Search This Blog

Monday 2 May 2011

Konstipasi = susah BAB (Buang Air Besar)


Konstipasi

Konstipasi bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu keluhan yang muncul akibat kelainan fungsi dari kolon dan anorektal. Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi dari kebiasaan normal. Pengertian ini dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses yang kurang, konsistensinya keras dan kering. Obstipasi bersinonim dengan konstipasi.1,2

Hampir setiap orang suatu saat pasti akan mengalami konstipasi. Penyebab terbanyak adalah diit yang kurang baik dan kurang olah raga. Pada sebagian besar kasus, konstipasi biasanya hanya bersifat sementara, dan tidak berbahaya. Di Amerika Serikat lebih dari 4 juta penduduk mempunyai keluhan sering konstipasi, hingga prevalensinya mencapai sekitar 2 %. Konstipasi diperkirakan menyebabkan 2,5 juta penderita berkunjung ke dokter setiap tahunnya. Sebagian besar penderita konstipasi dapat diobati secara medik, menghasilkan perbaikan keluhan. Keluhan konstipasi tampaknya dialami penduduk kulit berwarna 1,3 kali lebih sering dibanding kulit putih. Perbandingan laki : perempuan sekitar 1 : 3. Konstipasi dapat terjadi pada segala usia, dari bayi sampai orang tua. Makin tua makin meningkat frekuensinya. Di atas usia 65 tahun 30 – 40 % penderita mengalami masalah dengan keluhan konstipasi ini.3,4,5
II.1. Definisi
Definisi kontipasi bersifat relatif, tergantung pada konsistensi tinja, frekuensi buang air besar dan kesulitan keluarnya tinja. Pada anak normal yang hanya berak setiap 2-3 hari dengan tinja yang lunak tanpa kesulitan, bukan disebut konstipasi. Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar berupa berkurangnya frekuensi buang air besar, sensasi tidak puasnya buang air besar, terdapat rasa sakit, harus mengejan atau feses keras.6,7
Konstipasi berarti bahwa perjalanan tinja melalui kolon dan rektum mengalami penghambatan dan biasanya disertai kesulitan defekasi (sujono).Disebut konstipasi bila tinja yang keluar jumlahnya hanya sedikit, keras, kering, dan gerakan usus hanya terjadi kurang dari 3 x dalam 1 mnggu.8,9,10
Kriteria baku untuk menentukan ada tidaknya konstipasi telah ditetapkan, meliputi minimal 2 keluhan dari beberapa keluhan berikut yang diderita penderita minimal 25 % selama minimal 3 bulan : (1) tinja yang keras, (2) mengejan pada saat defekasi, (3) perasaan kurang puas setelah defekasi, dan (4) defekasi hanya 2 x atau kurang dalam seminggu.4,5,10
Pada tahun 1999 Komite Konsensus Internasional telah membuat suatu pedoman untuk membuat diagnosis konstipasi. Diagnosis dibuat berdasar adanya keluhan paling sedikit 2 dari beberapa keluhan berikut, minimal dalam waktu 1 tahun tanpa pemakaian laksans (kriteria Roma II), yaitu (Whitehead 1999) : (1) defekasi kurang dari 3x/minggu, (2) mengejan berlebihan minimal 25 % selama defekasi, (3) perasaan tidak puas berdefekasi minimal 25 % selama defekasi, (4) tinja yang keras minmal 25 %, (5) perasaan defekasi yang terhalang, dan (6) penggunaan jari untuk usaha evakuasi tinja.11

II.2. Epidemiologi
Sesuai dengan sigi “National Health Interview” di Amerika Serikat lebih dari 4 – 4,5 juta penduduk mempunyai keluhan sering konstipasi, hingga prevalensinya mencapai sekitar 2 %. Penderita yang mengeluh konstipasi ini kebanyakan adalah wanita, anak-anak, dan orang dewasa di atas usia 65 tahun. Wanita hamil juga sering mngeluh konstipasi, demikian pula setelah melahirkan atau pasca bedah. Konstipasi diperkirakan menyebabkan 2,5 juta penderita berkunjung ke dokter setiap tahunnya. Sebagian besar penderita konstipasi dapat diobati secara medik, menghasilkan perbaikan keluhan. Namun sebagian kecil merasa terganggu akibat konstipasi ini. Beberapa penderita dengan konstipasi fungsional (mis. “inersia kolon”), bahkan membutuhkan kolektomi abdominal total dengan anastomosis ileorectal.4,9,10
Keluhan konstipasi tampaknya dialami penduduk kulit berwarna 1,3 kali lebih sering dibanding kulit putih. Perbandingan laki : perempuan sekitar 1 : 3. Konstipasi dapat terjadi pada segala usia, dari bayi sampai orang tua. Makin tua makin meningkat frekuensinya. Di atas usia 65 tahun 30 – 40 % penderita mengalami masalah dengan keluhan konstipasi ini. Namun sebagian besar penderita biasanya hanya melakukan pengobatan sendiri, tanpa pergi ke dokter. Akibatnya adalah pengeluaran biaya sebesar 500 - 725 juta dolar setiap tahunnya untuk pembelian obat-obat golongan laksans.4,5,9,10

II.3. ETIOLOGI
Penyebab konstipasi biasanya multifaktor, misalnya : Konstipasi sekunder (diit, kelainan anatomi, kelainan endokrin dan metabolik, kelainan syaraf, penyakit jaringan ikat, obat, dan gangguan psikologi), konstipasi fungsional (konstipasi biasa, “Irritabel bowel syndrome”, konstipasi dengan dilatasi kolon, konstipasi tanpa dilatasi kolon , obstruksi intestinal kronik, “rectal outlet obstruction”, daerah pelvis yang lemah, dan “ineffective straining”), dan lain-lain (diabetes melitus, hiperparatiroid, hipotiroid, keracunan timah, neuropati, Parkinson, dan skleroderma).1,4,5,10
A. Konstipasi sekunder
1.Pola hidup :
Diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang air besar yang buruk, kurang olah raga.
2.Kelainan anatomi (struktur) : fissura ani, hemoroid, striktur, dan tumor, abses perineum, megakolon.
3.Kelainan endokrin dan metaolik : hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroid, DM, dan kehamilan.
4.Kelainan syaraf : stroke, penyakit Hirschprung, Parkinson, sclerosis multiple, lesi sumsum tulang belakang, penyakit Chagas, disotonomia familier.
5.Kelainan jaringan ikat : skleroderma, amiloidosis, “mixed connective-tissue disease”.
6.Obat : antidepresan (antidepresan siklik, inhibitor MAO), logam (besi, bismuth), anti kholinergik, opioid (kodein, morfin), antasida (aluminium, senyawa kalsium), “calcium channel blockers” (verapamil), OAINS (ibuprofen, diclofenac), simpatomimetik (pseudoephidrine), cholestyramine dan laksan stimulans jangka panjang.
7.Gangguan psikologi (depresi).
B. Konstipasi fungsional=kontipasi simple atau temporer
1.Konstipasi biasa : akibat menahan keinginan defekasi.
2.“Irritabel bowel syndrome”
3.Konstipasi dengan dilatasi kolon : “idiopathic megacolon or megarektum”
4.Konstipasi tanpa dilatasi kolon : “idiopathic slow transit constipation”
5. Obstruksi intestinal kronik.
6.“Rectal outlet obstruction” : anismus, tukak rectal soliter, intusesepsi.
7.Daerah pelvis yang lemah : “descending perineum”, rectocele.
8.Mengejan yang kurang efektif (“ineffective straining”)
C. Penyebab lain
1.Diabetes mellitus
2.Hiperparatiroid
3.Hipotiroid
4.Keracunan timah (“lead poisoning”)
5.Neuropati
6.Penyakit Parkinson
7.Skleroderma
8.Idiopatik :
Transit kolon yang lambat, pseudo-obstruksi kronik.(ipd)

Pola Hidup
Pola hidup seperti diet rendah serat, kurang minum dan olahraga merupakan penyebab tersering dari konstipasi. Penyebab umum dari konstipasi adalah diit yang rendah serat, seperti terdapat pada sayuran, buah, dan biji-bijian, dan tinggi lemak seperti dalam keju, mentega, telur dan daging. Mereka yang makan makanan yang kaya serat biasanya lebih jarang yang mengalami konstipasi Diit rendah serat juga memegang peranan penting untuk timbulnya konstipasi pada usia lanjut. Mereka biasanya kurang berminat untuk makan, dan lebih senang memilih makanan cepat saji yang kadar seratnya rendah. Selain itu, berkurangnya jumlah gigi, memaksa mereka lebih suka makan makanan lunak yang sudah diproses dengan kadar serat yang rendah.1,4,5,9,10
Dalam keadaan normal cairan akan mengisi sebagian besar usus dan feces sehingga feces mudah dikeluarkan. Penderita konstipasi sebaiknya minum air yang cukup, kira-kira 8 liter per hari. Cairan yang mengandung kafein, seperti kopi dan kola, serta alkohol memiliki efek dehidrasi, sehingga dapat meyebabkan konstipasi. urang olahraga dapat menyebabkan terjadinya konstipasi, meskipun belum diketahui dengan pasti patogenesisnya. Sebagai contoh, konstipasi sering terjadi pada orang sakit yang melakukan istirahat yang panjang. 4,5,9,10

Irritable Bowel Syndrome (IBS)
Beberapa penderita IBS mengalami spasme pada colon yang akan mempengaruhi peristaltik usus dan proses pengeluaran feces. Konstipasi dan diare muncul bergantian, kram perut dan kembung merupakan gejala yang paling sering muncul.

Perubahan kegiatan rutin (Kehamilan, Proses penuaan, Travelling)
Terjadinya konstipasi pada masa kehamilan mungkin disebabkan karena perubahan hormonal dan uterus yang membesar menekan usus. Proses penuaan menyebabkan menurunnya proses metabolisme pada intestinal dan pada tonus otot.
Orang sering mengalami konstipasi ketika melakukan perjalanan disebabkan oleh perubahan pola diet normal harian yang biasanya dikonsumsi.

Penggunaan Laxatives
Laxatives dapat merusak sel saraf pada usus besar dan menggangu kemampuan kontrasksi dari usus besar.

II.4. PATOFISIOLOGI
Buang air besar yang normal frekuensinya adalah 3 kali sehari sampai 3 hari sekali. Dalam praktek dikatakan konstipasi bila buang air besar kurang dari 3 kali perminggu atau lebih dari 3 hari tidak buang air besar atau dalam buang air besar harus mengejan secara berlebihan.
Kolon mempunyai fungsi menerima bahan buangan dari ileum, kemudian mencampur, melakukan fermentasi, dan memilah karbohidrat yang tidak diserap, serta memadatkannya menjadi tinja. Fungsi ini dilaksanakan dengan berbagai mekanisme gerakan yang sangat kompleks. Pada keadaan normal kolon harus dikosongkan sekali dalam 24 jam secara teratur.). Diduga pergerakan tinja dari bagian proksimal kolon sampai ke daerah rektosigmoid terjadi beberapa kali sehari, lewat gelombang khusus yang mempunyai amplitudo tinggi dan tekanan yang berlangsung lama. Gerakan ini diduga dikontrol oleh pusat yang berada di batang otak, dan telah dilatih sejak anak-anak.1,5,10
Proses sekresi di saluran cerna mungkin dapat megalami gangguan, yaitu kesulitan atau hambatan pasase bolus di kolon atau rektum, sehingga timbul kesulitan defekasi atau timbul obstipasi. Gangguan pasase bolus dapat diakibatkan oleh suatu penyakit atau dapat karena kelainan psikoneuorosis. Yang termasuk gangguan pasase bolus oleh suatu penyakit yaitu disebabkan oleh mikroorganisme (parasit, bakteri, virus), kelainan organ, misalnya tumor baik jinak maupun ganas, pasca bedah di salah satu bagian saluran cerna (pasca gastrektomi, pasca kolesistektomi).6
Untuk mengetahui bagaimana terjadinya konstipasi, perlu diingat kembali bagaimana mekanisme kerja kolon. Begitu makanan masuk ke dalam kolon, kolon akan menyerap air dan membentuk bahan buangan sisa makanan, atau tinja. Kontraksi otot kolon akan mendorong tinja ini ke arah rektum. Begitu mencapai rektum, tinja akan berbentuk padat karena sebagian besar airnya telah diserap. Tinja yang keras dan kering pada konstipasi terjadi akibat kolon menyerap terlalu anyak air. Hal ini terjadi karena kontraksi otot kolon terlalu perlahan-lahan dan malas, menyebabkan tinja bergerak ke arah kolon terlalu lama.4,10,12
Konstipasi umumnya terjadi karena kelainan pada transit dalam kolon atau pada fungsi anorektal sebagai akibat dari gangguan motilitas primer, penggunaan obat-obat tertentu atau berkaitan dengan sejumlah besar penyakit sistemik yang mempengaruhi traktus gastrointestinal.8
Konstipasi dapat timbul dari adanya defek pengisian maupun pengosongan rektum. Pengisian rektum yang tidak sempurna terjadi bila peristaltik kolon tidak efektif (misalnya, pada kasus hipotiroidisme atau pemakaian opium, dan bila ada obstruksi usus besar yang disebabkan oleh kelainan struktur atau karena penyakit hirschprung). Statis tinja di kolon menyebabkan proses pengeringan tinja yang berlebihan dan kegagalan untuk memulai reflek dari rektum yang normalnya akan memicu evakuasi. Pengosongan rektum melalui evakuasi spontan tergantung pada reflek defekasi yang dicetuskan oleh reseptor tekanan pada otot-otot rektum, serabut-serabut aferen dan eferen dari tulang belakang bagian sakrum atau otot-otot perut dan dasar panggul. Kelainan pada relaksasi sfingter ani juga bisa menyebabkan retensi tinja.
Konstipasi cenderung menetap dengan sendirinya, apapun penyebabnya. Tinja yang besar dan keras di dalam rektum menjadi sulit dan bahkan sakit bila dikeluarkan, jadi lebih sering terjadi retensi dan terbentuklah suatu lingkaran setan. Distensi rektum dan kolon mengurangi sensitifitas refleks defekasi dan efektivitas peristaltik. Akhirnya, cairan dari kolon proksimal dapat menapis disekitar tinja yang keras dan keluar dari rektum tanpa terasa. Gerakan usus yang tidak disengaja (encopresis) mungkin keliru dengan diare.7

Akibat dari konstipasi
Sebagaimana diketahui, fungsi kolon di antaranya melakukan absorpsi cairan elektrolit, zat-zat organik misalnya glukose dan air, hal ini berjalan terus sampai di kolon descendens. Pada seseorang yang mengalami konstipasi, sebagai akibat dari absorpsi cairan yang terus berlangsung, maka tinja akan menjadi lebih padat dan mengeras. Tinja yang keras dan padat menyebabkan makin susahnya defekasi, sehingga akan menimbulkan haemorrhoid.
Sisa-sisa protein di dalam makanan biasanya dipecahkan di dalam kolon dalam bentuk indol, skatol, fenol, kresol dan hydrogen sulfide. Sehingga akan memberikan bau yang khas pada tinja. Pada konstipasi juga akan terjadi absorpsi zat-zat tersebut terutama indol dan skatol, sehingga akan terjadi intestinal toksemia. Bila terjadi intestinal toksemia maka pada penderita dengan sirhosis hepatis merupakan bahaya. Pada kolon stasis dan adanya pemecahan urea oleh bakteri mungkin akan mempercepat timbulnya “ hepatik encepalopati” pada penderita sirhosis hepatis.

II.5. MANIFESTASI KLINIS
Penderita yang mengalami konstipasi biasanya merasa defekasinya menjadi sulit dan nyeri, tinja keras, mengejan pada saat defekasi, perasaan kurang puas setelah defekasi, defekasi hanya 3x atau kurang dalam seminggu. Keluhan lain yang bisa timbul adalah perasaan kembung, kurang enak, dan malas.3,4,5,9,10
Penderita dapat juga tanpa keluhan sama sekali, atau mempunyai keluhan lain seperti : perut kembung, nyeri waktu defekasi, “rectal bleeding” (perdarahan rektum), diare “spurious” (sedikit-sedikit), dan nyeri pinggang bagian bawah (LBP).11
Penderita biasanya mengeluh beberapa hari tak dapat defekasi dan kalau defekasi selalu susah. Tinja yang keluar keras dan kehitam-hitaman. Perut selalu dirasa penuh serta dirasa mendesak keatas, kembung, berbunyi,mual-mual. Rasa mulas di perut kiri pada daerah sigmoid dan kolon desendens. Keluhan lain yang sering dirasakan ialah mulut rasa pahit, lidah kering, kepala pusing, nafsu makan menurun. Bilamana konstipasi berlangsung lama, maka keluhan tersebut diatas makin bertambah berat, bahkan sampai timbulnya gejala obstruksi intestinal.13

II.6. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Anamnesis yang seksama dan hati-hati merupakan salah satu cara yang sangat penting untuk mencari penyebab konstipasi. Dengan menanyakan tipe dan derajat gangguan konstipasi dapat diperkirakan etiologi dari keluhan tersebut. Termasuk dalam gangguan ini antara lain : lamanya usaha untuk melakukan defekasi, jumlah defekasi per minggunya, dan ada tidaknya keluhan mengejan dan atau tinja yang keras.4,5,9,10
Anamnesis yang akurat untuk mendeteksi adanya penurunan berat badan, perdarahan saluran cerna, riwayat keluarga kanker, pola buang air besar sebelumnya.6
Sebagian besar penderita dengan konstipasi kronik pada umumnya tidak menunjukkan penyebab yang spesifik pada saat pemeriksaan pertama. Anamnesis yang teliti harus dapat mendeteksi penyebab terbanyak dari konstipasi yaitu : (1) konstipasi pasca bedah, (2) tirah baring yang terlalu lama, (3) sisa barium setelah pemeriksaan barium enema, atau (4) obat-obat yang dapat menimbulkan konstipasi (misalnya : opioid, antikholinergik).4,5,9,10
Pada penderita tua yang melakukan tirah baring, penting untuk menyingkirkan adanya dehidrasi yang berat dan kelainan elektrolit. Singkirkan dulu setiap komplikasi konstipasi yang dapat mengancam hidup penderita (misalnya, volvulus) dan ingat bahwa penderita mungkin mengalami perforasi usus setelah dilakukan klisma dengan air hangat di rumah. Keluhan berikut juga dapat dipakai sebagai dugaan bahwa penderita mengalami kesulitan defekasi : perasaan kurang puas setelah defekasi, sering dilakukan evakuasi feses dengan jari, “tenesmus”, dan retensi pada saat dikerjakan klisma.4,5,9,10
Uraian yang tepat tentang gejala dan lama terjadinya harus didapat. Konstipasi yang ditemukan sejak lahir atau sejak awal usia kanak-kanak cenderung bersifat kongenital, sementara awitan yang terjadi kemudian menunjukkan penyakit yang di dapat. Penjelasan mengenai frekuensi dan sifat defekasi harus dinyatakan, termasuk keluhan mengejan yang berlebihan saat defekasi, adanya skibala yang keras, atau perasaan pengeluaran kotoran yang tidak tuntas. Pasien harus ditanya mengenai nyeri abdomen dan kembung yang terkait dan gejala-gejala saluran kemih atau saluran makanan bagian atas. Pertanyaan ini penting untuk mendapatkan riwayat pemakaian laksatif dan lamanya.8

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik sering kurang bermanfaat untuk menetapkan penyebab serta pengobatan konstipasi. Pemeriksaan fisik untuk menilai keadaan sistemik dan local, terutama tanda adanya masa intra abdomen, peristaltik usus dan colok dubur.
Pemeriksaan fisik harus ditujukan pada deteksi penyakit-penyakit nongastrointestinal yang dapat turut menjadi penyebab timbulnya konstipasi. Perhatian khusus harus diberikan pada pemeriksaan neurologis, termasuk penilaian terhadap fungsi autonom. Abdomen harus diperiksa untuk mencari tanda-tanda pembedahan sebelumnya, distensi usus atau feses yang tertahan. Pemeriksaan perineum dan anorektal harus dilakukan untuk menemukan bukti adanya deformitas, atrofi otot gluteus, prolapsus rekti, stenosis ani, fissura ani, masa rektum atau fecal impaction. Pasien dapat diminta untuk mengejan agar bukti yang menunjukan adanya rektokel, atau prolapsus rekti dapat terlihat. Adanya “ kedipan anus “ harus dinilai dengan menunjukkan kontraksi refleks kanalis ani setelah rasa ditusuk peniti pada perineum.8
Pemeriksaan fisik sering kurang bermanfaat untuk menetapkan penyebab serta pengobatan konstipasi, kecuali pada kejadian berikut ini : 5,9,10
Adanya masa yang teraba pada pemeriksaan abdomen.
Lesi anorectal, yang diduga menjadi penyebab konstipasi (misalnya : fisura ani, fistula ani, striktur, kanker, hemoroid yang memgalami trombosis)
Intususepsi yang tampak pada saat mengejan.
Pemeriksaan colok dubur (RT) sering bermanfaat untuk dipakai menemukan kelainan berikut ini :4,5,9,10
Masa anorektal.
Tonus sfingter ani internal.
Kekuatan sfingter ani eksternal dan otot puborectalis.
Adanya “gross blood” atau “occult bleeding” dengan memeriksa tes guaiak tinja.
Jumlah dan konsistensi tinja : pada “pelvis outlet dysfunction”, akan ditemukan tinja lebih banyak di daerah “rectal vault” dari pada pada “colonic inertia” atau “irritable bowel syndrome”, di mana di antara defekasi biasanya hanya ditemukan sisa tinja dalam jumlah yang lebih sedikit atau tidak ada sama sekali. “Pelvis floor dysfunction” (disfungsi dasar panggul) dapat memberi gejala khas berupa kegagalan memberi tekanan pada jari pada saat mengejan pada waktu dilakukan pemeriksaan colok dubur.
Anus kaku atau spastik, yang menunjukkan adanya lesi anus.
Lumen dari rektumbiasanya membesar dan biasanya teraba “ faecal mass”. Jadi bila dijumpai dilatasi dari rektum dengan proktostasis dan adanya gangguan pengosongan rektum ialah tanda patognomonis dan dyschezia

3. Pemeriksaan laboratorium
Perlu diperhatikan warna, bentuk, besarnya dan konsistensi dari masa fekal. Pemeriksaan kimia darah dapat dipakai untuk menyingkirkan kelainan metabolik sebagai penyebab konstipasi, seperti : hipokalemia dan hiperkalsemia. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan adanya anemia akibat perdarahan per anum (“gross” atau “occult”). Tes fungsi tiroid dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya hipotiroid.4,9,10

4. Pemeriksaan radiology
Foto polos abdomen (berdiri dan berbaring) : dapat menunjukkan jumlah tinja dalam kolon penderita. Dengan demikian diagnosis banding antara : “fecal impaction”, obstruksi usus, dan “fecalith” dapat dibuat. Diagnosis adanya “fecalith” penting untuk dipastikan karena kemungkinan terjadinya komplikasi “stercoral ulcers”, yang dapat menimbulkan perforasi kolon dapat terjadi setiap saat. Gastropati diabetik, seperti halnya “fecal impaction”, dapat timbul pada penderita neuropati diabetik. Sisa barium (sesudah pemeriksaan barium enemas) dapat juga tampak pada foto polos abdomen.9
Skleroderma dan penyakit jaringan ikat yang lain, dapat disertai gangguan motorik yang dapat menutupi gejala-gejala obstruksi kolon pada pemeriksaan foto polos abdomen “Myxedema ileus” dapat terjadi akibat hipotiroid.9

5. Pemeriksaan lain-lain
Rektosigmoidoskopi
Perlu dikerjakan dan diperhatikan membran mukosa, untuk memperhatikan ada tidaknya tanda-tanda kataral proktosigmoiditis dan melanosis koli. Pada penderita yang biasa mempergunakan laksatif atau terlalu sering melakukan lavement, maka terlihat tanda-tanda inflamasi yang ringan yaitu mukosa membran terlihat kuning kecoklat-coklatan. Sering terlihat bahwa sigmoid mengalami dilatasi, sehingga instrument dapat dengan mudah masuk ke sigmoid.
Pemeriksaan ekstensif yang lebih teliti pada penderita konstipasi dapat dilakukan secara poliklinik, biasanya baru dikerjakan bila keluhan berlangsung lebih dari 3 – 6 bulan, dan pengobatan medik tidak ada hasilnya.4,5,10
Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk melihat baik anatomi (barium enema, proktosigmoidoskopi, kolonoskopi) maupun fisiologi (“colonic transit study”, “defecography”, “manometry”, “electromyography”).4,5,6,9,10
Kolonoskopi atau sigmoidoskopi fleksibel dapat memeperlihatkan melanosis koli sebagai bercak berwarna hitam coklat pada mukosa usus yang terjadi akibat penggunaan preparat laksatif antrakuinon secara kronik.
Tidak adanya haustra pada endoskopi atau barium enema menunjukkan “kolon katartik” akibat penyalahgunaan preparat laksatif. Barium enema juga dapat memperlihatkan lesi obstruktif kolon, penyakit mega kolon atau mega rektum, dan pada penyakit hirschsprung akan menunjukkan segmen usus yang mengalami denervasi serta memperlihatkan gambaran yang khas dengan dilatasi segmen kolon yang proksimal. Pada kasus-kasus seperti ini, biopsi rektum dapat dilakukan untuk menunjukkan tidak adanya neuron.8

Beberapa prosedur yang dapat dikerjakan untuk membantu diagnosis:
Anoscopy/Proctoscopy: pemeriksaan ini dapat dilakukan secara rutin pada setiap penderita konstipasi untuk melihat adanya : fisura ani, tukak, hemoroid, dan keganasan lokal anorektal.4,10

Digital disimpaction (disimpaksi dengan jari): dengan menggunakan sarung tangan yang telah di lubrikasi, tinja yang telah menekan daerah anorektal bawah selama beberapa lama dapat dilepaskan.4,10
Klisma dengan air hangat : biasanya kurang popular, mungkin belum perlu dikerjakan pada penangan awal.4,10

II.7. PENGOBATAN
Pengobatan utama adalah pemberian diit tinggi serat. “Bulking agents” merupakan pengobatan lini berikutnya. Pemberian klisma dapat dikerjakan untuk membantu melakukan evakuasi tinja secara total. Hindari pemakaian iritan atau perangsang peristaltik. Pemakaian obat-obat ini dalam jangka panjang pernah dilaporkan dapat menimbulkan kerusakan pada “myenteric plexus”, yang selanjutnya justru akan mengganggu gerakan usus.
Pada prinsipnya untuk merawat penderita konstipasi ialah :
1.Harus dicari sebab-sebabnya.
2.Memberi pendidikan atau pengertian kepada penderita, agar dapat melakukan defekasi secara alamiah.
3.Menghentikan kebiasaan pemakaian laksatif dan enema.
4.Mengembalikan dan membiasakan agar dapat defekasi sendiri tanpa obat-obatan
Oleh karena itu perawatan konstipasi untuk tiap penderita tidak selalu sama, dan harus dicari penyebabnya. Memberi penerangan kepada penderita, agar supaya secara teratur pada waktu-waktu yang tertentu melakukan defekasi.
Perhatian terhadap pengobatan yang spesifik seyogyanya lebih ditujukan pada evakuasi dari tinja, dibanding meningkatkan gerakan usus. Konsultasi dengan ahli bedah sebaiknya segera dikerjakan bila ada dugaan obstruksi intestinal atau volvulus (Holson 2001).Penanganan konstipasi harus disesuaikan menurut keadaan masing-masing pasien dengan memperhitungkan lama dan intensitas konstipasi, faktor-faktor kontribusi yang potensial, usia pasien dan harapan pasien.
1.PERUBAHAN GAYA HIDUP
a. Diet
Makanan berserat, baik yang mudah larut maupun yang sulit larut, merupakan bagian dari buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian, yang tidak dapat dicerna oleh tubuh. Makanan berserat yang mudah larut akan cepat melarut dalam air dan membentuk bahan “gel” dalam usus. Sebaliknya makanan berserat yang tidak larut, akan melewati usus tanpa mengalami perubahan Bahan serat yang berbentuk besar (“bulk”) dan lunak ini akan mencegah terjadinya tinja yang keras dan kering yang lebih sulit melewati usus.4,5,9,10
Rata-rata orang Amerika makan 5 – 20 gram makanan berserat setiap harinya, lebih sedikit dibanding jumlah 20 – 35 gram yang dianjurkan oleh “the American Dietetic Association”. Baik anak-anak maupun orang dewasa makan terlalu banyak makanan yang sudah dibersihkan dan diproses, di mana serat alamiahnya sudah dibuang.
Terapi inisial biasanya berupa diet dengan penekanan pada peningkatan asupan serat makanan. Banyak pasien dengan konstipasi memperlihatkan responnya terhadap peningkatan asupan serat makanan hingga mencapaijumlah antara 20-30 gram/hari. Suplementasi serat dapat meningkatkan berat tinja serta frekuensi defekasi dan menurunkan waktu transit gastrointestinal.
Efek serat yang menghasilkan massa dalam kotoran dapat berhubungan dengan peningkatan retensi air maupun dengan proliferasi bakteri kolon yang memproduksi gas di dalam tinja.
Suplementasi serat bukan terapi yang tepat bagi pasien dengan lesi obstruktif traktus gastrointestinal atau bagi pasien penyakit megakolon atau megarektum.8
Dianjurkan makanan yang banyak mengandung sayur-sayuran, buah-buahan, yang banyak mengandung selulosa. Selulosa yang dimakan susah dicerna, sebab didalam badan kita tidak mempunyai enzim selulosa. Jadi selulosa berguna untuk memperlancar defekasi.13
b. Banyak minum dan olah raga
Cairan seperti air dan jus, menambah jumlah air yang masuk ke dalam kolon dan memperbesar bentuk tinja, dan membuat gerakan usus menjadi lebih per-lahan-lahan dan lebih mudah. Penderita yang mengalami masalah konstipasi, seyogyanya minum cukup air setiap harinya, sekitar 8 gelas perhari. (suyono)Cairan lain seperti kopi dan “soft drinks”, yang mengandung kafein, tampaknya mempunyai efek dehidrasi.4,5,10
Kurang olah raga dapat menimbulkan konstipasi, tanpa diketahui penyebab sebenarnya. Sebagai contoh, konstipasi sering terjadi pada penderita setelah mengalami kecelakaan atau pada saat penderita diharuskan tirah baring dalam waktu yang lama karena penyakitnya.4,10
2.PEMBERIAN OBAT
Pengobatan utama adalah pemberian diit tinggi serat. “Bulking agents” merupakan pengobatan lini berikutnya. Pemberian klisma dapat dikerjakan untuk membantu melakukan evakuasi tinja secara total. Hindari pemakaian iritan atau perangsang periltatik. Pemakaian obat-obat ini dalam jangka panjang pernah dilaporkan dapat menimbulkan kerusakan pada “myenteric plexus”, yang selanjutnya justru akan mengganggu gerakan usus.4,5,9,10
a. Laksans
Sebagian besar penderita dengan konstipasi ringan biasanya tidak membutuhkan pemberian laksans. Namun bagi mereka yang telah melakukan perubahan gaya hidup, tetapi masih tetap mengalami konstipasi, pemberian laksans dan atau klisma untuk jangka waktu tertentu dapat dipertimbangkan. Pengobatan ini dapat menolong sementara untuk mengatasi konstipasi yang telah berlangsung lama akibat usus yang malas. Pada anak-anak, pengobatan laksans jangka pendek, untuk merangsang supaya usus mau bergerak secara teratur, juga dapat dipakai untuk mencegah konstipasi. Laksans dapat diberikan per oral, dalam bentuk cairan, tablet, bubuk. Ada beberapa macam cara kerjanya.4,5,10
b.Bulk forming agents / hydrophilic
Digunakan untuk meningkatkan masa tinja, hingga akan merangsang terjadinya perilstatik. Bahan ini biasanya cukup aman, tetapi dapat mengganggu penyerapan obat lain. Laksans ini juga dikenal dengan nama “fiber supplements”, dan harus diminum dengan air. Dalam usus bahan ini akan menyerap air, dan membuat tinja menjadi lebih lunak. Beberapa contoh : 4,5,10
Psyllium (Metamucil, Fiberall)
Methylcellulose (Citrucel)
Ispaghula (Mucofalk)
Dietary brand

c.Emollients / softeners / sufactant / wetting agents
Menurunkan tekanan permukaan tinja, membantu penyampuran bahan cairan dan lemak, sehingga dapat melunakkan tinja. Pelunak tinja (“stool softeners”) dapat melembabkan tinja, dan menghambat terjadinya dehidrasi. Laksans ini banyak dianjurkan pada penderita setelah melahirkan atau pasca bedah Beberapa contoh :4,5,10
Docusate (Colace, Surfak)
Mineral oil
Polaxalko

d.Emollient stool softeners in combination with stimulants / irritant
“Emollient stool softeners” menyebabkan tinja menjadi lunak. Stimulan meningkatkan aktivitas perilstatik saluran cerna, menimbulkan kontraksi otot yang teratur (“rhythmic”). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa fenolftalen, yang dikandung dalam beberapa laksans stimulans, ternyata dapat meningkatkan resiko kanker. FDA telah melakukan pelarangan penjualan bebas produk yang mengandung bahan fenolftalen ini. Sebagian besar produsen laksans saat ini telah mulai mengganti fenolftalen dengan bahan yang lebih aman. Beberapa contoh : 4,5,10
Docusate sodium and casanthranol combination (Peri-Colace, Diocto C, Silace-C)
Bisacodyl (Dulcolax)
Brand names include Correctol®, Senna®, Purge®, Feen-A-Mint®, and Senokot®.

e.Osmotic laxatives
Mempunyai efek menahan cairan dalam usus, osmosis, atau mempengaruhi pola distribusi air dalam tinja. Laksans jenis ini mempunyai kemampuan seperi “spons”, menarik air ke dalam kolon, sehingga tinja mudah melewati usus. 4,5,10
Hyperosmolar laxatives :
Polyethylene glycol solution (Miralax)
Lactulose (Cephulac, Cholac, Constilac, Duphalac, Lactulax)
Sorbitol
Glycerine
Saline laxatives :
Magnesium sulfate
Magnesium hydroxide (Phillips' Milk of Magnesia)
Sodium phosphate (Fleet enema)
Magnesium phosphate
Penderita yang sudah tergantung pada pemakaian laksans ini, sebaiknya dianjurkan untuk menghentikan obat ini secara perlahan-lahan. Pada sebagian besar penderita, biasanya kemampuan untuk kontraksi kolon dapat dipulihkan kembali secara alamiah, dengan memperbaiki penyebab konstipasi tersebut.4,5

3.PENGOBATAN LAIN
Pengobatan spesifik terhadap terhadap penyebab konstipasi, juga dapat dikerjakan tergantung apakah penyebabnya dapat dikoreksi atau tidak. Sebagai contoh, penghentian obat yang menimbulkan konstipasi, atau tindakan bedah untuk mengoreksi ada tidaknya kelainan anorektal, seperti prolapsus rekti. 4,5,10
a.Prokinetik
Obat-obat prokinetik telah dicoba untuk pengobatan konstipasi, tetapi belum banyak publikasi yang menunjukkan efektivitasnya. Obat prokinetik (seperti : cisapride dan metoclopramide) merupakan agonis 5HT4 dan antagonis 5HT3. Cisapride telah dilaporkan dapat memperbaiki keluhan penyakit refluks gastroesofagus, namun pada konstipasi belum banyak laporan yang ditulis.
Tegaserod, merupakan agonis parsial 5-HT4, dapat mempercepat transit orosekal (tanpa mempengaruhi pengosongan lambung) dan mempunyai tendensi untuk mempercepat transit kolon. Dalam uji klinik fase III, tegaserod 12 mg/hari, menghasilkan peningkatan kelompok “Irritabel bowel syndrome” tipe konstipasi yang mencapai tujuan utama “hilangnya keluhan “ penderita. Efek sekunder yang ditemukan termasuk antara lain perbaikan dalam konstipasi, nyeri sepanjang hari, dan rasa kembung.10
b.Analog prostaglandin
Analog prostaglandin (misoprostil) dapat meningkatkan produksi PGE2 dan merangsang motilitas saluran cerna bagian bawah.10

c.Klisma dan supositoria
Bahan tertentu dapat dimasukkan ke dalam anus untuk merangsang kontraksi dengan cara menimbulkan distensi atau lewat pengaruh efek kimia, untuk melunakkan tinja. Kerusakan mukosa rektum yang berat dapat terjadi akibat ekstravasasi larutan klisma ke dalam lapisan submukosa. Beberapa cara yang dapat dipakai : 4,10
- Klisma dengan PZ atau air biasa
- Na-fosfat hipertonik
- Gliserin supositori
- Bisacodyl supositori
d.Biofeedback
Penderita dengan konstipasi kronik akibat disfungsi anorektal dapat dicoba dengan pengobatan “biofeedback” untuk mengembalikan otot yang mengendalikan gerakan usus. “Biofeedback” menggunakan sensor untuk memonitor aktivitas otot yang pada saat yang sama dapat dilihat di layar komputer sehingga fungsi tubuh dapat diikuti dengan lebih akurat. Seorang ahli kesehatan yang professional, dapat menggunakan alat ini untuk menolong penderita mempelajari bagaimana cara menggunakan otot tersebut. 4,10
Dalam penelitian Houghton dan kawan-kawan (2002) ditemukan bahwa emosi dapat mempengaruhi persepsi dan distensi rektal pada penderita IBS. Juga dapat ditunjukkan bahwa pikiran mempunyai peranan yang sangat penting dalam modulasi faal saluran cerna. 11
e.Operasi
Tindakan bedah (subtotal colectomy dengan ileo-ractal anastomosis) hanya dicadangkan pada penderita dengan keluhan yang berat akibat kolon yang tidak berfungsi sama sekali (“colonic inertia”). Namun tindakan ini harus dipertimbangkan sungguh-sungguh, karena komplikasinya cukup banyak seperti : nyeri perut dan diare. 4,10


II.8. PANTAUAN PENDERITA

1.Untuk penderita rawat inap :
Penderita rawat inap dengan konstipasi yang perlu mendapat perhatian khusus, karena mungkin perlu evaluasi ahli bedah adalah : 4,10
Adanya tanda-tanda obstruktif
“Nonrectal impactions”
Demam dan dehidrasi.

2. Penderita rawat jalan
Pengawasan penderita rawat jalan harus mengikut sertakan dokter keluarga penderita untuk memastikan pengawasan yang lebih baik. Konsultasi ke Gastroenterologis dianjurkan pada penderita dengan keluhan : 4,10
Konstipasi yang relatif baru.
Konstipasi kronik dengan penurunan berat badan, anemia, atau perubahan konsistensi tinja.
Konstipasi yang refrakter.
Konstipasi yang membutuhkan pemakaian laksans yang terus menerus.

3. Obat-obat yang dianjurkan 4,10
Bulk-forming agent: Psyllium (eg, Metamucil) dapat meningkatkan frekuensi defekasi dan melunakkan konsistensi tinja.
Emollient: Docusate sodium (eg, Colace) memperbaiki gerakan usus.
Klisma dengan air hangat : dapat mempercepat perbaikan keluhan penderita dan dapat mengatur gerakan usus selanjutnya.

4. Pencegahan 4,10
Minum yang cukup (misalnya, 8 gelas air sehari)
Olah raga teratur.
Diet tinggi serat
Hindari atau kurangi obat-obat yang menimbulkan konstipasi
Defekasi yang teratur, usahakan pada jam yang sama setiap harinya, dapat mengurangi keluhan, terutama setelah makan di mana refleks “gastrocolic” menunjukkan kerja paling kuat.

5. Komplikasi 4,10
Fisura ani
“Fecal impaction”
Obstruksi usus
“Fecal incontinence”
Ulserasi stercoral
Megakolon
Volvulus
Pprolaps rektum
Retensi urin
“Syncope”

6. Prognosis 4,10
Sebagian besar penderita yang aktif, menunjukkan respons yang baik dengan pemberian obat.
Pada penderita yang harus tirah baring lama, konstipasi akan menjadi masalah, juga yang “debilated” (cacat).

DAFTAR PUSTAKA




1.Colonic Obstruction, http://www.emedicine.com/med/topic415.htm

2.Ahmadsyah I, et al, 1997 : Kelainan abdomen nonakut. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed Sjamsuhidajat R, EGC, Jakarta, hal 240-254.


3.Harari D, Gurwitz JH, Avorn J, et al, 1997: How do older persons define constipation? Implications for therapeutic management. J Gen Intern Med 12(1): 63-66

4.Lennard-Jones JE, 1998: Constipation. In Sleisenger and Fordtrans’s Gastrointestinal and Liver Disease. Pathophysiology / Diagnosis / management. Vol 1, 6th Ed, Ed by M Feldman et al, WB Saunders Co, Philadelphia – Toronto, p 174-197


5.Wald A, 1995: Approach to the patient with constipation. In Textbook of Gastroenterology, vol 1, 2nd ed, Ed by T Yamada et al, JB Lippincott Co, Philadelphia, p 864-880

6.Hadi S, 2001: Psikosomatik pada Saluran Cerna Bagian Bawah, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi ke-3, Gaya baru, Jakarta, 712-716.


7.Ulshen M, 2000: Sistem Saluran Pencernaan, Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Ed Wahab S, Edisi 15, Volume 2, EGC, Jakarta, hal 1271-1278

8.Friedman LS, Isselbacher KJ: Diare dan Konstipasi, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, vol 1, edisi ke-13, editor Asdie AH, EGC, Indonesia, hal 247-157.

9.Koch TR, 1995: Constipation. In Bockus Gastroenterology, vol 1, 5th ed, Ed by WS Haubrich et al, WB Saunders Co, Philadelphia – Tokyo, p 102-112



10.Ramkumar DP and Rao SSC, 2001: Functional anorectal disorders. In Evidence-Based Gastroenterology, Ed by EJ Irvine and RH Hunt, BC Decker Inc, Hamilton – London, p 207-222

11.Constipation, http://www.pgh.or.id/RSDS03-P.html

12.Constipation, http://crpresentations.medicalillustration,

13.Hadi S, 1981: Keluhan-keluhan Yang Sering Pada Gastroenterologi, Gastroenterologi, Penerbit Alumni, Bandung, hal 17-36




Sunday 1 May 2011

bLOOd tRANFUTIOn = tranfusi darah


Blood Transfusion

Pendahuluan

Penggantian darah atau tranfusi darah adalah suatu pemberian darah lengkap atau komponen darah seperti plasma, sel darah merah kemasan atau trombosit melalui IV. Transfusi adalah pemindahan darah atau komponen darah dari donor kepada resipien. Komponen meliputi komponen seluler dan humoral yang telah dipisah-pisahkan maupun sebagai plasma utuh.

Indikasi

1.    Pasien dengan kehilangan darah dalam jumlah besar (operasi besar, perdarahan postpartum, kecelakaan, luka bakar hebat, penyakit kekurangan kadar Hb atau penyakit kelainan darah)
2.    Pasien dengan syok hemoragi

Secara umum, dari beberapa panduan yang telah dipublikasikan, tidak direkomendasikan untuk melakukan transfuse profilaksis dan ambang batas untuk melakukan transfuse adalah kadar hemoglobin di bawah 7,0 atau 8,0 g/dl, kecuali untuk pasien dengan penyakit kritis.
Kadar hemoglobin 8,0 g/dl adalah ambang batas transfuse untuk pasien yang dioperasi yang tidak memiliki factor resiko iskemik, sementara untuk pasien dengan resiko iskemik, ambang batas dapat dinaikkan samapai 10,0 g/dl. Namun, transfuse profilaksi tetap tidak dianjurkan.
Pemberian transfuse untuk menambah kapaitas pengiriman oksigen, seperti kerap dilakukan di unit perawatan intensif, tidak dianjurkan. Sebuah studi pada pasien sepsis melaporkan bahwa transfuse tidak menyebabkan perubahan kapasitas pengiriman oksigen 6 jam setelah transfuse.

Tujuan

o   Meningkatkan volume sirkulasi darah setelah pembedahan, trauma atau perdarahan
o   Meningkatkan jumlah sel darah merah dan untuk mempertahankan kadar hemoglobin pada klien yang mengalami anemia berat
o   Memberikan komponen seluler yang terpilih sebagai terapi pengganti (misal : faktor pembekuan plasma untuk membantu mengontrol perdarahan pada klien yang menderita hemofilia)

Golongan dan Tipe Darah

Darah tersusun dari beberapa unsur yang mempunyai peran utama dalam terapi tranfusi darah. Komponen ini meliputi antigen, antibody, tipe Rh, dan antigen HLA. Antigen adalah zat yang mendatangkan respon imun spesifik bila terjadi kontak dengan benda asing. Sistem imun tubuh berespon dengan memproduksi antibody untuk memusnahkan penyerang. Reaksi Antigen (Ag) dan Antibodi  (AB) ini diperlihatkan dengan aglutinasi atau hemolisis. Antibodi dalam serum berespon terhadap antigen penyerang dengan mengelompokkan sel-sel darah merah bersama-sama dan menjadikan mereka tidak efektif atau memusnahkan sel darah merah. Sistem penggolongan darah didasarkan pada reaksi Ag-AB yang menentukan kompabilitas darah. Aglutinin, atau antibody yang bekerja melawan antigen A dan B, disebut agglutinin anti A dan agglutinin anti B. Aglutinin ini terjadi secara alami.
Individu dengan golongan darah O secara alami memproduksi kedua aglutinin tersebut, inilah sebabnya individu dengan golongan darah O disebut sebagai donor universal. Individu golongan AB juga menghasilkan antibodi AB, oleh karena itu individu dengan golongan AB disebut resipien universal. Bila darah yang ditranfusikan  tidak sesuai, maka akan timbul reaksi tranfusi.
Sistem golongan darah yang diperiksa dalam pelaksanaan transfusi darah secara rutin adalah sistem ABO dan rhesus. Pencocoksilangan (crossmatching) kemudian menentukan kompatibilitas ABO dan Rh adalah penting dalam pemberian terapi tranfusi darah. Penggolongannya adalah :
Table 1 . penggolongan darah berdasarkan system ABO
Golongan darah
Antigen
Antibody
A
B
AB
O
A
B
AB
Tidak ada
Anti-B
Anti-A
Tidak ada
Anti-A,anti-B, anti-AB

Table 2 . penggolongan darah berdasarkan system rhesus
Anti Rho(D)
Control Rh
Tipe Rh
Positif
Negative
Positif
Negative
Negative
Positif
D +
D –
Harus diulang atau diperiksa dengan Rho (D) typing (Saline tube test)

System HLA merupakan komponen berikutnya untuk dipertimbangkan dalam pemberian tranfusi. System HLA didasarkan pada antigen yang terdapat dalam leukosit, trombosit dan sel-sel lainnya. Penggolongan dan pencocoksilangan HLA  kadang-kadang diperlukan sebelum tranfusi trombosit diulangi.

Darah dan Komponen Darah

Penggunaan darah untuk transfuse hendaknya selalu dilakukan secara rasional dan efisien yaitu dengan memberikan hanya komponen darah/derivate plasma yang dibutuhkan saja.
Dari satu unit darah lengkap donor dengan proses sentrifugasi dengan kecepatan tinggi dapat dipisahkan menjadi sel darah merah pekat, trombosit, plasma segar beku = fresh frozen plasma (FFP), kriopresipitat dan lain-lain sedangkan dari plasma dengan proses fraksinasi akan didapat derifatnya antara lain albumin, immunoglobulin dan factor-faktor koagulasi pekat misalnya factor VIII dan factor IX pekat.
Macam-macam komponen darah
Seluler
-          Darah utuh (whole blood)
-          Sel darah merah pekat (packed red blood cell)
ü  Sel darah merah pekat dengan sedikit leukosit (packed red blood cell leukocytes reduced)
ü  Sel darah merah pekat cuci (packed red blood cell washed)
ü  Sel darah merah pekat beku (packed red blood cellfrozen, packed red blood cell deglycerolized)
-          Trombosit konsentrat (concentrate platelets)
Ø  Trombosit dengan sedikit leukosit (platelet concentrate leukocyte reduced)
-          Granulosit feresis (granulocytes pheresis)
Non seluler
-          Plasma segar beku (fresh frozen plasma)
-          Plasma donor tunggal (single donor plasma)
-          Kriopresipitat factor anti hemophilia (cryoprecipitate AHF)
Macam macam derifat plasma :
-          Albumin
-          Immunoglobulin
-          Factor VIII dan factor IX pekat
-          Rh immunoglobulin
-          Plasma ekspander sintetik
*  Darah lengkap (whole blood)
              Darah lengkap ini berisi sel darah merah, leukosit, trombosit dan plasma. Di Indonesia satu kantong darah lengkap berisi 250 ml darah dengan 37 ml antikoagulan, ada juga yang 1 unit kantong berisi 350 ml darah dengan 49 ml antikoagulan. Suhu simpan 1-6o C. lama simpan tergantung antikoagulan yang dipakai pada kantong darah; pada pemakaian sitrat fosfat dekstrose (CPD) lama simpan 21 hari sedangkan CPD adenine 35 hari. Menurut masa simpan invitro ada 2 macam darah lengkap : darah segar (darah yang disimpan sampai 48 jam) dan darah baru ( darah yang disimpan sampai 5 hari.
Tranfusi darah lengkap hanya untuk mengatasi perdarahan akut dan masif, meningkatkan dan mempertahankan proses pembekuan. Darah lengkap diberikan dengan golongan ABO dan Rh yang diketahui. Infuskan selama 2 sampai 3 jam, maksimum 4 jam/unit. Dosis tergantung klinis pasien, pada orang dewasa darah lengkap akan meningkatkan Hb sekitar 1 g/dl atau hematokrit 3-4 %. Dosis pada pediatrik rata-rata 20 ml/kg diikuti dengan volume yang diperlukan untuk stabilisasi., darah lengkap 8 ml/kg akan meningkatkan Hb sekitar 1 g/dl. Hindari memberikan tranfusi saat klien tidak dapat menoleransi masalah sirkulasi. Hangatkan darah jika akan diberikan dalam jumlah besar.
Indikasi:
1.       Penggantian volume pada pasien dengan syok hemoragi, trauma atau luka bakar
2.       Klien dengan perdarahan masif dan telah kehilangan lebih dari 25 persen dari volume darah total
Kontraindikasi :
Sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan anemia kronik yang normovolemik atau yang bertujuan meningkatkan sel darah merah.

*      Packed Red Blood cells (RBCs)
Komponen ini mengandung eritrosit, lekosit, trombosit dan  sedikit plasma karena sebagian plasma telah dihilangkan (80 %). Tersedia volume 150 – 300 ml tergantung kantong yang dipakai dengan eritrosit 100-200ml.  Disimpan pada suhu 1-6oC. Dengan antikoagulan CPDA masa simpan 35 hari dengan nilai hematokrit 70-80 %. Sedang dengan antikoagulan CPD bisa 21 hari. Komponen eritrosit disimpan dalam larutan tambahan (buffer destrosa, adenin, manitol) memiliki nilai hematokrit 52-60% dan masa simpan 42 hari. Diberikan selama 2 sampai 4 jam, dengan golongan darah ABO dan Rh yang diketahui. Hindari menggunakan  komponen ini untuk anemia yang mendapat terapi nutrisi dan obat.
Indikasi :
1.    Pasien dengan kadar Hb rendah
2.    Pasien anemia karena kehilangan darah saat pembedahan
3.    Pasien dengan massa sel darah merah rendah
Kontraindikasi : Dapat menyebabkan hipervolemia jika diberikan dalam jumlah banyak dalam waktu singkat.
Keuntungan :Perbaikan oksigenasi dan jumlah eritrosit tanpa menambah beban volume seperti pada pasien anemia dengan gagal jantung.
Dosis : 1 unit PRC akan meningkatkan Hb sekitar 1 gr/dl atau hematokrit 3-4%.

*      White Blood Cells (WBC atau leukosit)
    Komponen ini terdiri dari darah lengkap dengan  isi seperti RBCs, plasma dihilangkan 80 % , biasanya  tersedia dalam volume 150 ml. Dalam pemberian perlu diketahui golongan darah ABO dan sistem Rh. Apabila diresepkan berikan dipenhidramin. Berikan antipiretik, karena komponen ini bisa menyebabkan demam dan dingin. Untuk pencegahan infeksi, berikan tranfusi dan disambung dengan antibiotik.
Indikasi :
1.    Pasien sepsis yang tidak berespon dengan antibiotik (khususnya untuk pasien dengan kultur darah positif, demam persisten /38,3° C dan granulositopenia)

*      Leukosit –poor RBCs
Komponen ini sama dengan RBCs, tapi leukosit dihilangkan sampai 95 %, digunakan bila kelebihan plasma dan antibody tidak dibutuhkan. Komponen ini tersedia dalam volume 200 ml, waktu pemberian 1 ½ sampai 4 jam.
Indikasi:
ü  Pasien dengan penekanan system imun (imunokompromise)
ü  Pemberian : paling baik diberikan dengan menggunakan filter darah generasi ketiga.
*      Platelet/trombosit
Berisi trombosit beberapa lekosit dan sel darah merah serta plasma. Komponen ini biasanya digunakan untuk mengobati kelainan perdarahan atau jumlah trombosit yang rendah. Volume  bervariasi biasanya 35-50 ml/unit, untuk pemberian biasanya memerlukan beberapa kantong. Komponen ini diberikan secara cepat. Hindari pemberian trombosit jika klien sedang demam. Klien dengan riwayat reaksi tranfusi trombosit, berikan premedikasi antipiretik dan antihistamin. Shelf life umumnya 6 sampai 72 jam tergantung pada kebijakan pusat di mana trombosit tersebut didapatkan. Periksa hitung trombosit pada 1 dan 24 jam setelah pemberian.
Indikasi:
1.       Pasien dengan trombositopenia (karena penurunan trombosit, peningkatan pemecahan trombosit
2.       Pasien dengan leukemia dan marrow aplasia

*      Fresh Frozen Plasma (FFP)

Komponen ini digunakan untuk memperbaiki dan menjaga volume akibat kehilangan darah akut. Komponen ini mengandung semua faktor pembekuan darah (factor V, VIII, dan IX). Pemberian dilakukan secara cepat, pada pemberian FFP dalam jumlah besar diperlukan koreksi adanya hypokalsemia, karena asam sitrat dalam FFP mengikat kalsium. Shelf life 12 bulan jika dibekukan dan 6 jam jika sudah mencair. Volume sekitar 200-250 ml. Perlu dilakukan pencocokan golongan darah ABO dan system Rh.
Indikasi:
ü  Pencegahan perdarahan postoperasi dan syok
ü  Pasien dengan defisiensi faktor koagulasi yang tidak bisa ditentukan
ü  Klien dengan penyakit hati dan mengalami defisiensi faktor pembekuan.
Coution!!!!!!!!!
Plasma sebaiknya tidak digunakan untuk mempertahankan ekspansi volum karena resiko penularan penyakit yang tinggi. Albumin, fraksi protein plasma, koloid, atau kristaloid yang tidak menularkan penyakit merupakan produk yang lebih aman untuk mempertahankan volume darah.
Pemberian : Diberikan dalam 6 jam setelah pencairan, dengan memakai filter standar. Jika plasma diberikan sebagai pengganti faktor koagulasi dosisnya adalah 10-20 ml/kg (4-6 unit untuk orang dewasa) dapat meningkatkan faktor koagulasi 20-30%, dapat pula meningkatkan faktor VIII 2% (1 unit / kg).
Efek samping : Menggigil, demam dan hgipervolemia
ASA merekomendasikan pemberian FFP dengan mengikuti petunjuk berikut :
  1. Segera setelah terapi warfarin
  2. Untuk koreksi defisiensi faktor koagulasi yang mana untuk faktor yang spesifik tidak tersedia
  3. Untuk koreksi perdarahan mikrovaskuler sewaktu terjadi ;peningkatan > 1,5 X nilai normal PT atau PTT
  4. Untuk koreksi perdaraha n sekunder mikrovaskuler yang meningkat akibat defisiensi faktor koagulasi pada pasien yang ditransfusi lebih dari satu unit volume darah dan jika PT dan PTT tidak dapat diperoleh saat dibutuhkan.
  5. FFP sebaiknya diberikan dalam dosis yang diperhitungkan mencapai suatu konsentrasi plasma minimum 30% (biasanya tercapai dengan pemberian 10-15 ml/kg), kecuali setelah pemberian warfarin yang mana biasanya cukup antara 5-8 ml/kg.
  6. FFP dikontraindikasikan untuk peningkatan volume plasma atau konsentrasi albumin.

*      Albumin 5 % dan albumin 25 %
Komponen ini terdiri dari plasma protein, digunakan sebagai ekspander darah dan pengganti protein. Komponen ini dapat diberikan melalui piggybag. Volume yang diberikan bervariasi tergantung kebutuhan pasien. Hindarkan untuk mencampur albumin dengan protein hydrolysate dan larutan alkohol.
Albumin yang tersedia adalah larutan 25% dan 5%, sementara fraksi protein plasma yang tersedia adalah larutan 5%. Tiap sediaan mengandung natrium 145 mmol/L (145 mEq/L). Larutan albumin 5%, osmotic dan onkotiknya sama dengan plasma sedangkan larutan albumin 25% osmotic dan onkotiknya lima kali lebih besar dari plasma. Albumin memiliki waktu paruh 16 jam dan dapat disimpan lebih dari 5 tahun pada suhu 2-10oC.
Albumin diperoleh dari plasma darah yang sudah kadaluarsa atau dengan plasmaferesis, mengandung 96% albumin , 4 % globulin dan protein lainnya. Cara pembuatan dengan fraksinasi. Fraksi protein plasma (FPP) dibuat dengan cara yang sama tetapi beberapa tahap porifikasi tidak dilakukan mengandung albumin kurang lebih 80%, globulin 17%. Albumin tersedia dalam larutan dengan kadar 25% atau 5%, sedang FPP tersedia dalam larutan 5% mempunyai nilai osmotic dan ekivalen dengan plasma. Secara umum albumin dan FPP digunakan untuk penderita hipovolemik dan hipoproteinemia, pertukaran plasma /dialysis, HDN, kebocoran/kehilangan protein, luka bakar, gagal hati akut/kronik, sesudah parasentesis asites bila terjadi hipotensi, pada renjatan dengan protein rendah (protein kurang dari 6,2g/dl). Diperlukan tanpa saringan. Sediaan intramuskuler tidak boleh diberikan untuk intravena
Indikasi
ü  Pasien yang mengalami syok karena luka bakar, trauma, pembedahan atau infeksi
ü  Terapi hyponatremi
ü  Meningkatkan protein plasma
Kontraindikasi :
Larutan albumin 25% tidak boleh diberikan pada pasien dengan dehidrasi dan hanya dapat diencerkan dengan normal salin dan dekstrose 5%.
Dosis :
-          Defisiensi Ig bawaan : i.m 0.7 ml/kg/bulan atau i.v. 100 mg (2 ml/kg/bulan)
-          Profilaksi hepatitis A : 0,02 – 0,04 ml/kg bb im
-          Hepatitis B : 0,06 ml/kgbb im diulang setelah 1 bulan
-          Varisela zoster : 2.5 ml/10kg bb (maksimal 5 vial) im harus diberikan dalam 72 jam setelah terpapar.
-          Pengobatan hipotensi dengan albumin hendaklah disesuaikan dengan hemodinamik pasien. Dosis 500 ml (10-20ml/kg pada anak-anak) diberikan secara cepat untuk mengatasi syok. Pada pasien luka bakar dosis albumin atau fraksi plasma protein diberikan dalam dosis tertentu untuk mempertahankan kadar protein plasma 5,2 g/dl atau lebih tinggi. Albumin tidak dapat memperbaiki hipoalbuminemia kronik dan tidak digunakan untuk jangka panjang.

Reaksi Transfusi

Reaksi transfusi sebagian besar terjadi selama transfusi berlangsung atau sesaat sesudahnya, sebagian lagi memakan waktu lebih lama dengan gejala-gejala yang tidak nyata tetapi efek terapeutik transfusi tidak tercapai. Reaksi transfusi akut terjadi pada 5% transfusi dan reaksi tertunda pada 7 %. Sebagian reaksi transfusi bias dicegah atau dihindari, karena itu sebelum mengambil keputusan melakukan transfusi kita harus mempertimbangkan baik-baik resiko melawan keuntungannya.
Tipe reaksi
penyebab
Manifestasi
Segera
a.       Imunologik




Inkompatibilitas eritrosit
Hemofisis dengan gejala
Ab terhadap leukosit donor
Demam, non hemolitik
Ab terhadap Ig A
Anafilaktik
Ab terhadap leukoresipien
Edema paru non kardial
Ab terhadap protein plasma
Urtikaria
b.      Non-imunologik
Darah terkontaminasi
Demam tinggi, syok
Kelebihan volume
Gagal jantung kongestif
Darah sudah rusak
Hemofisis tanpa simtom
Emboli (udara, endapan darah, bahan lain)

Transfusi masif
Hiperkalemia , hipokalemia, koagulopati
Tertunda
a.       imunologik
Ab anamnestik terhadap Ag eritrosit
Hemofisis
Ab terhadap eritrosit
Reaksi GvH
Ab terhadap trombosit
Purpura post transfusi
b.      non imunologik
Banyak kali transfusi
Hemosiderosis, hemoragik metabolik
Penularan penyakit
Hepatitis, malaria
Emboli

Infeksi pada tempat tusukan
tromboflebitis

ý  Reaksi demam
Penyebab : benda pirogen, bakterimia, alat-alat terkontaminasi, reaksi Ag-Ab terhadap leukosit donor lebih-lebih pada transfusi berulang kali, reaksi Ag-Ab terhadap trombosit darah. Reaksi demam, hemodialisis atau bakterimia berbahaya, kedua hal ini harus sangat diwaspadai bila timbul demam pada transfusi.
o   Benda pirogen
ü  Benda pirogen adalah lipopolisakarid yang berasal dari bakteri,  dapat langsung menyebabkan reaksi dalam waktu singkat (12 menit setelah suntikan) dengan puncak kira-kira setelah 1-1,5 jam.
ü  Gejala : mula-mula tekanan darah naik, diikuti keluhan dingin lalu menggigil, kemudian timbul demam. Pada puncak reaksi dapat timbul nausea, nyeri kepala dan nyeri otot terutama punggung, leucopenia.
o   Antibody terhadap leukosit
ü  Reaksi Ag-Ab terhadap leukosit melibatkan komplemen, terjadi terutama kalau resipien telah berulang kali mendapatkan transfuse, lebih-lebih dengan sediaan pekat.
ü  Gejala : dapat timbul 5 menit setelah suntikan berupa rasa panas, 1 jam kemudian menggigil, hipotensi dengan sianosis, nafas cepat, edema paru dapat terjadi batuk-batuk beberapa saat setelah transfuse mulai (edema paru non kardial).
o   Antibody terhadap trombosit donor
ü  Antibody dalam tubuh resipien timbul akibat transfuse berulang kali maupun karena sebab lain seperti drug associated thrombocytopenia, neonatal thrombocytopenia baik allo maupun isoimmune, posttransfusion purpura, SLE, arthritis rheumatoid, hepatitis, leukemia, ITP, lomfoma, AIHA, septicemia, hiupergamma globulinemia.
ü  Gejala : muncul sebagai nyeri kepala bagian frointal 30 menit setelah mulai transfuse.

ý  Anafilaksis
Adalah : semua reaksi alergi yang mempunyai manifestasi sistemik, yaitu system pernafasan, kardiovaskuler, gastrointestinal, mata dan klulit baik yang member gejala pada salah satu system saja atau gabungan. Reaksi ini terjadi terbanyak pada resipien dengan defisiensi Ig A sehingga memungkinkan terbentuknya antibody anti IgA akibat transfuse sebelumnya atau peristiwa kehamilan.
Penyebab: Pemberian protein IgA ke resipien penderita defisiensi IgA yang telah membentuk antibodi IgA.
Gejala: Tidak ada demam, syok, distress pernafasan (mengi, sianosis), mual, hipotensi, kram abdomen, terjadi dengan cepat setelah pemberian hanya beberapa milliliter darah atau plasma.
Intervensi:
1.       Hentikan tranfusi
2.       Lanjutkan pemberian infus normal saline
3.       Beritahu dokter dan bank darah
4.       Ukur tanda vital tiap 15 menit
5.       Berikan ephineprine jika diprogramkan
6.       Lakukan resusitasi jantung paru (RJP) jika diperlukan
Pencegahan:
  1. Bila diketahui resipien memang defisiensi Ig A :
ü  Tranfusikan sel darah merah (SDM) yang sudah diproses dengan memisahkan plasma dari SDM tersebut, gunakan darah dari donor yang menderita defesiensi Ig A.
ü  Transfusi dengan eritrosit cuci atau frozen thawed red yang sedikit mengandung Ig A
ü  Transfusi autolog
ü  Antihistamin per oral atau suntikan 1 jam sebelum transfusi dan sekali lagi saat transfusi dimulai
2.       Untuk resipien yang anamnestik pernah mengalami reaksi anafilaksis pemberian kortikosteroid dianjurkan, pemberian antihistamin tak efektif
3.       Sediaan Albumin masih mengandung Ig A, sehingga tidak boleh diberikan.

BAGAN PERTOLONGAN ANAFILAKSIS


























ý  Sepsis
Penyebab:Komponen darah yang terkontaminasi oleh bakteri atau endotoksin
Gejala:                 Menggigil, demam, muntah, diare, penurunan tekanan darah yang mencolok, syok
Intervensi:
1.             Hentikan tranfusi
2.             Ambil kultur darah pasien
3.             Pantau tanda vital setiap 15 menit
4.             Berikan antibiotik, cairan IV, vasoreseptor dan steroid sesuai program
Pencegahan:      Jaga darah sejak dari donasi sampai pemberian
ý  Urtikaria
Merupakan reaksi alergi yang paling sering terjadi.  
Penyebab: Alergi terhadap produk yang dapat larut dalam plasma donor
Gejala:                 Eritema lokal, gatal dan berbintik-bintik, biasanya tanpa demam
Intervensi:
1.             Hentikan tranfusi
2.             Ukur vital sign tiap 15 menit
3.             Berikan antihistamin sesuai program
4.             Tranfusi bisa dimulai lagi jika demam dan gejala pulmonal tidak ada lagi
Pencegahan:      Berikan antihistamin sebelum dan selama pemberian tranfusi
ý  Kelebihan sirkulasi
Penyebab: Volume darah atau komponen darah yang berlebihan atau diberikan terlalu cepat
Gejala: Dyspnea, dada seperti tertekan, batuk kering, gelisah, sakit kepala hebat, nadi, tekanan darah dan pernafasan meningkat, tekanan vena sentral dan vena jugularis meningkat
Intervensi:
1.       Tinggikan kepala klien
2.       Monitor vital sign
3.       Perlambat atau hentikan aliran tranfusi sesuai program
4.       Berikan morfin, diuretik, dan oksigen sesuai program
Pencegahan: Kecepatan pemberian darah atau komponen darah disesuaikan dengan kondisi klien, berikan  komponen SDM bukan darah lengkap, apabila diprogramkan minimalkan pemberian normal saline yang dipergunakan untuk menjaga kepatenan IV
ý  Hemolitik Akut
Penyebab: karena inkompatibilitas mayor (ABO) oleh kesalahan administrative/petugas. Antibody dalam plasma resipien bereaksi dengan antigen dalam SDM donor, resipien menjadi tersensitisasi terhadap antigen SDM asing yang bukan dalam system ABO. Mekanisme terutama melalui Ig M, Ig G juga dapat menyebabkan RTHA, disini destruksi eritrosit terjadi ekstravaskuler. Penyebab lain kontaminasi bakteri pada darah, infus cairan hipotonik, transfusi darah rusak, transfusi melalui jarum kecil. 
Gejala:                 Cemas, nadi, pernafasan dan suhu meningkat, tekanan darah menurun, dyspnea, mual dan muntah, menggigil, hemoglobinemia, hemoglobinuria, perdarahan abnormal, oliguria, nyeri punggung, syok,  ikterus ringan. Dapat terjadi hipotensi/syok bahkan DIC karena teraktifkannya factor XII                          system kinin membuat bradikinin yang menyebabkan permeabilitas pembuluh darah kapiler dan dilatasi arteriola. System complemen juga terangsang muncul C3a dan C3b; C3b menempel pada eritrosit sehingga eritrosit akan difagositosis. Hemolitik akut terjadi bila sedikitnya 10-15 ml darah yang tidak kompatibel telah diinfuskan, sedangkan reaksi hemolitik lambat dapat terjadi 2 hari atau lebih setelah tranfusi.
Intervensi:
1.       Monitor tekanan darah dan pantau adanya syok.
2.       Hentikan tranfusi
3.       Lanjutkan infus normal saline
4.       Pantau keluaran urine untuk melihat adanya oliguria
5.       Ambil sample darah dan urine
6.       Untuk hemolitik lambat, karena terjadi setelah tranfusi, pantau pemeriksaan darah untuk anemia yang berlanjut
Pencegahan:      Identifikasi klien dengan teliti saat sample darah diambil untuk ditetapkan golongannya dan saat darah diberikan untuk tranfusi (penyebab paling sering karena salah mengidentifikasi).
ý  Hemolitik Tertunda
Penyebab : adanya antibody dengan titer rendah pada resipien sehingga tidak timbul reaksi tetapi aloimunisasi. Bias karena tes silang dengan hasil meragukan kurang teliti dinilai atau tes silang memang negative karena amat rendahnya titer antibody. Tes antiglobulin direk menjadi positif setelah beberapa hari (3-5 hari bias sampai 4 minggu). Antibody yang terlibat biasanya dari system Rh dan kidd.
Gejala :Hb menurun dan demam, timbul ikterus biasanya pada hari 5-10.
Perlu diwaspadai bila mendapat transfuse berulang, karena dapat timbul RTHA.

ý  Reaksi Transfusi Masif
·         Hiperkalemia
Penyebab: Penyimpanan darah yang lama melepaskan kalium ke dalam plasma sel. Dapat meningkat samapai 25 – 30 mEq pada akhir minggu ke 3.
Gejala: Serangan dalam beberapa menit, EKG berubah, gelombang T meninggi dan QRS melebar, kelemahan ekstremitas, nyeri abdominal
Tatalaksana : mendorong K ke dalam sel dengan pemberian glukosa 10%, 200-300 cc dalam 30 menit pertama. Infus na-bikarbonat dapat dipakai, 44-132 meq/l ditambahkan dalam setiap liter infus glukosa.
Pencegahan : berikan darah yang masa simpannya kurang dari 5 hari untuk pasien yang mempunyai resiko hiperkalemia.
·         Hipokalemia
Penyebab: Berhubungan dengan alkalosis metabolik yang diindikasi oleh sitrat tetapi dapat dipengaruhi oleh alkalosis respiratorik
Gejala: Serangan bertahap, EKG berubah, gelombang T mendatar, segmen ST depresi, poliuria, kelemahan otot, bising usus menurun
·      Hipotermia
Penyebab: Pemberian komponen darah yang dingin dengan cepat atau bila darah dingin diberikan melalui kateter vena sentral.
Gejala: Menggigil, hipotensi, aritmia jantung, henti jantung/cardiac arrest
Intervensi:
1.       Hentikan tranfusi
2.       Hangatkan pasien dengan selimut
3.       Ciptakan lingkungan yang hangat untuk pasien
4.       Hangatkan darah sebelum ditranfusikan
5.       Periksa EKG
·         Keracunan Sitrat
Sitrat yang terdapat dalam antikoagulan ACD/CPD dalam keadaaan fungsi faal hati menurun tidak dapat dimetabolisasikan.
Gejala : paresteresis sirkumoral, tremor otot sampai tetani, gangguan fungsi miokard, aritmia. ECG tampak QT memanjang yang disebabkan pemanjangan segmen ST.
Tatalaksana : dengan preparat kalsium. Pencegahan dengan pemberian 10 ml larutan Ca-glukonat 10% atau 2,5 ml CaCL2 10% IV pelan-pelan.
·         Koagulopati
Trombosit akan mati dan factor pembekuan yang labil akan menghilang pada darah simpan lama sehingga pada transfuse massif dapat timbul perdarahan.
·         Reaksi lain :
ü  Alkalosis : pada fungsi ginjal yang tak baik, akibat metabolisme sitrat menjadi bikarbonat.
ü  Bertambah beratnya hipoksia : makin lama masa simpan darah makin turun kemampuan angkut oksigen dan tubuh akan memperbaikinya dalam waktu 6-12 jam.
ü  Overloading : kelebihan volume darah dalam sirkulasi pulmonal dimana jaringan paru tidak mampu menampung lebih banyak lagi. Diagnosa: gejala yang timbul diakibatkan oleh gagal jantung kanan berupa sesak nafas, dada terasa terikat, batuk non produktif, sianosis, tekanan vena sentral meninggi. Tatalaksana : stop transfuse, ubah posisi pasien menjadi posisi duduk, beri oksigen, bila perlu diuretika.
ü  Thrombosis dan flebitis : karena rangsangan mekanik dari alat, reaksi alergi terhadap pemasangan jarum pada vena perifer. Gejala : tanda radang di tempat jarum, bengkak.
·         Reaksi transfuse akibat bahan-bahan lain :
ü  Emboli udara : udara masuk ke dalam pembuluh darah bersama transfuse menimbulkan gejala yang bervariasi tergantung banyaknya yang masuk dan keadaan umum resipien.  Emboli pada vena mengumpul di ventrikel kanan dan menghalangi aliran darah pada a. pulmonalis dan menyebabkanb desakan venosa yang tinggi disertai sesak nafas, sianosis, murmur pada prekordial, nadi cepat, aritmia, hipotensi dengan sinkop karena iskemia otak.
Pertolongan : penderita dibaringkan dengan kepala terletak lebih rendah agar udara terkumpul di apex cordis dan dari sedikit terpecah-pecah mengalir ke paru dan diserap.
ü  Mikroemboli : mikroagregat dapat terbentuk selama darah atau komponen darah disimpan lebih dari 7 hari. Pada transfuse massif mikroagregat ini lebih sering menimbulkan emboli terutama pada paru à insufisiensi paru.
ý  Hemosiderosis Transfusional (HT)
Dalam 1 liter darah kurang lebih 500 mg besi dan tubuh normal kehilangan 1 mg besi setiap hari. Karena itu transfuse berulang kali (pada thalasemia, anemia aplastik, sferositosis) akan menyebabkan penimbunan besi dalam tubuh. Penimbunan besi pada organ spt hati, jantung, limpa, kelenjar endokrin menyebabkan terganggunya organ tersebut à sirosis hepatis, gagal jantung kongestif, hipersplenisme, endokrinopati multiple.
ý  Aloimunisasi
Pada transfuse dalam tubuh resipien dapat timbul reaksi pembentukan antibody terhadap antigen dari luar (alloantigen). Ini terjadi dalama beberapa hari, minggu, bulan atau karena alas an yang belum diketahui dapat tidak terbentuk antibody sama sekali.
Factor yang berperan :
ü  Daya imunogenitas : paling penting adalah antigen A, B dan Rh; gejala yang timbul RTHT
ü  Frekuensi gol. Darah : adanya Rh (-)
ü  Daya membentuk antibody : antigen tertentu punya daya membentuk antibody tinggi. Demikian juga pada penyakit tertentu terdapat hambatan dalam pembentukan antibody.
Referensi :
Smeltzer, Suzanne C. Bare, Brenda G, Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Brunner & Suddarth , Ed. 8, Editor Monica Ester, Jakarta , ECG, 2001
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam , Dasar – Dasar Transfusi Darah, Jilid II, Ed IV,Departermen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Juni 2006
Transfuse Darah , www.medicastore.com
Transfuse Darah Dan Kematian Ibu, www.WordPress.com