggunaan  dan  dosis  dijelaskan  pada  penderita sehingga dia mengerti kegunaan mengkonsumsi satu dosis di pagi hari dan konsumsi  kedua  pada  tengah  hari  dalam  rangka  untuk  mencegah pengembangan  toleransi.  Tablet isosorbid  mononitrat  bisa menyebabkan  sakit kepala  pada  beberapa  hari  pertama  pengobatan.  Tetapi  efek  ini akan  hilang pada penggunaan kontinu. Dengan demikian perlu memberi semangat penderita untuk meneruskan pengobatannya jika hal ini terjadi. Jika perlu penderita dapat meminum parasetamol tapi disarankan untuk jangan meminum produk yang mengandung aspirin sebagaimana aspirin ini mencampuri efek antiplatelet pada dosis rendah.
3. Aspirin

Aspirin dosis rendah bisa mengurangi kemungkinan serangan jantung berulang dengan  cara  mencegah  melekatnya  sel-sel  darah  (platelet-platelet)  bersama- sama. Produk yang berisi dosis biasa lebih tinggi dari aspirin tidak memiliki efek ini, dengan demikian obat OTC lain yang mengandung aspirin tidak boleh digunakan.  Suplai aspirin dosis rendah kemudian  dapat didapat melalui resep GP atau membeli dari apotek. Aspirin paling baik digunakan bersama makanan untuk mencegah iritasi lambung.


4. Bisoprolol

Tablet ini dapat mengurangi kemungkinan penderita mendapat serangan jantung berulang. Obat ini juga cepat menormalkan  jantung yang berdebar-debar  atau denyut jantung yang meningkat. Dan juga dapat mengurangi gejala dan keluhan angina yang dirasakan penderita.


Bergantung pada informasi yang diberikan dokter, obat ini layak diterangkan efek sampingnya  bila penderita  menggunakannya  dalam jangka lama. Contoh,  jika penderita mengalami sesak nafas penderita harus konsultasi dengan dokter. Informasi   lain   yang   mungkin   seperti   lethargy,   kecepatan   jantung   rendah, impotensi harus diberikan oleh seorang apoteker.


ACC/AHA merekomendasikan / menganjurkan penggunaan betabloker bagi penderita SKA setelah keluar rumah sakit yang hendak diterapi jangka panjang antara lain:
−   Penyekat beta sebaiknya diberikan kepada pasien–pasien dengan riwayat

IMA apabila tidak ada kontraindikasi.

−   Penyekat beta sebaiknya dilanjutkan pada pasien-pasien dengan disfungsi ventrikel kiri dan pada pasien-pasien yang mempunyai risiko tinggi iskemia.


5. ACE-I

Pertama kali obat ini digunakan untuk mengontrol tekanan darah, atau dikenal juga dengan  kelompok  obat antihipertensi.  Obat ini selain dengan  baik dapat mengontrol  tekanan  darah,  juga  sangat  bermanfaat  menjaga  dan  melindungi
jantung.  Dengan  kata  lain,  obat  ini  walau  dengan  kondisi  tekanan  darah penderita normal juga tetap diberikan, dengan tujuan untuk menjaga dan memelihara kondisi jantung agar tetap baik.


6. Statin

Obat ini mempunyai mekanisme pleotrophic effect, yaitu efek lain selain efeknya dapat   mengurangi   atau   menekan   kolesterol   darah   (antilipidemia).   Statin dibuktikan  ternyata  dapat  memperbaiki  fungsi  endotel  (RICIFE  trial), menstabilkan plak, mengurangi pembentukan trombus, bersifat anti-inflamas dan mengurangi  oksidasi  lipid.  Dengan  kata  lain obat  golongan  statin  di samping dapat mengontrol  kolesterol  darah juga dapat melindungi/memelihara  jantung. Sehingga,  ada  kalanya  pada  penderita  SKA  yang  kadar  kolesterol  darahnya normal tetap diberikan obat golongan statin. Dengan kata lain bila penderita bertanya   kenapa   obat   golongan    statin   tetap   diberikan    padahal   kadar kolesterolnya  normal,  hal  ini  dikarenakan  sifat  pleotrophic  effect  dari  statin sangat bermanfaat pada penderita SKA.


Ketidakpatuhan

Penjelasan  yang  bijak,  baik  dan  hati-hati  tentang  alasan  dan  tujuan  tiap-tiap terapi serta hubungannya dengan keluhan dan gejala yang dirasa penderita, terutama  terapi  nitrat,  aspirin,  beta-bloker,  ACE-I,  dan  statin  serta penjelasan tentang waktu penggunaannya dapat membantu menghindarkan ketidakpatuhan pasien.  Serta  pasien  diberitahu  akan  manfaatnya  dalam  mencegah memburuknya penyakit, mengurangi kemungkinan perawatan di rumah sakit dan meningkatkan harapan hidup.
II. Tentang Penyakit

1. Nyeri dada spesifik

Banyak pertanyaan-pertanyaan  yang timbul dari pasien kenapa sampai terjadi nyeri dada? Seorang Apoteker harus dapat menjelaskan kenapa sampai terjadi sakit/nyeri  dada  spesifik  pada  penderita  PJK  dan  bagaimana  hubungannya dengan obat yang dikonsumsinya.


Nyeri  dada  spesifik  atau  dikenal  dengan  istilah  angina  atau  angina  pektoris adalah   disebabkan   oleh   karena   adanya   ketidakseimbangan   pasokan   dan kebutuhan   oksigen   pada   otot   jantung.   Yang   disebabkan   oleh   adanya penyumbatan   pada   pembuluh   darah   koroner   di   jantung   akibat   proses aterosklerosis. Aterosklerosis adalah suatu proses pengerasan dan penyempitan pembuluh   darah  koroner,  sehingga  aliran  darah  dalam  pembuluh   koroner menjadi tidak adekuat lagi. Akibatnya, dinding otot jantung mengalami iskemia (dan  mungkin  sampai  infark),  dimana  oksigen  bagi  otot  jantung  sangat  tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme sel-selnya.


Saat  terjadinya  ketidakseimbangan  pasokan  dan  kebutuhan  oksigen  di  otot jantung, metabolisme yang terjadi adalah anaerobik, padahal metabolisme dalam sel otot jantung sepenuhnya adalah aerobik, artinya membutuhkan oksigen yang mengakibatkan produksi asam laktat akan semakin menumpuk. Zat ini akan menoreh syaraf dan menimbulkan  rasa nyeri yang hebat di balik tulang dada, yang dikenal sebagai nyeri angina. Dan keluhan angina dapat timbul berulang- ulang,   setiap   kali  keseimbangan   antara   pasokan   dan   kebutuhan   oksigen terganggu.  Sewaktu-waktu  bisa  terjadi  serangan  jantung  atau  infark  miokard akut.


2. Pencegahan

Tak kalah pentingnya pemberitahuan  dan penjelasan kepada penderita adalah upaya  pencegahan  PJK  atau  SKA.  Disamping  pemberitahuan  penyebab  dan atau mekanisme  dasar timbulnya PJK atau SKA. Pencegahan  PJK atau SKA, apoteker dapat berperan langsung dalam hal informasi dan edukasi tentang PJK atau SKA kepada pasien. Pencegahan SKA merupakan tindakan yang bijak dan
arif  dari  penanganan  SKA,  karena  sekali  diagnosis  ditegakkan  beban  yang disebabkan keluhan dan gejalanya begitu berat dan prognosisnya buruk.


Bijaksananya  memang,  mencegah  itu  lebih  baik  dari  pada  mengobati.  Oleh karena   itu   untuk   terhindar   dari   PJK   atau   SKA   seorang   apoteker   harus menjelaskan  strategi  atau  upaya-upaya  sistematis  untuk  mencegah  timbulnya PJK,  antara  lain  dengan  menghindari  atau  memodifikasi  semua  faktor-faktor risiko yang akan dapat menyebabkan PJK/SKA di sepanjang hidup kita secara konsisten  dan  berkesinambungan.  Dan  menjelaskan  hubungan  antara  faktor- faktor risiko dengan timbulnya PJK atau SKA.


Ada 2 kelompok faktor risiko secara garis besar yang harus dipahami (Tabel 8). Pertama adalah faktor-faktor risiko yang sama sekali tak bisa diubah atau dimodifikasi, yaitu faktor genetik, jenis kelamin dan usia. Jika mempunyai riwayat keturunan, seseorang kemungkinan besar akan mendapatkan serangan jantung pula dikemudian hari. Ketiga faktor risiko itu memang tak bisa dihindari.


Faktor – Faktor Risiko PJK atau SKA

No    Faktor Risiko Yang Dapat Diubah             Faktor Risiko Tidak Dapat Diubah

1       Merokok                                                       Keturunan

2       Kegemukan                                                  Jenis kelamin

3       Sering Stress                                                Umur

4       Kurang olahraga

5       Diabetes

6       Kolesterol darah tinggi

7       Tekanan darah tinggi


Tabel 17. Faktor- Faktor Risiko PJK atau SKA



Yang kedua adalah faktor-faktor  risiko yang sesungguhnya  dapat dimodifikasi, dihindari dan dikendalikan. Yang utama adalah kolesterol, hipertensi dan rokok. Di samping itu juga diabetes, stres, kurang berolahraga, dan sebagainya.
Faktor-faktor  risiko  yang bisa dimodifikasi  itu harus dikendalikan.  Diantaranya dengan  mengubah  kebiasaan  hidup  sekarang  juga  dengan  strategi  PANCA USAHA KESEHATAN JANTUNG, yakni: Seimbangkan gizi, Enyahkan rokok, Hindari  dan  awasi  stress,  Awasi  tekanan  darah  dan  Teratur  dan  terukur berolahraga (SEHAT).


Panca Usaha Jantung Sehat

1. Seimbangkan gizi

2. Enyahkan rokok

3. Hindari dan awasi rokok

4. Awasi tekanan darah

5. Teratur dan terukur berolahraga



III. Makna klinis dari tindakan diagnostik

Di  samping  pemeriksaan  laboratorium  penunjang  yang  sudah  umum  dikenal banyak pasien, misalnya pemeriksaan darah rutin, analisa gas darah, enzim jantung, kadar profil lemak darah, dan faktor pembekuan ada tindakan-tindakan yang dilakukan pada pasien yang harus diketahui oleh apoteker yang biasa dilaksanakan pada pasien jantung. Seperti tindakan EKG, Treadmil test, Ekokardiogram,  Angiografi  koroner  dan    Myocardial  perfusion  imaging.  Yang dikenal juga dengan tindakan diagnostik non invasif serta diagnostik invasif dan non bedah.


Elektrokardiogram (EKG).

Merupakan rekaman aktivitas listrik jantung yang dapat mendeteksi gangguan irama jantung, tanda-tanda iskemia dan gangguan lainnya.
Treadmil test

Menilai reaksi kerja jantung saat aktivitas

Ekokardiogram

Menilai struktur anatomi jantung dan ruang-ruangnya serta untuk menilai aktivitas kerja otot jantung
Angiografi koroner

Untuk melihat pembuluh darah jantung yang terlibat dan besarnya penyumbatan yang terjadi

Myocardial Perfusion imaging

Memberikan informasi tentang keadaan sel-sel otot jantung
5.3.  Pasien Rawat Jalan/Apotek (komunitas).

Untuk pasien SKA yang menjalani terapi rawat jalan asuhan kefarmasian yang dilaksanakan adalah dikemas dalam bentuk layanan/kegiatan “LAYANAN KONSULTASI OBAT“ terhadap pasien.


5.3.1.  Tujuan

5.3.1.1.  Umum :

Meningkatkan  mutu  atau  kualitas  pelayanan  pengobatan  atau  kesehatan  di rumah   sakit  dalam  rangka   meningkatkan   kepuasan   pada  pasien   sebagai penerima jasa pelayanan pengobatan atau kesehatan  yang dilaksanakan secara profesional.


5.3.1.2.  Khusus :

1.  Menilai dan memeriksa resep.

2. Memeriksa ulang dan menyerahkan pada pada pasien dengan memberi informasi, konsultasi dan edukasi tentang obat dan penyakit pada  pasien.
3.  Menilai pola penggunaan obat pada  pasien.

4.  Untuk memastikan kepatuhan pasien pada terapi medis.

5.  Menjelaskan  atau menerangkan  hubungan  antara gejala , keluhan dengan obat yang digunakan.
6.  Menjelaskan atau menerangkan cara penggunaan obat yang benar dan tepat

7.  Untuk memberi pengetahuan /penyuluhan tentang mekanisme dasar PJK dan rasionalitas pengobatannya.
8. Untuk  mendukung   dan  mempertahankan   gaya  hidup  sehat  dan  untuk mendorong  pasien  untuk  memodifikasi   faktor  risiko  serta  memiliki  rasa percaya diri dan optimisme.
5.3.2.  Materi Konsultasi

5.3.2.1.  Umum :

Ada beberapa tips atau materi tentang informasi apa   yang perlu disampaikan kepada pasien sehubungan penggunaan obat :
1. NAMA OBAT yang tertulis pada resep/label dan jumlahnya. Beritahukan golongan obat tersebut, apakah termasuk obat bebas atau obat keras.
2. UNTUK  INDIKASI  APA OBAT TERSEBUT  DIGUNAKAN,  jelaskan  secara umum indikasi kegunaan obat , jangan melakukan diagnosa penyakit.
3. KAPAN  OBAT  TERSEBUT  DIGUNAKAN  . Jelaskan  kapan  dan  frekuensi penggunaan   obat   sesuai   label.   Jelaskan   juga   apakah   obat   tersebut digunakan sebelum, sewaktu atau setelah makan.
4.  BAGAIMANA  CARA  MENGGUNAKAN  OBAT  .  Jelaskan  bentuk  sediaan obat (tablet,kaplet,suspensi/sirup dan sebagainya) dan bagaimana cara menggunakannya   ;   apakah   ditelan,   disisipkan   dibawah   lidah,   dioles, dimasukkan kelubang anus dan sebagainya,   seperti penggunaan ISDN sublingual; diletakan dibawah lidah, dll
5. HAL PENTING yang seharusnya  diperhatikan  selama menggunakan  obat , misalnya ;
¾   Hal-hal spesifik yang perlu diperhatikan terutama dalam penggunaan obat warfarin.
¾   Informasikan  pula  bahwa  bila  tidak  terjadi  perubahan  pada  penyakit, pasien dianjurkan untuk kembali kedokternya. Jangan biarkan mereka memperpanjang sendiri pengobatannya .
6. Apa yang harus dilakukan bila lupa menggunakan obat ? Informasi yang diberikan   tergantung   pada  jenis  obat  dan  indikasinya,   misalnya   untuk warfarin, disarankan agar segera minum selagi ingat dan jarak waktu secukupnya untuk minum warfarin berikutnya
7.  Apa efek samping obat dan bagaimana menyikapinya :

Tergantung pada jenis obat, misalnya efek samping pusing atau sakit kepala karena  minum  obat ISDN,  kepada  pasien  diberitahu  bahwa  sakitnya  akan hilang  dengan  sendirinya  dan kalau  tidak tahan  dapat  menggunakan  obat analgetik  seperti  panadol  untuk  mengatasinya.  Pasien  dinasehatkan  agar tidak mengendarai kendaraan.
8. Bagaimana cara menyimpan obat :

¾ Informasikan bahwa mutu dan keamanan obat juga ditentukan oleh bagaimana obat itu disimpan.
¾   Informasikan  agar  obat  dijauhkan  dari  jangkauan  anak,  di tutup  rapat- rapat terhindar cahaya matahari dan sebagainya .
¾   Informasikan   cara  mengidentifikasi   mutu  obat  secara  organoleptis, misal perubahan warna bau , rasa dan bentuk.
9. Hal-hal lain yang harus diperhatikan selama menggunakan suatu obat :

¾   Sampaikan pada pasien untuk memberitahukan kondisinya kepada dokter termasuk   hal-hal  seperti  alergi  obat  (misal  antibiotik,   sedang  hamil terutama trisemester pertama/menyusui keluhan gastritis dan lain-lain).


5.3.2.2.  Khusus :

1.     Untuk   memberi   pengetahuan   /penyuluhan   tentang   mekanisme   dasar

Penyakit Jantung koroner (PJK) dan rasionalitas pengobatannya

2.     Menerangkan atau menjelaskan makna klinis hasil tes laboratorium dengan

Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang diderita pasien.
BAB VI PENUTUP


Perkembangan  terkini  memperlihatkan  penyakit  kardiovaskular  telah  menjadi suatu epidemi global yang tidak membedakan  pria maupun wanita, serta tidak mengenal batas geografis dan sosio-ekonomis.  Pada tahun 2010, penyakit ini akan  menjadi  penyebab  kematian  pertama  di  negara  berkembang, menggantikan  kematian  akibat  infeksi.  Untuk  itu perlu  dilakukan  usaha  untuk meningkatkan mutu atau kualitas pelayanan pengobatan atau kesehatan pasien penyakit jantung koroner umumnya dan sindrom koroner akut  khususnya dalam rangka meningkatkan kepuasan pasien sebagai penerima jasa pelayanan pengobatan atau kesehatan yang dilaksanakan secara profesional. Buku saku ini diharapkan  dapat membantu  program  nasional  yaitu meningkatkan  pelayanan kefarmasian  untuk pasien penyakit  jantung sebagai pelengkap  dari pelayanan medis.
LAMPIRAN



Level of Evidence Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut

TINGKAT PEMBUKTIAN (LEVEL OF EVIDENCE)

1. A :  Data diperoleh dari banyak uji coba klinik random atau meta analisis

2. B :  Data diperoleh dari uji coba klinik random tunggal atau studi non random

3. C :  Berdasarkan opini konsensus para ahli



KELAS REKOMENDASI PENGOBATAN Kelas  I :
Terdapat   bukti   dan   atau   pendapat   umum   terapi   adalah   menguntungkan, bermanfaat dan efektif.
Kelas II :

Terdapat konflik dan atau opini divergen tentang manfaat/efisiensi dan terapi.

II A: terdapat bukti/opini yang menunjukkan adanya manfat/efisiensi. II B: manfaat/efisiensi kurang berguna secara pembuktian/opini.
Kelas III :

Bukti  atau pendapat  umum  tentang  terapi  tidak  bermanfaat/efektif  dan dalam beberapa kasus cenderung membahayakan.


Pemberian Obat Anti Iskemia Rekomendasi untuk terapi iskemia Kelas I
1.  Istirahat di tempat dengan monitoring elektrokardiografi  (EKG) untuk iskemi dan aritmia (level of evidence C).
2. Nitrogliserin yang diberikan secara sublingual atau spray, diikuti dengan pemberian infus secara intravena.
3.  Pemberian  oksigen untuk pasien dengan sianosis atau respiratori  distress;

dengan saturasi oksigen dibawah 90%.

4.  Morfin bila pasien masih kesakitan, adanya kongesti paru-paru atau bila ada agitasi.
5.  Penyekat  beta  dengan  dosis  permulaan  secara  intravena,  bila  didapatkan sakit dada terus menerus; dilanjutkan dengan pemberian per oral bila tak ada kontraindikasi.
6.  Bila  didapat  kontraindikasi   untuk  penyekat  beta  dapat  diberi  antagonis kalsium golongan nondihidropirin, seperti diltiazem atau verapamil.
7.  Penghambat  ACE bila ada hipertensi atau gagal jantung, atau faal jantung terganggu.


Kelas IIa

1.  Antagonis  kalsium  long  action  untuk  iskemia  berulang  walaupun  sudah mendapat penyekat beta dan nitrat.
2.  Penghambat ACE untuk semua pasien SKA.

3. Intra-aortic balloon pump untuk pasien dengan tanda-tanda iskemia berat walaupun telah diberi obat secara intensif, atau bila ada gangguan hemodinamik.


Kelas IIb

1.  Antagonis kalsium (extended release) sebagai pengganti penyekat beta.

2.  Antagonis kalsium golongan dihidropirin bersama penyekat beta.



Kelas III

Dihidropirin immediate release bila tidak diberi penyekat beta.



Pemberian Obat Platelet Dan Antikoagulan

Rekomendasi untuk pengobatan anti platelet dan antikoagulan.

Kelas I

1.  Obat  anti  platelet  harus  dimulai  segera,  ASA  (aspirin)  harus  diberikan secepatnya setelah dibuat diagnosis dan diberikan untuk selamanya. (level of evidence A)
2.  Klopidogrel  harus  diberikan  pada  pasien  di  rumah  sakit  yang  tidak  dapat diberi ASA karena hipersensitivitas dan gangguan gastrointestinal
3. Pada pasien di rumah sakit yang direncanakan untuk terapi secara non- intervensi,  klopidogrel  harus  ditambahkan   pada  aspirin  secepatnya  dan diberikan untuk paling sedikit 1 bulan (A) dan dapat diberikan sampai 9 bulan (B).
4.  Pada pasien yang direncanakan dilakukan Percutaneous Coronary Intervention

(PCI), klopidogrel  diberikan  secepatnya  untuk paling sedikit 1 bulan (A) dan
dilanjutkan untuk 9 bulan pada pasien yang tidak mempunyai risiko tinggi untuk pendarahan.
5.  Pada pasien yang akan mendapat  klopidogrel  di mana direncanakan  akan dilakukan operasi jantung CABG, klopidogrel supaya dihentikan paling sedikit
5 sampai 7 hari.

6.  Pemberian  antikoagulan  dengan  Low  Molecular  Weight  Heparin  (LMWH) atau heparin yang biasa (unfraction heparin) harus ditambahkan pada pemberian ASA dan klopidogrel.
7.  Inhibitor GP IIb/IIIa harus diberikan sebagai tambahan pada ASA dan heparin pada pasien yang direncanakanakan dilakukan penyadapan jantung dan tindakan PCI. Inhibitor GPIIB/IIA dapat diberikan sebelum penyedapan dilakukan.


Kelas IIa

1.  Epitifibatide  atau  trofiban  harus  diberikan  bersama  ASA  dan  LMWH  atau heparin,  pada  pasien  dengan  iskemia  terus  menerus,  troponin  meningkat atau tanda risiko tinggi lainnya, dimana tidak ada rencana tindakan invasif (A).
2.  Enoksaparin  lebih  disukai  dari  heparin  sebagai  antikoagulan  pada  pasien dengan angina tak stabil atau miokard infark tanpa elevsi segmen ST kecuali pasien akan dilakukan CABG dalam waktu 24jam
3.  Obat inhibitor glikoprotein IIb/IIIa inhibitor harus diberikan pada pasien yang sudah mendapat heparin, ASA dan klopidogrel, bila direncanakan  tindakan angiografi dan PCI.


Kelas IIb

Eptifibatide atau tirofiban ditambahkan pada ASA dan heparin atau LMWH, untuk pasien tanpa iskemia terus menerus, dan tindakan ada tanda risiko tinggi, dan di mana tak ada rencana untuk PCI (A).


Kelas III

1.  Pemberian obat fibrinolitik pada pasien tanpa elevasi segmen ST, left bundle branch block (LBBB), posterior infark (A).
2.  Pemberian abciximab pada pasien di mana PCI tidak direncanakan.
Rekomendasi Tindakan Invasif

Kelas I

1.  Tindakan invasif dini bila ada tanda-tanda risiko tinggi:

a.  Adanya  angina  yang  berulang  pada  waktu  istirahat  atau aktivitas  yang sedikit saja, sedangkan pasien telah mendapat terapi yang intensif.
b.  Troponin yang meningkat

c.  Adanya depresi ST yang baru

d.  Adanya  angina  berulang  disertai  tanda  gagal  jantung,  dengan  gallop, edema paru dan insufisiensi mitral yang bertambah buruk
e.  Tanda risiko tinggi pada pemeriksaan non invasif f.   Faal ventrikel kiri menurun
g.  Hemodinamik tak stabil

h.  Adanya ventrikel takikardial yang menetap i.   PCI dalam waktu 6 bulan
j.   Riwayat CABG sebelumnya

2.  Tanpa adanya tanda tersebut baik tindakan konservatif ataupun invasif boleh dilakukan bila tak ada kontraindikasi


Kelas IIa

Tindakan  invasif  dini  pada  pasien  dengan  serangan  SKA  berulang  walaupun telah mendapat terapi yang optimal dan tanpa tanda iskemia yang menetap atau tanda risiko lainnya


Kelas III

1.  Angiografi koroner pada pasien dengan penyakit peserta yang luas,misalnya penyakit  hati,  gagal  paru  atau  adanya  keganasan,dimana  risiko revaskularisasi tidak lebih besar dari keuntungan yang didapat.
2.  Angiografi   koroner   pada   pasien   degan   nyeri   dada   yang   akut   dan kemungkinan SKA kecil (level of evidece).
3. Angiografi koroner pada pasien yang tidak bersedia dilakukan tindakan revaskularisasi (level of evidence).
4.  Rekomendasi untuk pemberian terapi waktu keluar dari rumah sakit.
Kelas I

1.  Sebelum  keluar  dari  rumah  sakit  harus  diberikan  dengan  nasihat  tentang obat-obat yang diperlukan,dosisnya,lamanya  dan kemungkinan efek samping yang dapat timbul.
2.  Obat-obat   yang  diberikan  di  rumah  sakit  terutama   mereka  yang  tidak mengalami tindakan revaskularisasi, pasien yang tidak berhasil dilakukan revaskularisasi, atau pasien yang keluhan masih timbul walaupun telah dilakukan revaskularisasi (level of evidence:C).
3.  Sebelum  keluar  dari  rumah  sakit,  pasien  sebaiknya  diberi  tahu  mengenai keluhan bila mendapatserangan infark jantung akut dan bila dapat serangan supaya segera kembali ke rumah sakit. (level of evidence: C).
4.  Semua   pasien   sebaiknya   diberi   obat   nitrogliserin,   untuk   dipakai   bila mendapat serangan angina (level of evidence:C).
5.  Keluhan  angina  yang  berlangsung  lebih  dari  2-3  menit  pasien  dianjurkan untuk menghentikan aktivitasnya dan diberi nitrogliserin, bila tidak berkurang dapat diulang beberapa  kali, bila sakit dada lebih dari 20 menit sebaiknya dibawa ke rumah sakit.
6.  Bila nyeri angina berubah misalnya nyeri dada lebih sering dan lebih berat nyerinya, timbul pada aktivitas yang ringan atau timbul nyeri pada waktu istirahat, paien harus segera menghubungi dokternya, untuk memastikan apakah perlu ada tambahan terapi atau pemeriksaan tambahan lain (level of evidence : C).
Terapi Medikamentosa Jangka Panjang

Rekomendasi

Kelas I

1.  AS 75-325 mg/ hari bila tak ada kontraindikasi. (level ofevidence: A).

2.  Klopidogrel 75 mg/hari pada pasien yang tidak dapat menerima ASA. (level of evidence: B).
3.  Penyekat beta bila tak ada kontraindikasi (level of evidence: B).

4.  Obat penurun lemak dan diet pada pasien pasca SKA termasuk pasen pasca tindakan  revaskularisasi  dengan  LDL-C  setelah  diet  lebih  dari  100  mg%. (level of evidence: C).
5. Penghambat ACE untuk pasien dengan gagal jantung, faal ventrikel kiri terganggu (EFE< 40%), hipertensi, atau diabetes. (level of evidence : A).


Modifikasi Faktor Risiko

Rekomendasi

Kelas I

1.  Instruksi untuk hal-al seperti tersebut di bawah ini:

a.  Menghentkan kebiasaan merokok dan menjaga berat badan, exercise dan diet.
b.  HMG-CoA reductase inhibitor untuk LDL kolesterol di atas 130 mg% (A)

c.  Obat penurun lemak bila setelah diet LDL masih di atas 100mg % (B)

d.  Fibrat dan niasin bila HDL-C lebih rendah dari 40 mg% (A)

e.  Kontrol hipertensi sampai kurang dari 130/85 mm Hg f.   Kontrol hiperglikemia pada diabetes (B)
2.  Pertimbangan  untuk mengirim  pasien dengan kebiasaan  merokok  ke klinik rehabilitasi


Kelas IIa

1.  HMG-Coa reductase inhibitor dan diet untuk LDL lebih dari 100 mg% dimulai

24-96 jam setelah pasien masuk rumah sakit dan dilanjutkan sampai pasien keluar dari rumah sakit (B)
2.  Gemfibrozil  atau niasin untuk pasiendengan  HDL kolesterol kurang dari 40 mg% dan trigliserida lebih dari 200 mg% (B).
BAB VII DAFTAR PUSTAKA


(1)   Bertrand ME Simoons ML Fox KAA Wallentin LC et al . Management  Of Acute Coronary Syndrome In Patiens   Presenting Without Persistent St Segmen Elevation . European Heart Journal 2002; 23: 1406 – 1432, 1809-
1840

(2)   Braunwald E Antman EM Heasky JW et al. ACC/AHA Guidelline Update For The Management  Of Patiens With Unstable Angina And Non St Segmen Elevation Myocardial Infarction 2002, Summary Article : A Report Of The American   Heart   Association   Task   Force   On   Practice   Guidelines   ( Committee On The Management Of Patiens With Unstable Angina ). Circulation 2002; 106: 1893-1900, 1193 – 1209
(3)   Cipolle RJ, Strand LM, and Mooorley  PC. Pharmaceutical  Care Practice, McGraw-Hill, 1998, p. 82-83
(4)   Circulation: www.circulationaha.org

(5)   Departemen   Kesehatan   RI.  Profil  Kesehatan   Indonesia  2001:  Menuju

Indonesia Sehat 2010. Jakarta, 2002.

(6)   Falk  E,  Shah  PK,  Fuster  V.  Coronary  Plaque  Disruption.   Circulation

1995;92: 657-671

(7)   Freek W A Verheugt. Acute Coronary Syndromes: Drug Treatments. Lancet

1999;353 (suppl II): 20-23

(8)   HOPE (The Outcomes Prevention Evaluation) Study Investigator-Effects Of An Angiotensin-Converting-Enzyme Inhibitor, Ramipril On Cardiovascular Event In High-Risk Patien. N Engl J Med 2000; 342: 145-153
(9)   ISIS-2 (Second International Study of Infarct Survival) Collaborative Group.

Randomized  Trial  Of  Intravenous  Streptokinase,  Oral  Aspirin,  Both,  Or Neither  Among  17.187  Case  Of  Suspected  Acute  Myocardial  Infarction: ISSI-2. Lancet 1998; 2: 349-360
(10) John P. Rover, Jay D. Currie, et al. A Practical Guide to Pharmaceutical

Care. AphA Washinton, D.C. 1998.

(11) Kaul S, and Shah PK. Low Molecular Weight Heparin In Acute Coronary Syndrome:  Evidence For Superior Or Equivalent Efficacy Compared With Unfractionated Heparin. J Am Coll Cardiol 2000; 35: 1699-1712
(12) Klootwijk P, Hamm C. Acute Coronary Syndromes: diagnosis. Lancet 1999;

353 (suppl II): 10-15

(13) Libby   P,   Ridker   PM,   Maseri   An   Inflammation   and   Atherosclerosis.

Circulation 2002; 101 :135-143

(14) Libby, P. Current Concepts Of The Pathogenesis  Of The Acute Coronary

Syndromes. Circulation 2001;104:365-372.

(15) Libby P. Molecular  Basis Of The Acute Coronary  Syndromes.  Circulation

1995 ; 91 : 2844-2850

(16) Maarten L Simoons, Eric Boersma, Coen van der Zwan, Jaap W Deckers.

The Challenge  Of Acute  Coronary  Syndromes.  Lancet  1999;  353  (suppl

II):1-4.

(17) Maron  DJ.  Fazio  S,  and  Linton  MR.  Current  Perspectives  On  Statins.

Circulation 2000; 101: 207-213

(18) MIMS Cardiovascular Guide. Indonesia 2003/2004. MediMedia Asia Pte Ltd

2003.  World  Health  Organization.  World  Health  Report  2002:  Reducing

Risk, Promoting Healthy Life. Geneva, 2002

(19) Mismetti  P,  Laporte  S.  Et  al.  Meta-Analysis  Of  Low  Molecular  Weight Heparin In The Prevention Of Venous Tromboembolism In General Surgery. British Journal of Surgery 2001; 88: 913-930World Health Organization. Cardiovascular Diseases: Prevention And Control. Geneva, 2001.
(20) Mourad ES. Role Of Low-Molecular-Weight Heparin In The Management Of Patients With Unstable Angina Pectoris And Non Q-Wave Acute Myocardial Infarction. Am J Ccardiol 2000; 85: 2C-9C
(21) Opie LH, and White HD. Nitrates, In: Drugs For The Heart. Editor: Opie Lh, And Gersh Bj, Fifth Edition, WB Saunders, Philadelphia. 2001. p.33-52
(22) Pierre Theroux,  James T. Willerson,  and Paul W. Amstrong.  Progress  In The  Treatment  Of  Acute  Coronary  Syndromes:  A  50-Year  Perspective (1950-2000). Circulation 2000; 102 (suppl IV): IV-14 – IV-23
(23) Ridker PM. Role of Inflammation  In The Development  Of Atherosclerosis.

Implications For Clinical Medicine. Eur Heart J 2000;2 (suppl D): D57- D59World Health Organization.  Global Strategy On Diet, Physical Activity And Health: Cardiovascular disease (CVD). Geneva, 2003
(24) Russel Ross. Arherosclerosis-An inflammatory disease. N Engl J Med 1999;

340: 115-126
(25) Scandinavian  Simvastatin  Survival  Study  Group  :  Randomized  Trial  Of Cholesterol Lowering In 4444 Patients With Coronary Heart Disease: The Scandinavian  Simvastatin  Survival  Study  (4S).  Lancet  1994;  344:  1383-
1389.

(26) Tata   Laksana   Sindrom   Koroner   Akut   Tanpa   ST-Elevasi.   Pedoman

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2004

(27) Turpie AGG, Antman EM. Low-Molecular-Weight Heparin In The Treatment

Of Acute Coronary Syndrome. Arch Intern Med 2001; 101: 1484-1490

(28) World Health  Organization.  Reduction  of Cardiovascular  Burden  Through Cost-Effective  Inegrated  Management  Of  Comprehensive  Cardiovascular Risk. Geneva, 2002
(29) Yeghiazarians Y, Braunstein BJ, Askari A, et al. Unstable angina pectoris. N Engl J Med 2000; 342:101-114

No comments:

Post a Comment